Ketika masih bekerja di sebuah majalah, saya mempunyai rekan kerja bernama Justine Tedjasukmana. Sebelum menjadi reporter di Jakarta, setelah meraih gelar Master bisnis media percetakan di New York, Justine bekerja sebagai PR Assistant di perusahaan buku anak-anak Bloomsbury Publishing, New York.
Menurut ceritanya, keluarga Justine memang menjunjung tinggi pendidikan. Kedua orangtuanya menyandang gelar S2, tentu ini menjadi harapan kalau anak-anak mereka akan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang tersebut. Gayanya yang dinamis membuat saya kaget ketika mendapat kabar setelah melahirkan anak pertamanya di Singapura yang diberi nama Carter Zhihao He, dirinya menjadi ibu rumah tangga. Wait what? She hold a Master Degree from New York and now she's staying at home for her family? Bagaimana ceritanya?
Hai Justine, sebelum cerita soal jadi ibu rumah tangga, pengin tahu, dong, dulu kuliah apa dan di mana? Ada keinginan untuk meneruskan ke jenjang S3?
Kuliah S1 saya di kota Boston di bidang sastra postkolonial. S2 lanjut di New York di bidang bisnis media percetakan. Meskipun saya senang bidang sastra, saya sadar saya nggak punya bakat jadi pakar akademis. Sempat magang di penerbitan buku di tahun ketiga kuliah, saya lebih senang keseharian bekerja daripada menganalisa karya-karya sastra sendirian di perpustakaan. Karena itu saya melanjutkan S2 di bidang yang tergolong lebih praktikal. Itu juga alasan mengapa saya nggak mikir untuk S3, karena kan S3 sifatnya sangat akademis.
And now you're staying at home! Pernah membayangkan hal ini sebelumnya?
Lucunya pas saya masih TK, ada guru yang minta kami menggambar cita-cita kita. Saya gambar satu keluarga di meja makan dan dengan bangga saya bilang saya mau jadi mama. Guru pun sempat menjelaskan panjang lebar kalau pun saya jadi mama, saya tetap bisa punya profesi lain,kok. Entah mengapa saya ngotot pokoknya saya maunya jadi mama.
Selain itu, dari kecil saya senang anak kecil. Senang aja menghirup aroma tubuh mereka yang wangi dan menyaksikan tingkah mereka yang lucu-lucu, walau kadang sedikit nyebelin. Dipeluk anak kecil yang bukan anak saya sendiri saja, I can feel such a pure joy that only a child can give you. Saya pikir kalau saya bisa menghabiskan sebagian besar waktu saya sama anak-anak saya sendiri, saya pasti akan sangat bahagia.
Bagaimana dengan gelar masternya? Apa Justine nggak menyesal, sudah sekolah tinggi-tinggi, lalu jadi ibu rumah tangga? Simak di halaman selanjutnya ya.
Nggak sayang dengan gelar Master yang sudah diraih?
Mama saya punya gelar S2, tapi beliau ibu rumah tangga. Jadi saya nggak pernah melihat kedua hal tersebut sebagai hal yang terpisah. Kenapa saya sekolah sampai S2 padahal saya tahu saya ingin jadi ibu rumah tangga? Ya karena saya juga punya keinginan menekuni bidang yang saya senangi. Lagipula nggak tahu kan, sampai kapan suami bisa membiayai rumah tangga tanpa dibantu pemasukan kedua? Seandainya suatu hari saya terpaksa bekerja di luar rumah, bukankah lebih senang kalau bisa bekerja di bidang yang saya sukai karena saya sudah punya skills dan pendidikan yang memadai?
Walau pernah juga lihat wanita-wanita karir yang jalan-jalan pakai dress rapi dan sepatu hak tinggi dan merasa sedikit iri, apalagi dibanding penampilan saya yang sekarang cuma celana pendekan dan kaos belel sampai pernah disangka pembantunya anak saya oleh barista Starbucks (Duh, mentang-mentang saya sekarang tampil seadanya dan ngomong Bahasa Indonesia, di Singapura disangka TKW). Tapi anak saya hanya kecil sekali saja. Kalau saya kerja di kantor dan anak saya hanya sama asisten rumah tangga, saya pasti malah iri sama si ART ini. She gets to spend every moment with my kids while I am away. Saya nggak mau orang lain yang menikmati apa yang selama ini ingin saya nikmati. Saya tahu saya beruntung orang tua saya mampu dan mau membiayai saya sekolah sampai S2 dan suami saya juga mampu dan mau membiayai keluarga kecil kami sehingga saya bebas menjadi ibu rumah tangga. Justru inilah yang selalu saya ingat-ingat setiap kali mulai jenuh di rumah.
Do you think women need to educate herself even at some moment they will become a mother?
Of course. Pendidikan bukan hanya untuk cari uang semata. Pendidikan juga untuk memperkaya diri sendiri. Sampai sekarang, saya ngomongin hal-hal apa saja bisa nyambung sama mama, karena beliau pandangannya luas berkat sekolah tinggi. Saya harap dengan bekal pendidikan, setelah putra-putra saya dewasa, saya jadi nggak ketinggalan kereta, dan masih bisa mengikuti cara pikir mereka yang tentu akan semakin sophisticated.
Jujur saja, sebagai orang Indonesia di Singapura, saya sering mendapat perlakuan rasis dan cenderung kasar dari kerabat di sini. Kebanyakan dari mereka hanya lulusan SMP dan susah menerima perbedaan, cenderung bersikap sok tahu dan merasa diri benar. Mungkin ini karena wanita-wanita ini nggak pernah meninggalkan their little comfortable corner of the world. Bukannya saya beranggapan bahwa nggak berpendidikan pasti jadi ibu yang berpikiran sempit, loh. Asal lapang dada dan bersikap terbuka, sih, nggak masalah. Tapi kadang pendidikan itu dibutuhkan untuk memaksa kita membuka mata, bikin kita sadar bahwa ada dunia lain di luar dunia kita. Seperti pepatah yang bilang, the more you learn, the more you realize how little you know.
Menurut Justine, Ibu yang ideal itu seperti apa?
Ibu ideal adalah ibu yang ikhlas. Namanya ibu rumah tangga yang mengurus anak sendirian pasti banyak kebagian tugas-tugas yang melelahkan seperti mandiin anak atau nyuapin anak. Semua ini kan nggak boleh kita lihat sebagai pengorbanan. Toh anak kita nggak minta dilahirkan kan? Kita yang pengen ya kita yang tanggung jawab. Dibesarkan di keluarga berada tapi lalu menikah dengan tentara, saya nggak mungkin bisa punya satu suster untuk satu anak seperti kebanyakan teman-teman saya. Dulu manja, apa-apa tinggal tunjuk, sekarang semua harus sendiri.
Eh, susah ikhlasnya bukan di situ, tapi karena putra saya sangat mengidolakan ayahnya. Apa-apa maunya sama daddy. Biasa sih suami saya rajin pulang untuk nyuapin anak makan malam. Kalaupun harus lembur, dia bela-belain pulang untuk nyuapin baru pergi kerja lagi. Pernah dia ada acara kantor dan nggak bisa pulang. Ternyata acaranya lanjut ke happy hour. Besoknya, anaknya nangis-nangis. Nggak mau sarapan sama ibunya, maunya sama bapaknya. Duh, hati rasanya dongkol banget. Sudah saya nggak pernah ke mana-mana sementara bapaknya masih bisa happy hour, anak maunya sama bapaknya terus. Ya tapi sebagai ibu harus ikhlas, masih untung suami pintar urus anak. A stay at home mom has to bear the grunt work, while daddy gets to breeze in and out and be fun daddy.
Jadi ibu rumah tangga kan pilihan saya. Itu yang harus selalu saya ingat. It's not a sacrifice, it's a privilege. Ga semua orang dikasih kesempatan ini. Janji saya sih kalau anak-anak sudah besar, nggak mau sampai keceplosan nuntut, "Dulu kan mommy sudah begini-begini untuk kamu, sekarang kamu harus begini dong." Itu kan memang tanggung jawab seorang ibu, janganlah diungkit-ungkit dan jangan iri hati sama suami sendiri. Haha.
Selanjutnya: My mom, my role model!
By the way, ada rencana untuk kembali bekerja nggak?
Wah, belum tahu juga ya. Beranak pinaknya saja belum selesai. Haha. Tapi saya nggak pernah menutup kemungkinan itu, sih. Saya masih bekerja di rumah sebagai penerjemah lepas, menerjemahkan novel dari Bahasa Inggris ke Indonesia. Saya juga masih ikut-ikutan Singapore Writers' Festival, peluncuran novel di toko-toko buku, dan acara sebagainya, sampai bujuk-bujuk suami pulang cepat untuk nyuapin anak. Pokoknya saya tetap ingin up-to-date dengan dunia book publishing sebisa mungkin. Seandainya anak-anak sudah agak besar dan ada dorongan serta kesempatan yang cocok, maybe I can go back to work.
And who is your role model?
Probably my own mom. Beliau super-organized. Beda sama saya yang cenderung santai. Waktu saja kecil, sebelum pasta gigi habis, pasti sudah ada pasta gigi yang baru di laci, padahal nggak ada yang bilang ke mama untuk beli. Plus, mama nggak pernah menyiratkan bahwa menjadi ibu rumah tangga itu artinya menyia-nyiakan potensi diri sendiri. She just seems happy to be at home.
Eh, ada pelajaran yang berkesan dari cara orangtua mendidik?
Meskipun cukup strict soal masalah sekolah dan nilai pelajaran, orangtua saya definitely want me to be well travelled. Setiap liburan sekolah pasti diisi dengan jalan-jalan ke luar negeri, misalnya ke negara-negara Eropa, ke Mesir, atau ke Jepang. Tujuannya, sih, supaya mata kami lebih terbuka dengan mengenal beragam budaya asing. Biasanya sebelum jalan-jalan, mama akan memutar film klasik yang berlatar belakang negara yang akan dikunjungi. Karena ini, saya menganggap pendidikan bukan hanya sekedar classroom experience, nggak harus bersifat monoton atau membosankan, tapi bisa terasa fun.
Last one, a trivia! Give me three reasons why you proud to be an educated woman who choose to stay at home with your son!
Pertama, kebiasaan masa sekolah terbukti berguna dalam membesarkan anak. Biasa membaca dan mencari info, saya jadi banyak baca mengenai gender marketing. Pas putra saya ngambek minta kipas Hello Kitty, berbekal hasil bacaan, saya nahan diri untuk nggak spontan komentar, "Kok anak laki maunya Hello Kitty, itu kan mainan perempuan." Saya nggak mau mendikte anak laki itu harus bagaimana. Biar saja pembentukan pribadi dia berjalan natural. Banyak membaca membantu banget supaya nggak asal bicara atau asal bertindak dan merugikan perkembangan anak. Terutama karena saya di Singapura sendirian tanpa mama atau saudara yang membantu membesarkan anak dan memberi nasihat.
Kedua, saya bangga karena tahu saya itu ibu rumah tangga karena pilihan. Kan kadang ada ibu rumah tangga minder saat ditanya kerjanya apa. Saya tahu saya ibu rumah tangga bukan karena saya malas kerja, bukan karena nggak bisa cari uang, dan bukan karena kurang pintar untuk terjun dunia kerja. In fact, I did explore every other possible option available before I made this decision. Saya bisa menentukan masa depan saya sendiri on my own terms dan saya bangga akan itu.
Ketiga, pernikahan saya jadi lebih bahagia. Saya lebih maksimal ada untuk suami. Kalau suami saya tugas malam dan ingin ajak anak jalan-jalan di siang hari, saya bisa ikut serta. Suami juga terlihat lebih bangga sama saya karena melihat saya bisa mandiri mengurus anak. Kalau dulu suka mengejek saya yang dia bilang manja, sekarang dia justru sengaja nggak membangunkan saya di hari Sabtu pagi. Dia yang mandiin dan kasih makan anak, lalu mereka pergi main basket berdua. Katanya supaya saya punya me time. Kalau saya ga full time mengasuh anak, mungkin saya nggak akan melihat sisi kepribadian suami yang seperti ini dan semakin merasa disayang suami.
--
Wah, cerita Justine ini jadi menambah semangat saya untuk meneruskan sekolah walau sudah berstatus menjadi ibu. Setuju banget kalau pendidikan untuk 'memaksa' kita untuk mau membuka pikiran dan tentunya mempunyai berbagai perspektif sebelum menilai sesuatu. She inspires me! Dan menurut saya, Justine pas banget kalau dinominasikan di Women of Worth yang sedang dilaksanakan oleh Loreal Paris. Mommies punya teman, sahabat atau kerabat yang menginspirasi juga? Daftarkan mereka yuk di laman Women of Worth!
Thanks Justine, salam untuk Ivan dan Carter di Singapura sana, ya!