Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sehari Tanpa MSG
*Gambar dari sini
Percaya atau tidak, saya dulu pernah menerapkan hukuman sedekah Rp 50.000 jika saya makan mie instan. Jumlah tersebut ternyata membuat saya disiplin untuk tidak makan mi instan selama dua tahun. Kalau akhirnya harus makan karena bener-bener kepingin, saya terpaksa harus merelakan lima puluh ribu melayang, hehe..
Alasan saya waktu itu adalah mi instan tidak sehat. Selain bumbunya dan minyaknya kaya akan MSG, minya mengandung lilin, dan (bagi saya) membuat ketagihan. Ketika saya menerapkan puasa mi tersebut, ada satu hal yang saya rasakan: saya langsung tahu apabila ada makanan yang dibubuhi MSG! Entah melalui baunya, rasanya, atau efeknya di lidah. Biasanya sih, setelah memakan makanan yang banyak MSGnya, saya jadi haus sekali.
Maka, ketika saya divonis hamil, saya sangat percaya diri bisa menghindari makan makanan ber-MSG, demi perkembangan janin. Ternyata saya salah, Mommies. Tiga bulan pertama mual berat, berat badan turun melebihi berat saya saat SMA. Entah kenapa, saya jadi ingin makan mi instan. Mungkin karena rasanya yang kuat bisa mengalahkan mual saya. Saya pun mencoba sekali, itupun bumbunya hanya sepertiga, air rebusan dibuang, ditambah sayuran yang banyak, masih bayar lima puluh ribu pula (teteuuup..).
Dari situlah akhirnya saya jadi kembali mengonsumsi mi instan. Memang tidak sering, karena saya tahu hal tersebut tidak baik untuk janin saya. Walaupun begitu, saya memohon pada Tuhan agar saya diizinkan mencabut janji saya untuk sedekah setiap kali makan mi, karena saya merasa frekuensi meningkat dan pertahanan diri melemah, haha...
Apalagi setelah menjadi ibu menyusui, terkadang rasa lapar menyerang di saat lelah, sementara makanan di dapur dan persediaan kudapan sudah ludes. Akhirnya, lari ke mi instan deh. Selain itu, mengurus bayi tanpa asisten pada saat itu membuat saya kehabisan waktu untuk memasak “beneran”. Misalnya, untuk memasak soto, bumbu yang saya gunakan adalah bawang merah, bawang putih, “dioplos” dengan bumbu soto instan :D Begitu juga untuk masakan rumit lainnya. Hanya sop saja yang bumbunya alami, karena hanya bawang dan loncang-seledri. Meskipun demikian, vetsin is a big no no for me.
Lambat laun, saya jadi mulai berpikir ulang tentang “MSG lifestyle” saya ini. Apa sebabnya? Lihat di halaman selanjutnya ya.
Aksa sudah berumur setahun. It means that he can eat what i eat. Awalnya saya memisahkan masakan rumah dengan masakan Aksa. Everything went well. Tetapi sejak ia mulai bisa berjalan, makannya jadi susah bukan main. Tidak hanya itu, apa yang kami makan pun selalu ingin ia coba. Padahal, makanan kami jelas lebih asin, lebih gurih, lebih manis, termasuk snack yang tidak baby friendly.
Karena tidak tega menolak, pada akhirnya saya beri dia sedikit untuk mencicipi. Sedikit saja tidak apa-apa kan, pikir saya. Ternyata saya salah. Aksa bisa mengingat rasanya, suka, ingin lagi, serta mengingat di mana saya meletakkanya. Makannya pun jadi lebih picky, maunya yang di piring suami. Padahal isinya ayam goreng tepung (tepung instan), kerupuk, sambal, duh!
Something has got to change.
So, dengan tekad bulat, saya memulai diet MSG saya –dan orang serumah. Yang tadinya saya kurang pede memasak kalau enggak pakai bumbu instan, sekarang saya malah merasa tertantang. Dulu bagi saya bumbu hanyalah bawang merah dan putih, sekarang kunyit, jahe, sereh, dan lain-lain tidak saya anggap bumbu rumit. Kalau bumbunya banyak dan harus dihaluskan, saya blender saja. Praktis.
Ternyata, saya berhasil! Rasanya tidak kalah lah, sama yang instan..dan yang pasti: guilt-free! Kalau ada yang kurang nendang, saya pakai sedikit gula jawa, sesuai saran ibu katering langganan saya kala hamil dulu. Saya pun santai saja kalau Aksa minta makanan saya, wong makanan kami sama. Hobi baru saya pun bertambah satu, mencari resep-resep yang bisa saya coba. Termasuk resep makanan yang bisa meningkatkan selera makan Aksa, karena picky eating-nya masih cukup membuat saya khawatir.
Itu yang di dapur. Bagaimana dengan kudapan yang mengandung MSG? Untuk saat ini belum seratus persen MSG-free sih, karena suami masih suka camilan yang asin-asin. Kami setidaknya berusaha mengurangi camilan gurih, dan memakannya secara sembunyi-sembunyi kalau memang sedang kepengin sekali, hehe.. Untuk saat ini masih aman, karena Aksa belum bisa meraih benda-benda di atas kulkas ataupun membuka lemari es. Entah ketika ia tambah besar, tampaknya saya dan suami harus berganti camilan nih :D
Dari sehari masak tanpa MSG, akhirnya sudah sebulan ini saya keterusan menggunakan bumbu alami. Baru seumur jagung ya? Hehe, tidak apa-apa. Worth it already.
Lantas, apa yang saya rasakan dari perubahan ini? Simak di halaman selanjutnya.
*Gambar dari sini
Pertama, merasa lebih sehat, fisik dan mental. Maksudnya, pikiran saya mengatakan bahwa I’m doing the right thing, dan ini mengirimkan sinyal positif ke tubuh saya. Akibatnya saya jadi merasa lebih fit dibandingkan ketika masih memakan makanan yang banyak mengandung MSG.
Kedua, nafsu untuk jajan ataupun makan di luar menjadi berkurang, khususnya makanan yang terasa vetsinnya seperti bakso, mie ayam keliling, chinese food, dan fast food.
Ketiga, merasa lebih tenang karena memberikan buah hati saya makanan yang baik untuknya. Anak adalah amanah, sehingga memberinya sesuatu yang saya yakini memberi dampak negatif akan menimbulkan rasa bersalah bagi saya. Saya berharap “kesalahan” saya memberinya makanan yang merusak lidahnya selama 4 bulan terakhir bisa terobati dengan terapi MSG-free ini, selagi umurnya belum menginjak 1,5 tahun. Kalau standar “enak” anak kita sudah terpengaruh oleh rasa gurih MSG, dikhawatirkan mereka tidak akan menyukai makanan yang menggunakan sedikit garam.
FYI, sebenarnya MSG tidak berbahaya selama tidak berlebihan mengonsumsinya. Dampak negatifnya pun masih menjadi perdebatan para peneliti maupun pelaku industri. Jadi, saya tidak bisa mengklaim bahwa mengurangi konsumsi MSG serta merta membuat saya lebih bugar karena jumlahnya bisa jadi tidak seberapa. Selain itu, hampir semua makanan sekarang mengandung MSG, termasuk sambal botolan ataupun kecap –yang tetap saya konsumsi. Jadi, ini lebih ke masalah pikiran saja.
Saya sendiri merupakan produk “anak MSG”, sehingga saya menjadi picky eater sampai SMP, haha.. And I don’t want that to happen to my kids. So, saya salut bagi para Mommies yang konsisten memberikan makanan sehat untuk anak-anaknya, serta berhasil menjadi role model bagi keluarganya dalam menumbuhkan kebiasaan makan sehat. Siap memberi contoh, Mommies?
“Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them.”― James Baldwin
PAGES:
Share Article
COMMENTS