banner-detik
ETC

Pusing Memilih Sekolah?

author

vanshe14 Oct 2014

Pusing Memilih Sekolah?

motherhood*Gambar dari sini

Setelah hampir lima tahun jadi orangtua, saya menyadari kalau terjadi banyak pergeseran dalam pemahaman maupun cara berpikir saya, salah satunya, ya seputar pengasuhan.

Entah karena masih kinyis-kinyis (masih usia kepala dua, maksudnya) ketika menjadi orangtua, digabungkan dengan titel sebagai "new parents," sepertinya dulu apa-apa bawaannya ribet. Mau menentukan pilihan ribet, mau menjalani pilihan juga lebih ribet. Sebut saja pilihan-pilihan yang "esensial" seperti mau melahirkan dengan metode apa, mau memberikan anak ASI saja atau dicampur susu formula, mau menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja, dan seterusnya. Proses menentukan pilihan diwarnai tidak hanya dengan masukan dari berbagai sumber, tapi juga keyakinan pribadi atas apa yang prinsipil dan apa yang "haram."

Belum lagi pilihan-pilihan di luar itu, yang mungkin tidak begitu penting tapi tidak kalah membikin mumet. Name it, deh: jenis stroller, merek popok, pilihan aktivitas buat anak, pilihan DSA, mau menaruh ASIP di botol atau plastik, dan seterusnya, dan lain sebagainya. :D

Padahal, ketika melakukan kilas balik ke masa-masa itu sekarang, TERNYATA pendapat yang mendasari pilihan-pilihan itu bisa berubah. Apa yang dulu dianggap prinsipil dan dipikirkan bolak-balik sampai kurang tidur, ternyata bisa menjadi tidak se-prinsipil itu seiring dengan berjalannya waktu. Ataupun apa yang dianggap "haram" dan a big no-no, ternyata malah terbukti membuat hidup lebih praktis dan menyelematikan diri dari stres, misalnya.

Opini kita bergeser. Pertimbangan-pertimbangan kita tidak lagi mengerucut ke satu hal, tapi meluas ke berbagai faktor lain.

Kalau dipikir-pikir, those options don't get any easier, sih.

Tapi mungkin kita yang menjadi lebih 'matang' sebagai pribadi, dan juga sebagai orangtua.

Dalam tulisan ini, hal yang secara khusus ingin saya bahas karena juga mengalami fenomena pergeseran opini tadi, adalah soal pilihan sekolah.

Sebenarnya pernah terpikir untuk menuangkan pendapat pribadi tentang pilihan sekolah saya untuk anak. Faktor-faktor apa saja yang mendasari, apa saja kelebihan sekolah pilihan maupun kekurangannya. Namun, ternyata ada bagusnya tulisan itu tertunda hingga saat ini karena kesibukan dan lain hal (terima kasih, time-management skill-ku yang buruk), karena seiring dengan berjalannya waktu, ternyata opini saya, ya itu tadi, bergeser.

Selanjutnya: Bagaimana pergeseran itu terjadi?

old-school-methods*Gambar dari sini

Dulu, saat pertama kali melalui fase mencari sekolah yang "terbaik" untuk anak, checklist saya rasanya idealis banget. Maunya yang full berbahasa Indonesia, yang tidak mengajarkan calistung, yang membumi, sekaligus yang mendahulukan pembentukan karakter anak di atas segalanya.

Ketika mulai melakukan survei ke beberapa sekolah untuk memilih preschool bagi Bumy dulu, kriteria saya dan juga suami menjadi lebih spesifik, misalnya yang

  • Metode pendidikannya oke; membuat anak suka belajar, bukannya terbebani.
  • Kurikulumnya "nyambung" dengan visi jangka-panjang kami terhadap anak.
  • Biayanya nggak melebihi 10% income, hehehe.
  • Dengan tetap mengikutkan kriteria "idealis" di awal tadi, bagi saya saat itu, yang menjadi prioritas dalam memilih sekolah, ya apa-apa yang ada di checklist. Hal-hal lain di luar itu dapat diabaikan. Cincay aja.

    Nggak perlu, deh, fasilitas yang keren bin mutakhir, yang penting si anak happy dengan metode pengajaran yang asyik.

    Atau nggak pentinglah kualifikasi para pengajarnya bagaimana, yang penting punya kepedulian tinggi.

    Atau juga nggak apa-apa, deh, program pendidikannya terkesan eksperimental karena campuran berbagai metode, yang penting anak bisa bersosialisasi dan terbiasa bersekolah.

    Sekarang, dengan bertambahnya pengalaman menyekolahkan anak (meski baru setahun lebih, sih, hehehe), mulai, deh, mata saya terbuka. Saya bisa melihat dengan lebih jelas faktor-faktor lain dalam memilih sekolah buat anak. Saya juga jadi terbantu untuk mengenali apa saja, sih, hal-hal yang ternyata krusial buat saya.

    Saat menyadari hal ini, tiba-tiba terlintas di pikiran saya, apa mungkin keinginan untuk menjadi "idealis" dengan being ill-informed itu bedanya tipis, ya? Karena jujur saja, dengan menganggap kriteria saya itu sudah yang paling ideal, saya jadi kurang kritis terhadap cara berpikir dan pilihan saya sendiri; dan ujung-ujungnya, jadi suka nyinyir sama pilihan-pilihan lain. Misalnya dengan menganggap pilihan saya sudah yang paling oke dan "benar."

    Bergerak dari situ, saya mulai menyambangi beberapa sekolah, dan mendapatkan bermacam-macam insight dari kunjungan-kunjungan itu.

  • Sekolah A
  • Fasilitasnya bagus, metode pengajaran yang ditawarkan menarik, biaya ramah di kantong. Wah, belum apa-apa saya sudah naksir duluan! Tapiii, ketika saya diajak tour keliling sekolah dan mampir ke sebuah ruang kelas, ada guru yang posisi badannya sedang leyeh-leyeh di lantai, dan cuek saja ketika kami hampiri. Bukankah saat itu sedang "jam kerja" staf sekolah, ya? Menurut saya, attitude SDM sebuah sekolah yang seperti itu kurang membuat sreg.

    Tak hanya di sekolah A, saya juga pernah melihat guru-guru sebuah sekolah yang mengingatkan anak-anak supaya tidak lari-lari dengan cara berteriak kencang-kencang. Atau malah ada yang guru-gurunya malah selfie beramai-ramai (er, we-fie?) bukannya mengawasi murid-murid yang sedang outdoor play.

    Hal ini membuat saya sadar bahwa attitude SDM sebuah sekolah itu penting. Karena anak-anak 'kan meniru dan menyerap perilaku siapapun di sekelilingnya, terlebih yang ditemui setiap hari seperti di sekolah.

  • Sekolah B
  • Megah, fasilitas oke banget, metode pengajaran inovatif dan keren. Tapi saya perhatikan, chemistry guru-guru dengan para muridnya kurang. Malahan guru terkesan seperti babysitter karena kurang berwibawa dan tidak mengesankan punya otoritas mendisiplikan muridnya. Dari sini, saya mendapat insight bahwa selain kualifikasi pendidikan, kualitas guru sebagai pendidik juga perlu diperhatikan.

    Cukupkah membandingkan 2 sekolah? Saya tidak. Simak di halaman selanjutnya!

    SchoolChoice*Gambar dari sini

  • Sekolah C
  • Lokasinya ribet, biayanya mahal banget, tapi metode yang diusung terdengar menarik dan cocok dengan visi-misi kami untuk anak. Ketika kami berkunjung ke sekolah tersebut, terlihat kondisi belajar-mengajarnya yang baik, chemistry guru dan murid bagus, murid-murid juga tenang dan terarah. Ketika ngobrol lebih jauh dengan Vice Principal-nya, kami jadi tahu lebih banyak soal metode pengajaran yang diterapkan; di mana anak dipandang sebagai entitas yang unik dan value "respect" dijadikan sebagai landasan untuk mendidik; tak hanya itu, prasarana mengajar otentik dan sesuai dengan metode yang digunakan, serta guru-gurunya secara rutin di-training. Hmm, dari sini kami jadi tahu kalau biaya yang dikenakan itu memang sebanding dengan kualitas pendidikan yang diberikan.

  • Sekolah D
  • Metode pendidikan yang diterapkan menurut kami "inovatif" karena terdiri campuran beberapa jenis metode, hanya saja fasilitas dan kondisi sekolah kurang memadai, ditambah tenaga pengajarnya minim pemahaman tentang kesehatan dan higienitas. Sementara itu, kesan dari interaksi dengan pihak sekolah begitu menggoda karena dipaparkan visi, metode pendidikan serta character building yang aduhai. Gimana, dong, tuh?

    Hal-hal di atas membuat saya jadi banyak dialog sama diri sendiri, dan juga diskusi dengan suami. Misalnya soal kebersihan dan keamanan sekolah. Tadinya sih, saya nggak rewel urusan higienitas atau safety. Katanya 'kan, sedikit kotor itu baik. Begitu juga sedikit-sedikit kena virus, bukannya bisa membangun imunitas? Tapi jika dipikir ulang, gimana anak bisa sempat di-build karakternya kalau jarang datang ke sekolah akibat sakit atau (naudzubillah) kenapa-kenapa di sekolah?

    Lalu soal fasilitas sekolah. Memang sih, kami tidak mengharapkan sekolah yang menyediakan playground sendiri untuk setiap kelas, hehe, tapi setidaknya tersedia fasilitas yang memadai dan terawat untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar. Hal ini sifatnya sangat subjektif, sih. Apa yang buat orang lain cukup, belum tentu dipandang memadai oleh saya; begitupun sebaliknya.

    Yang lainnya, faktor bahasa yang digunakan. Idealisme saya untuk milih sekolah yang Bahasa Indonesia full only thok mulai terkikis berkat informasi bahwa belajar bahasa lain sejak dini itu nggak apa-apa, asalkan si anak siap dan kondisi di rumah mendukung - seperti dibeberkan di artikel ini.

    Well, sekian banyak sekolah di dekat kawasan rumah dan sekitarnya tentunya gak mungkin saya sambangi satu persatu. Selain banyak browsing, saya juga terbantu oleh thread "School's Cool"-nya Mommies Daily, karena banyak mamah-mamah yang rajin mencari tahu soal opsi-opsi sekolah dan mau berbagi tentang apa yang dicari dari metode pendidikan tertentu.

    Kalau gitu, sekolah bagaimana dong, yang terbaik? Simak lanjutannya di halaman berikut, ya!

    IMG_7913Salah satu hal yang saya ketahui dari "riset" lewat internet adalah kalau sekolah itu bisa dibedakan nggak cuma dari kurikulumnya, tapi juga menurut jenis manusia seperti apa yang ingin dicetak. Misalnya, ada sekolah yang ingin mencetak manusia dengan leadership skill dan kepercayaan diri yang tinggi, jadi, ya jangan nyinyir kalau sekolah itu sering mengasah skill presentasi atau mengadakan school performance, bahkan sampai diadakan di mall.

    Atau ada sekolah yang ingin mencetak manusia yang unggul di bidang akademis, jadinya ya wajar kalau anak-anak di sekolah tersebut dapat banyak tugas, dikejar target untuk meraih nilai akademis gemilang, dsb.

    Atau bila ada sekolah yang membiarkan murid-muridnya kotor-kotoran dan bergelayutan di pohon, ya jangan mencibir juga, mungkin metode dekat-dengan-alam sesuai dengan visinya untuk mencetak anak-anak yang bermental kuat dan membumi.

    Begitu juga ada sekolah yang ingin mencetak manusia-manusia dengan pemahaman tinggi di bidang agama, atau ingin mencetak pengusaha-pengusaha sukses, daaan lain-lain.

    Akhirnya, ya balik lagi ke visi kita buat anak seperti apa. Iyaah benar, capek-capek visiting, trial, interview, ujung-ujungnya, PR besar itu harus dibereskan oleh orangtua dahulu.

    Mau kurikulum yang bagaimana? Sudah kenal baik bakat, kepribadian dan preferensi cara belajar anak, belum? Mau anak menjadi manusia yang bagaimana ke depannya? Apakah kita sebagai orangtua bisa konsisten menerapkan metode pendidikan yang sama di rumah?

    Dan menurut saya, kita juga perlu mengurutkan prioritas terkait faktor-faktor "eksternal" misalnya kondisi fasilitas, keamanan dan kebersihan sekolah, jarak rumah ke sekolah, ada jemputan atau tidak, ekskulnya apa saja, policy terkait anak sakit, makanan disediakan atau tidak (faktor penting buat saya! hehe), sampai ke "Sekolah itu peminatnya banyak, kalau anak kita nggak kebagian seat, bagaimana??"

    Hihihi, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan banyak sekali, ya, Mommies? Tapi tak perlu pusing, Mommies Daily punya banyak referensi kok, seputar memilih sekolah, yang sudah saya gunakan juga, di antaranya:

    - Pilih-pilih Sekolah

    - Memilih Sekolah (Ter)baik untuk Anakku

    - Menimbang dan Memilih Sekolah Anak

    Kesimpulannya, galau karena urusan sekolah itu sah-sah saja, karena itu memang fase yang harus kita lalui sebagai orangtua. But don't let yourself worry too much, because like the wise man said, "This too shall pass." ;)

    PAGES:

    Share Article

    author

    vanshe

    Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan