Kecintaannya terhadap masakan rumahan menuntun hati Lisa Virgiano (33) untuk membuat gerakan Underground Secret Dining (UGD). Konsepnya menikmati aneka macam hidangan dari berbagai pelosok negeri. Uniknya, salah satu rangkaian kegiatan tersebut dilakukan di rumah penduduk, “Kita kan kaya sekali dengan budaya, Jakarta salah satu melting pot (tempat meleburnya berbagai macam etnis dan budaya), kenapa kita enggak coba sebarkan kebaikan-kebaikan resep rumahan ini? Dan ibu-ibunya yang harus jadi bintangnya! Karena mereka tidak mungkin memasak sesuatu yang buruk untuk keluarga mereka, mereka selalu tampilkan yang terbaik!.”
Di atas merupakan petikan wawancara saya dengan Lisa Virgiano, seorang penggiat di bidang kuliner. Di penghujung 2014 ia keluar sebagai salah satu pemenang L'Oreal Women of Worth 2014 yang didukung L’Oreal Paris. Lantas sebenarnya apa mimpi besar dari seorang perempuan yang berpenampilan bersahaja ini? Yuk, ikuti obrolan saya dengan Lisa berikut ini.
Cerita dong Mbak bagaimana perasaannya saat tahu dinominasikan sebagai salah satu kandidat Loreal Women of Worth?
Perasaan saya kaget karena tidak menyangka, saya dinominasikan oleh seorang jurnalis. Setelah itu saya baru mencari tau, tentang Loreal Women of Worth, dan tidak pernah ada harapan untuk menang. Karena saya melihat dari nominasi-nominasi itu, tediri dari perempuan-perempuan yang luar biasa, jadi saya pikir ya sudahlah, saya fokus kepada kegiatan saya yang lain dan bekerja. Seiring waktu berlalu, saya diberi tahu masuk 20 besar, saya baca satu persatu 20 profil nominasi tersebut, saya pikir mereka adalah perempuan hebat. Kembali lagi perasaan tidak mungkin menang pun muncul, karena masuk 20 besar saja saya sudah senang luar biasa. Jadi saya tidak terlalu berbesar hati, saya bekerja saja seperti biasa, sampai sudah sejauh ini. Saya anggap kemenangan ini sebagai bonus, bentuk apreasiasi, dan tentunya saya berterima kasih, tapi bukan berarti berbangga hati. Saya mengartikan pencapaian ini sebagai titik mula berbuat sesuatu yang lebih baik lagi.
Sudah ada di titik pencapaian ini, apa lagi yang ingin Mbak Lisa lakukan?
Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya lakukan, khususnya di bidang pangan. Saya ingin sekali membuat, merancang, mempromosikan program-progran pangan khusus Indonesia. Dimana menjadikan produsen makanan, seperti petani, nelayan, pembuat makanan tradisional yang masih bertanggung jawab, artinya yang masih mempunyai nilai-nilai luhur dalam memproduksi bahan pangan tersebut. Kemudian bisa bekerja sama dengan chef-chef dari Indonesia. Jadi supaya chef dengan produsen makanan bertemu. Karena selama ini, mata rantainya terlalu panjang. Bahkan di dapur pun kita kadang-kadang suka bingung. Ini mangga lokal atau impor? Pisang lokal atau impor? Sering kali seperti itu. Dan juga petani tidak pernah mendapatkan umpan balik dari konsumen (penikmat makanan) rasa pisang atau mangga yang enak seperti ini loh. Bagaimana mereka bisa tahu kualitas, kalau tidak yang memberitahu ke mereka? Kerena selama ini yang berhubungan langsung dengan mereka adalah pengepul-pengepul atau pengijon yang hanya mempunyai motif bisnis atau ekonomi dan tidak peduli dengan kualitas. Itulah tujuan jangka panjang saya.
Ada program khusus untuk para petani Indonesia?
Ada, tentu saja kesejahteraan petani harus ditingkatkan. Caranya pertama dengan meningkatkan kepercayaan diri mereka, karena selama ini mereka dibuat seolah-olah tidak layak, tidak punya percaya diri untuk memproduksi bahan-bahan pangan berkualitas. Mereka selalu berpikir, “ah apa yang kita lakukan ini biasa-biasa saja” padahal sebenarnya apa yang dilakukan dari zaman nenek moyang kita sudah luar biasa, tapi tidak ada yang kasih tahu mereka tentang kualitas produk yang mereka tanam. Contohnya dahulu kala Indonesia pernah merajai palawija dan umbi-umbian, tapi sekarang sudah dalam tahap membahayakan (kritis). Teh, tembakau, dan merica harus kita impor dan itu sedih sekali, bisa dibilang bangsa kita mengalami degradasi. Enggak usah kita bicara soal ekspor, untuk mencukupi kebutuhan 250 juta penduduk saja itu potensinya luar biasa sekali. Dan jangan bilang beli daya beli masyarakat kita ini rendah, jangan mengerdilkan kemampuan bangsa kita sendiri. Karena kita sering kali dibuat seolah-olah percaya bahwa bangsa Indonesia itu tidak bisa apa-apa atau bangsa kelas dua. Tidak layak mendapatkan barang yang berkualitas, yang berkualitas semunya di ekspor, dibilangnya kita tidak memiliki daya beli. Semuanya ditanam dan diproduksi disini berarti kualitas nomor satunya adalah milik kita dong. Padahal dengan didukung tanah tropis yang subur dimana matahari 360 hari terus bersinar, sebetulnya peluangnya banyak sekali. Saya juga pingin banget bisa terus memberikan contoh yang baik ke generasi muda pada khususnya, supaya mereka lebih peduli dengan pangan Indonesia, lebih peduli mau bekerja sama dengan petani, nelayan, pembuat makanan tradisional. Setidaknya membina, transfer ilmu pengetahuan, dan pengalaman. Karena orang-orang yang ada di desa ini, hanya perlu satu: akses kepada kesempatan, tapi kesempatan itu ditutup. Dibuat seolah-olah mereka itu bukan siapa-siapa, tidak menghasilkan sesuatu yang hebat, padahal mereka itu adalah orang-orang luar biasa.
Dari mana mendapatkan Inspirasi membuat Undergroud Secret Dining (UGD)?
Idenya dari saya suka makan makanan rumahan, makanan Indonesia, tapi setiap kali pergi ke rumah makan atau pergi ke restoran kok saya menemukan menunya itu-itu saja. Padahal contohnya di rumah masing-masing, saat makan telur. Sebut saja telur goreng – setiap ibu-ibu punya versi sendiri dalam mengolah telur goreng tadi. Atau menu tumis kangkung, di rumah yang satu tumis kangkungnya tidak pakai terasi hanya pakai bawang putih, tapi kok bisa enak banget. Jadi banyak cara pengolahan dengan berbagai macam latar belakang budaya. Dan kita kan kaya sekali dengan budaya, Jakarta salah satu melting pot (tempat meleburnya berbagai macam etnis dan budaya). Nah dari hal-hal tersebut kenapa kita enggak coba sebarkan kebaikan-kebaikan resep rumahan ini? Dan ibu-ibunya yang harus jadi bintangnya! Karena mereka tidak mungkin memasak sesuatu yang buruk untuk keluarga mereka, mereka selalu tampilkan yang terbaik. Contohnya jika ikannya enggak bagus mereka tidak mau masak, karena akan berpengaruh terhadap rasa. Hal-hal kecil seperti itu yang terkadang luput dari pandangan mata.
Anak-anak bisa belajar banyak hal dari bahan-bahan pangan, lihat di halaman selanjutnya untuk mengetahui caranya :)
Bisa diceritakan sensasi saat melakukan ini semua Mbak?
Sensasinya adalah bagaimana saya bisa merasakan kepercayaan diri seorang perempuan itu meningkat hanya lewat makanan. Yang awalnya seorang perempuan berpikir, “Oh makanan saya hanya makanan rumahan, hanya makanan keluarga”, tapi kemudian ketika tamu-tamu datang, teman-teman saya datang, mereka memuji makanan yang mereka makan. Dan pujian itu bisa membuat wajah yang membuat makanan itu bersinar-sinar. Lalu dari situ mereka mempunyai kepercayaan diri. Misalnya mulai berani menerima pesanan, mulai buka usaha kecil-kecilan, jadi perempuan bisa berdaya hanya dari lewat makanan.
Menurut Mbak Lisa dari perspektif dunia kuliner ini nilai-nilai apa yang bisa diaplikasikan untuk pola asuh anak-anak?
Banyak sekali yang bisa diaplikasikan, mulai mengenalkan anak-anak terhadap bahan baku pangan, ajari sedari dini aneka tekstur, mengenal aroma, mengenal rasa karena bagus untuk menstimulasi panca indera. Contohnya bermain-main dengan buah-buahan lokal, ada pisang, mangga, jambu, salak. Pisang itu banyak macamnya dan kita suka mengganggap itu adalah hal yang biasa, seperti sudah ada di DNA kita. Nah, para ibu bisa mengenalkan macam-macam jenis pisang kepada si kecil. Anak-anak tidak harus langsung menyukainya, yang penting mencoba dan pengamalan itu akan tertanam di memori mereka. Contoh lainnya beras atau nasi, sering kali anak diberikan makan hanya beras putih, padahal beras asli Indonesia warnanya bermacam-macam, tekstur dan aroma alaminya macam-macam. Kenalkan ke anak-anak tanpa bumbu dulu, kalau mereka ternyata tidak suka, ya tidak apa-apa. Yang penting mereka sudah mencoba. Sama halnya seperti sayur-sayuran, wortel, kentang, bayam, kecipir, genjer dan sebagainya. Nah, anak-anak harus tau itu semua, mungkin sekarang mereka tidak suka, tapi suatu saat nanti pengalaman-pengalaman mengenal aneka bahan pangan akan muncul lagi di usia mereka 5 tahun, atau 10 tahun.
Sosok ibu ideal di benak Mbak Lisa itu seperti apa? Dalam hal ini tentunya bisa dihubungkan dengan dunia kuliner Indonesia...
Sebetulnya kalau bicara soal ini adalah sebuah paradoks. Maksudnya, saat saya mengunjungi ibu-ibu di pedesaan mereka sudah tidak mau lagi masak di dapur, karena mereka melihat dan mencontoh ibu-ibu di perkotaan dengan budaya makan instan, jadi mereka merasa malu terjun ke dapur, malu untuk masak makanan tradisional. Selain itu, mereka juga berpikir dengan membeli makanan di luar akan meningkatkan gengsi mereka, padahal hal itu belum tentu benar. Itu adalah salah satu hal yang perlu dikoreksi. Nah kemudian, ibu-ibu yang diperkotaan ini menurut saya terlalu over power dan over capacity dalam menilai kapasitas mereka sebagai seorang perempuan. Boleh sih sebagai perempuan bekerja dan berkarier, tapi seringkali esensi pembangunan kualitas anak itu diabaikan. Sehingga mereka yang seharusnya menjadi panutan bagi orang-orang desa, seringkali dianggap salah kaprah oleh orang-orang desa. Nah jadi esensinya itu sedikit menyimpang, tapi masih bisa diperbaiki. Dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, terjadi juga dimana-mana. Sebetulnya kita sebagai perempuan sudah tau, apa yang terbaik dan apa yang tidak baik. Contoh di atas bisa dibilang adalah sebuah pergeseran nilai. Nah, hal-hal seperti tadi harus bisa diseimbangkan – antara peran sebagai ibu dan perempuan yang memiliki karier.
Perempuan seperti apa yang menginspirasi banyak orang?
Perempuan yang menginspirasi banyak orang menurut saya adalah perempuan yang nyaman dengan segala kekurangannya. Karena kekurangan bisa menjadi ujung pangkal permasalahan, bahkan permasalahan besar di dunia, contohnya seperti perang. Kita sering tidak merasa nyaman dengan kekurangan-kekurangan kita. Kalau kita belajar merasa nyaman dengan apa yang tidak kita punya itu jadi landasan yang kuat sekali untuk bergerak ke depannya. Tidak harus melakukan sesuatu yang besar, mulai lah dari diri sendiri dan keluarga. Dengan merasa nyaman dengan kekurang-kekurangan di dalam diri maka, merupakan modal yang luar biasa dan bisa menjadi inspirasi alami buat orang-orang yang melihat disekeliling kita. Kalau sudah merasa nyaman dengan kekurangan, otomatis kita akan terus belajar untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan tadi.
Dari penuturan Lisa, saya semakin percaya bahwa perempuan khususnya kaum ibu bisa berdaya dengan talenta yang mereka miliki. Entah itu di bidang kuliner atau di ranah profesi lainnya, yang penting menurut Lisa tetap memperhatikan esensi pembangunan kualitas buah hati. Nice to meet you Lisa Virgiano!