Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ibu-ibu Saja Atau Ibu-ibu Banget?
Entah bagaimana awalnya, obrolan ngalor ngidul saya dengan teman yang sama-sama seorang ibu di Whatsapp, berujung dengan dialog begini
Teman: "Duh, kita kok nggak 'ibu-ibu' banget, ya?"
Saya: "Haha.. iya juga, ya!"
Gara-gara celetukan itu, saya jadi disentak oleh "Aha!" moment.
Saya memang ibu-ibu, tapi deep down inside, kok saya nggak merasa seperti ibu-ibu, ya?
*Gambar dari sini
Bukannya menolak kenyataan atau malah delusional mengganggap diri masih ABG kinyis-kinyis, sih.
Yang saya maksud, sepertinya ada standar tertentu bagaimana seorang ibu-ibu itu berpikir dan bersikap; semacam stereotype, begitu, tentang 'ibu-ibu.' Dan kalau melihat diri sendiri, rasanya banyak melenceng dari standar itu.
Tapiii, ini juga tidak berarti saya mau mem-branding diri sebagai ibu yang 'beda' atau (sok) keren, lho! Hmm, seperti apa, ya, tepatnya? Supaya nggak semakin ribet sendiri, coba saya jabarkan dulu stereotype 'ibu-ibu' yang ada di kepala saya.
Memang, siih, kesempatan melakukan tawar-menawar barang saat saya berbelanja jauuuh lebih minim dibandingkan ibu saya yang rutin ke pasar tradisional tiap minggu. Tapi tetap aja, misalnya di bazaar atau di ITC di mana menawar barang masih perlu dilakukan, saya tergagap kebingungan. Ujung-ujungnya, ya melontarkan kalimat 'andalan': "Pasnya aja, deh, berapa."
Tapi manfaatnya memang banyak, sih. Satu contoh, gampang saja buat ibu saya mencari pembantu baru karena 'networking'nya luas, hahaha. Entah nitip ke tetangga, tukang pijit langganan, mbak-mbak salon, sampai ke tukang becak. xD
Begitu juga dengan guru-guru saya dan adik-adik saat sekolah. Beliau bisa ngobrol dengan akrab dengan mereka, beberapa bahkan jadi seperti saudara sendiri. Benefitnya buat kami, ya jadi lebih diperhatikan oleh guru-guru hahaha. Tapi kalau saya, malah khawatir guru-guru risih diajak ngobrol tanpa janjian terlebih dulu.
Teman saya lain lagi, dia merasa canggung untuk bersosialisasi dengan ibu-ibu di sekolah anaknya. Simply karena nggak tahu saja mau memulai percakapan dari mana!
Eh, Mommies sudah tahu, dong, maksud istilah ini? Menurut saya, yang tergolong ini tuh ibu-ibu yang menjadi seleb lewat Instagram karena di-follow ribuan orang, atau juga selebriti yang sudah jadi ibu-ibu. Silakan dikoreksi kalau salah, yaa, hehehe. Dalam salah satu obrolan kami, untuk jenis selebgram yang pertama, saya dan teman saya sama-sama keheranan melihat bagaimana orang biasa bisa melejit pamornya di dunia maya. Padahal yang mereka upload foto-foto kesehariannya aja. Makan apa, liburan di mana, OOTD anaknya (kadang-kadang juga selfie dan OOTD si ibu, sih), dll. Kami berteori, mungkin banyak yang dibuat kagum sekaligus kepo dengan lifestyle para selebgram itu, yang kerap terlihat 'wah' dan shiny happy bak editorial majalah. Mungkin, yaa....
"Siapa yang gituin kamu? Yang mana anaknya? Sini, biar mama samperin!" Ini, nih, definisi 'ibu-ibu' sejati buat saya. Naluri melindungi anak begitu meresapi jiwa raga, sampai-sampai refleksnya terlatih banget. Saya, kok, nggak bisa begitu, ya? *nunduk*
Kalau dihadapkan pada kondisi yang sama, rasanya saya keburu malu membayangkan harus ngomel-ngomel di depan umum. Ngomelin anak orang, pula!
Memang sih, kalau soal belanja, saya lebih sering tergoda membeli barang-barang kebutuhan anak dibanding buat diri sendiri. Tapi, kalau ada waktu luang, dibandingkan mengejar kegiatan berkualitas di anak, seringnya, saya lebih memilih menggunakannya buat me-time (contoh konkret: mengirim anak bermain di kamarnya, supaya saya bisa nonton rerun ANTM... *tutup muka*).
Mentang-mentang punya stereotype sendiri di kepala, tapi nggak berarti saya berhak menilai mana yang jelek dan mana yang lebih baik.
Selanjutnya: Ibu-ibu saja, gimana?
*Gambar dari sini
Karena, dengan membentuk stereotype tentang bagaimana perilaku yang 'ibu-ibu' banget itu, bisa jadi sebenarnya saya sedang defensif; tidak mau masuk ke dalam kotak stereotype dan tidak mau dinilai berdasarkan stereotype. Padahal, meskipun ada hal-hal yang saya tidak bisa relate dengan sesama ibu-ibu, sebenarnya ada banyak juga kesamaan saya dengan ibu-ibu lain. Misalnya...
Hihihi. Selain untuk bersosialisasi (punya berapa Whatsapp group, Bunda?), ibu-ibu zaman sekarang juga haus informasi, 'kan? Kita mau mendapatkan kejelasan sebelum membuat sebuah pilihan. Rumor-rumor yang nggak jelas juga rajin kita cek dan ricek dulu sebelum heboh sendiri lalu men-share-nya di sosmed. Kita bisa sharing informasi seputar parenting dan juga mendapatkan support group lewat forum online - pastinya di Mommies Daily. *wink*
“Helicopter parent” maksudnya tipe orangtua yang mengurusi segala aspek dalam rutinitas dan perilaku anaknya. Bukan cuma build our lives around our children and hover like a helicopter, tapi tipe orangtua ini juga identik dengan micromanaging. Segala hal diperiksa baik-baik; mulai dari memilah mainan (harus yang edukatif!) sampai mengkurasi dengan seksama pilihan pendidikan untuk anak mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Memang, sikap orangtua yang seperti ini tujuannya baik, yaitu ingin memastikan anak-anaknya berada dalam jalur yang benar menuju kesuksesan. Tapi, caranya kayaknya yang salah? Karena orangtua mengukirkan jalan itu buat anak alih-alih membiarkan anak berpikir mandiri sehingga bisa membuat pilihan-pilihannya sendiri. OK, #notetoself kalau begitu.
Atau meniru kata-kata di spanduk: Demi masa depan yang lebih baik!
Dari yang tadinya tidak bisa masak sama sekali jadi jago mengulik resep-resep MPASI. Yang tadinya couch potato jadi rajin olahraga dan menerapkan clean eating. Yang tadinya cuek sama lingkungan, berubah haluan karena menyadari pentingnya mewariskan bumi yang masih subur dan nyaman untuk generasi berikutnya.
Hidup nggak lagi satu dimensi seperti kredo menyeramkan tentang takdir perempuan jaman dahulu: dapur - sumur - kasur. Perkembangan zaman membuka pintu kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkontribusi, berkarya, dan mewujudkan impian. Apalagi kita, perempuan Indonesia, yang disokong oleh support system yang baik, entah itu berwujud orangtua yang bisa dititipi anak, asisten rumah tangga, atau nanny. And this leads us to...
Sebagian dari kita mungkin mengernyit saat disebut "Bundanya A" karena kita tidak mau jati diri kita sebagai individu hilang setelah menjadi ibu.
Jadii, mungkin saya nggak perlu galau-galau amat, ya, soal identitas diri setelah menjadi ibu? Apa yang saya pikirkan sebagai stereotype ibu-ibu belum tentu sama dengan pendapat orang lain. Dan ternyata, saya juga nggak beda-beda amat dengan kebanyakan ibu-ibu.
Mungkin inilah potret ibu-ibu generasi milenial.
We were raised not only to be "mothers" but also a whole human-being.
We are not exactly alike, but we certainly have some things in common. We have choices. We are well-connected with every piece of information in this world.
And, we have clear visions of how we want to live our lives and what legacy we want to give to our children.
Nah, Mommies sendiri bagaimana? Menilai diri sebagai ibu-ibu saja, atau ibu-ibu banget? Kalau saya, sih, ternyataa... ibu-ibu banget, hihihi.
PAGES:
Share Article
COMMENTS