banner-detik
PARENTING & KIDS

Belajar Jadi Ibu Yang Asyik Lewat Mama

author

nenglita26 Nov 2014

Belajar Jadi Ibu Yang Asyik Lewat Mama

Suatu hari di perjalanan pulang setelah bertemu teman-teman geng SMA yang semuanya laki-laki (kecuali saya, tentunya), sahabat saya bertanya, “Apa yang ada di benak nyokap bokap lo dulu ya, lo sering jalan sama kita, cowok semua, pulang sampe malam bahkan pagi, terus keluar kota segala..”

Mendapat pertanyaan itu, saya jadi merenung, “Iya juga ya. Kok mama saya segitu percaya sama saya yang saat itu masih duduk di kursi SMA?”

cool_mom

Sahabat saya kemudian menambahkan, “Anak gue cewek nih, nggak kebayang deh gue, kalo anak gue ntar pas SMA kaya elo dulu, haha”

Gara-gara obrolan itu, saya jadi mikir, bisa nggak ya, saya jadi mama yang asyik seperti mama saya dulu waktu saya remaja?

Sekedar flash back, masa remaja saya tidak diisi dengan pacar-pacaran. Saya baru mulai punya pacar-pacaran pas kelas 2 SMA. Waktu diajak pacaran, orang yang saya tanya pertama kali pendapatnya adalah mama saya. Pesan mama saya saat itu hanya satu: “Pacar bawa ke rumah, biar mama kenal”. Pesan itu rupanya sangat kuat nempel di benak saya. Setiap ada yang mendekati saya, pasti saya bawa ke rumah. Bagaimana si pria ini bersikap ke keluarga saya, rupanya sedikit banyak menjadi bahan pertimbangan juga.

Balik lagi ke masalah pertemanan. Masa remaja saya banyak dihabiskan dengan main (iyalah, apa lagi?). Entah bagaimana, rumah saya kerap dijadikan basecamp. Pulang sekolah, nongkrong di rumah. Bolos les, larinya ke rumah saya. Sampai malam minggu pun setelah mereka pacaran, ya ending-nya di rumah saya.

Padahal rumah saya lumayan jauh jaraknya dari sekolah. Rumah saya juga, karena nggak ada anak lelaki, ya nggak punya fasilitas yang bikin betah macam gitar atau Play Station. Jadi kami kerap menghabiskan waktu dengan ngobrol, nonton bola bareng, atau sesekali sahabat saya memboyong PS miliknya ke rumah saya.

“Nyokap lo asyik soalnya!”, itu kata sahabat-sahabat saya. Malah nggak jarang kalau saya nggak ada, sambil nunggu saya pulang mereka ngobrolnya sama mama saya.

Mama saya pun hapal satu per satu sahabat saya lengkap dengan cerita mereka. Si A cita-citanya jadi tentara, si B pacaran sama siapa, si C silsilah keluarganya gimana, dan seterusnya. Tak hanya menjadikan rumah saya sebagai tempat nongkrong, mama saya aktif ngajak  ngobrol mereka. Sampai mama sering melontarkan candaan, “Ih, mama nih kayanya kecentilan banget sama teman-teman kamu, ya”. O ya, ini juga dilakukan ke sahabat-sahabat kakak saya, lho.

Dengan pengalaman saya yang punya mama yang asyik ini, saya tentu saja ingin seperti beliau. Saya juga ingin dianggap asyik oleh teman-teman Langit nantinya.

Selanjutnya: Kok mama saya bisa gitu ya?

mother_daughter*Gambar dari sini

Yang saya pelajari dari mama saya adalah:

  • Memberikan rasa percaya
  • Mama sangat percaya pada anak-anaknya. Pernah saya berbohong pada mama, bilang mau les padahal enggak. Mama saya tetap percaya. Nggak pernah mencecar dengan pertanyaan ala detektif. Hal ini malah bikin saya nggak enak hati. Ujung-ujungnya, malah ngaku bahwa nggak les :D

    Hal ini juga berlaku pada masalah ibadah. Sampai usia kerja, pernah saya nyaris pingsan karena kerjaan yang melelahkan. Bukannya meminum teh hangat yang disediakan OB kantor, saya malah menelepon mama dulu untuk ngaku bahwa mau membatalkan puasa. Jadi masa remaja saya, nggak ada deh tuh yang namanya di rumah pura-pura lemas, di luar rumah jajan :D

  • Menjadi sahabat anak
  • Waktu kecil, katanya sih mama saya ini galak. Kok katanya? Iya, saya lupa blas kegalakan mama! Menginjak usia remaja, mama berubah jadi sahabat. Ia nggak pernah mengolok kalau ada teman lelaki yang menelepon ke rumah atau main ke rumah. Saya nggak terlalu ingat titik balik perubahan mama dari galak jadi sahabat, sih. Yang saya ingat, saya bisa cerita apapun ke mama. Apapun, termasuk saat saya (dan kakak saya) coba-coba nakal nyicip minuman keras atau merokok.

    Oh, tentang merokok, siapa yang pernah ketauan mencoba rokok oleh orangtuanya? Reaksinya gimana? Waktu SMA, mama menemukan sebungkus rokok di tas saya. Tanpa nada suara tinggi, beliau menanyakan rokok itu kepunyaan siapa. Dengan jujur (karena kebiasaan), ya saya bilang itu punya saya. Lalu, mama hanya mengatakan, “Kamu boleh ngerokok, tapi nggak sekarang. Nanti kalau udah bisa cari duit sendiri”

    Tak hanya sampai di situ, mama saya nggak pernah kelihatan sok tau dengan kehidupan anak remajanya. Ia selalu terlihat antusias dan bertanya jika kami bercerita tentang sesuatu. Misalnya kami bercerita tentang teman yang kena narkoba, alih-alih menasihati kami supaya menjauhi narkoba, mama malah akan bertanya, "Orangtuanya nggak tau?" atau "Itu teman kamu yang rambutnya pendek, anaknya cantik kan?" Dengan cara ini, kami merasa seperti ngobrol dengan teman, bukan dengan orangtua yang selalu punya amunisi untuk menasihati.

  • Mau repot
  • Berhubung saya ini nggak pacar-pacaran pas SMA, jadi kalau sahabat-sahabat saya asyik sama pacar masing-masing sehingga nggak bisa jemput saya ke acara sekolah atau ulangtahun teman, misalnya, si mama akan dengan senang hati mengantar jemput. Bahkan pas mulai kerja sambil kuliah, seringkali saya pulang larut malam, mama tetap menjemput saya atau pernah juga mengantar jemput saya kantor-kampus demi urusan skripsi.

    Saya curiga jadinya, keterlambatan saya belajar setir mobil ini adalah konspirasi dari si mama supaya ia tetap bisa mengontrol anak-anaknya, deh :D

    Belum lagi urusan rumah dijadikan basecamp yang sudah pasti repot lah, bukain pintu malam-malam, sediain makanan, dan seterusnya. Saya jadi ingat kata Intan Erlita, “Dulu waktu remaja kita pasti punya teman yang rumahnya dijadiin basecamp karena orangtuanya asyik, nah masa kita nggak pengin jadi orangtua yang asyik itu?”. Mungkin mama saya mendingan repot tapi anaknya keliatan di depan mata ya, daripada nggak mau repot tapi anaknya kelayapan nggak jelas :D

  • Berterus terang
  • Seingat saya, mama nggak pernah berusaha menyembunyikan apapun dari anak-anaknya. Misalnya, kebiasaannya merokok, cerita-cerita kenakalannya dulu waktu remaja, kisah cintanya sebelum menikah dengan papa saya, masalah keuangan yang dihadapi oleh keluarga kami, apapun deh, mama pasti menceritakan ke kami.

    Dengan kebiasaan saling bercerita inilah, kami jadi menirunya. Kami bebas cerita apapun tanpa khawatir akan dimarahi atau di-judge oleh mama.

  • Menghargai pendapat
  • Ketika saya dan kakak saya remaja, kedua orangtua saya, jarang sekali atau bahkan nggak pernah mama atau papa saya mengatakan ke kami, “Ini urusan orang tua!”. Kami hampir selalu dilibatkan dalam keputusan keluarga. Menjual rumah, pindah rumah, beli mobil, segalanya deh. Kami dipandang setara, dianggap penting pendapatnya. Walaupun ujung-ujungnya keputusan sudah mereka buat, dan ke kami hanya menyampaikan saja, tapi mereka tetap mendengar pendapat kami.

    Saya masih ingat sekali waktu saya SMA, kami harus pindah rumah serumah dengan nenek yang sakit. Mama dan papa memanggil saya dan kakak saya. Papa menyampaikan berita untuk pindah, tapi tak lupa menanyakan pendapat kami berdua. Di situ kami berdiskusi cukup panjang. Walaupun keputusannya sudah dibuat, tapi bagi saya yang waktu itu masih berusia 15 tahun merasa pemikirannya didengar.

    Rasanya 5 hal tersebut yang bisa saya jadikan pelajaran ketika saya menjadi ibu saat ini. Mudah-mudahan saya bisa jadi mama yang asyik buat Langit dan teman-temannya.

    Oh iya, karena penasaran akhirnya saya sempat bertanya pada mama, kenapa dia begitu percaya anak gadisnya ini pergi sama sekumpulan bocah laki-laki belasan tahun. Mau tau jawabnya apa?

    "Soalnya mama percaya sama insting mama, bahwa teman-teman kamu itu baik dan sopan"

    Itu saja! Baiklah, pelajaran yang bisa diambil berikutnya berarti, trust your instinct :D

     

    PAGES:

    Share Article

    author

    nenglita

    Rock n Roll Mommy


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan