banner-detik
PARENTING & KIDS

'Ngambek' Sama Anak, Boleh Nggak?

author

adiesty10 Oct 2014

'Ngambek' Sama Anak, Boleh Nggak?

Benar apa yang Lita bilang, sesungguhnya anak adalah ujian pertama buat perempuan. Jadi nggak aneh kalau setiap hari ada saja polah mereka yang menguji kesebaran kita. Masalahnya, dibeberapa situasi,  sumbu kesabaran saya sering nggak terlalu panjang.

bumi

Misalnya beberapa hari lalu, tau-tau Bumi mogok sekolah. Padahal pagi itu Bumi sudah kece dengan seragam dan sepatunya. Tasnya pun sudah siap dia gembol.  Tapi tiba-tiba saja setelah jemputannya datang, dia langsung bilang nggak mau sekolah. Mending, ya, kalau cuma bilang, “Bumi nggak mau sekolah, Bu.” Lah ini, pakai acara tantrum, teriak-teriak nggak jelas? Mmmft.... *emosi*

Setelah proses negosiasi, Bumi pun akhirnya mau masuk ke mobil jemputan. Syaratnya, saya harus menggendongnya dulu dari teras menuju mobil jemputan. Tapi ternyata, bukannya anteng dan langsung ke sekolah, Bumi malah merengek minta supaya saya ikut ke sekolah naik jemputan. Duuuh, ternyata drama pagi harinya belum selesai. KZL!

Melihat Bumi begitu keukeuh sumekeh nggak mau sekolah, akhirnya saya pun nyaris putus asa. Ujung-ujungnya Bumi jadi nggak sekolah. Mau tetap dipaksa supaya ke sekolah, kok, rasanya kasihan juga, ya? Selain takut cuma jadi akal-akalannya saja, saya juga takut kalau Bumi jadi benar-benar trauma ke sekolah. Pergi ke sekolah cuma hanya kerena keinginan saya, ibunya. Lagi pula bukankah tindakan pemaksaan kepada anak, termasuk memaksa anak untuk sekolah, sama saja mengajarinya kalau perilaku memaksa itu dibolehkan?

Setelah jemputannya jalan, saya pun sempat bilang ke Bumi kalau saya begitu kecewa dengan tindakannya. Seperti biasa dan sesuai dengan kesepakan kami sebelumnya, kalau sata kecewa melihatnya teriak-teriak nggak jelas, saya akan melakukan aksi mogok ngomong. Iya, saya lebih milih mendiamkannya ketimbang mulut ini berkicau nggak karuan.

Tapi, berbeda dari kasus lainnya, kali ini saya memang lebih lama mendiamkannya. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam sangat menyesal bahkan sampai kepikiran sampai kantor.

"Salah nggak, sih, Lit, tindakan gue? Gue udah kesel banget soalnya,” begitu curhat saya ke Lita.

“Nggak apa-apa, kok. Enhale exhale. Tenangin diri lo aja dulu, dari pada ngomong dan keluar kata-kata yang nggak baik,” begitu tanggapan Lita

Setelah puas curhat ke Lita dan mendapatkan kiat-kiat bagaimana menghadapi anak yang lagi mogok ke sekolah. Sesi curhatan saya pun berlanjut. Kali ini kembali curhat ke Ayoe Sutomo, M.Psi.

Kalimat pertama yang ia berikan ke saya, “Anak seusia Bumi itu sudah pintar sekali. Artinya, untuk mendapatkan apa yang dia mau, sudah bisa menggunakan berbagi macam cara. Mulai dari membujuk, negosiasi,  ngambek atau sedikit ‘manipulasi’. Seperti yang Bumi lakukan itu..."

Lalu, bagaimana dengan tindakan saya yang akhirnya sempat mendiamkan Bumi? Lengkapnya baca penjelasan Ayoe Sutomo M.Psi di halaman berikut, ya.

bumi ibuk

Menurut penjelasan Mbak Ayoe, ada dua alasan yang sering menyebabkan orangtua mediamkan anak, yaitu,

1. Sebagai konsekuensi dari salah satu perilaku yang sudah dilakukan anak.

2.Ketika emosi orangtua sedang lelah sehingga menarik diri dari anak.

"Orangtua yang memutuskan untuk mendiamkan anaknya sebenarnya boleh saja. Terlebih jika Ibu merasa secara emosi sedang lelah, sehingga menarik diri dari anak menjadi lebih baik dibandingkan meluapkan emosi pada anak, Namun, ada baiknya ada orang lain, idealnya suami, yang tetap mendampingi anak." ujarnya.

Lebih lanjut, Mbak Ayoe mengataka jika mendiamkan anak sebagai bentuk konsekuensi , sebaiknya sudah ada kesepakatan dulu dengan anak jika melakukan tindakan tertentu, Ibu akan memilih untuk diam. Jadi, bukan tiba-tiba orangtua mendiamkan anak, sementara anak tidak mengerti kenapa ia didiamkan.

Kalau memang boleh, sejauh mana, sih, Mbak batas-batasnya?

Tentu kalau karena kita, sebagai orangtua lelah emosi, mendiamkan anak bisa dilakukan setelah emosi kita sudah kembali membail. Kalau memang karena konsekuensi, maksimal sesuai dengan jumlah menit usia anak. Misalnya anak seusia Bumi, idealnya hanya boleh didiamkan maksimal selama 5 menit.

Apakah tindakan mendiamkan anak ini bisa memberikan efek jera?

Kalau memang mendiamkan anak sebagai salah satu konsekuensi, maka akan efektif jika caranya sudah tepat. Misalnya sudah ada kesepakatan lebih dulu dengan anak, orangtua melakukan aktivitas seperti biasanya saja, seolah-olah memang tidak terjadi apa-apa. Dalam hal ini, kita juga harus tahan dengan rengekan dan tangisannya. Setelah mendiamkan, untuk anak-anak di atas 4 tahun, sudah bisa diajak diskusi tentang apa yang dilakukannya sehingga membuat orangtua mendiamkannnya.

Biasanya, pilihan mendiamkan anak ini jadi pilihan Ibu, seperti saya supaya nggak ngomel berkepanjangan dan menghindari keluar kata-kata yang nggak semestinya. Ada cara lain nggak, sih, Mbak supaya mengingatkan kita sebagai orangtua untuk meredam emosi?

Sebenarnya emosi itu adalah hal yang sangat wajar yang dimiliki manusia, hanya saja kita memang harus pandai mengelolanya. Ketika kita memang sedang emosi dengan anak, harus bisa kerja sama dengan pasangan dan saling mengingatkan. Jika Ibu yang sedang emosi, ayah yang harus bisa ambil alih. Begitu juga sebaliknya.

Sebaiknya dalam pola asuh juga selalu lakukan pengasuhan berkesadaran. Dalam hal ini, kita harus selalu sadar kalau anak itu tidak pernah minta dilahirkan. Ekstremnya lagi, ketika kita marah sama anak, coba deh kita ingat-ingat, kalau anak yang kita punya, which is sebenarnya cuma titipan Tuhan. Jika anak kita diambil sekarang sama Tuhan, sudah siapkah?

Ya, Tuhan... kalimat Mbak Ayoe ini benar benar bikin #jleb, deh. Walaupun proses mendiamkan Bumi saya lakukan setelah ada kesepakatan lebih dulu, dan suami saya terus mendapingi Bumi serta ikut menjelaskan kenapa Ibunya diam seribu bahasa, tetap saja nyesel sudah nyuekin Bumi seperti waktu itu :((

Aaah, memang harus banyak belajar sabar, nih. Andai saja sabar itu bisa dibeli... pasti saya akan menyimpan stok lebih banyak. Pakai sistem pre order saja juga rela!

PAGES:

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan