*Gambar dari sini
Saya mengenal bahasa Inggris pertama kali ketika saya masih berusia sekitar 7 tahun dan duduk di kelas 1 SD. Setelah dikeluarkannya keputusan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghapuskan pelajaran Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di SD mulai tahun 2014 maka otomatis Bahasa Inggris hanya akan menjadi kegiatan ekstra kulikuler. Salah satu alasan yang diberikan adalah memberi waktu kepada para siswa untuk memperkuat kemampuan Bahasa Indonesia sebelum mempelajari bahasa asing di samping kurangnya jumlah guru yang kompeten. Keputusan ini mengundang pro dan kontra dikalangan orangtua dan masyarakat.
Terlepas dari keputusan dan perdebatan yang sedang ramai dibicarakan, saya pikir pengalaman masa kecil ketika mengenal bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tidak pernah saya rasakan sebagai kegiatan ‘belajar’.apalagi sebagai beban. Saya malah sangat menikmatinya. Ketika itu ibu saya memberikan sebuah audio cerita pendek berbahasa Inggris dalam bentuk kaset bersama buku bergambar dengan teks bahasa Inggris untuk saya dengar. Dalam kaset tersebut, saya hanya mendengar dialog yang diucapkan dalam bahasa Inggris oleh native speakers. Saya senang sekali dengarnya! Kaset tersebut saya ulang ulang terus berhari-hari tanpa merasa bosan sampai saya hapal dialognya. Tanpa saya sadari ternyata hasilnya sungguh fantastis, saya dapat mengucapkan dan meniru semua dialog dari cerita tersebut dengan lafal seperti lafal native speaker.
Karena saya suka sekali mendengarnya, maka saya minta dibelikan lagi kaset lain oleh ibu saya. Akhirnya koleksi cerita berbentuk audio listening saya bertambah yang otomatis juga membuat vocabulary saya meningkat dan kemampuan saya berbicara dalam Bahasa Inggris makin lama makin lancar.
Jadi seperti itulah cara saya ‘belajar’ bahasa Inggris waktu masih di Sekolah Dasar.
Peran ibu memang sangat berarti bagi saya yang saya rasakan manfaatnya sekarang. Saya dapat berbicara, membaca dan menulis dalam Bahasa Inggris dengan mudah. Beliau sama sekali tidak mengajarkan saya grammar, dia hanya memberi saya audio listening yang menarik, fun sehingga saya keranjingan untuk mendengarnya berulang-ulang. Tapi ternyata hasilnya efektif sekali. Saya tidak dimasukkan kedalam sekolah bilingual, saya belajar di sekolah swasta biasa dan saya juga tidak dileskan Bahasa Inggris.
Kebiasaan ini terus berlanjut sampai saya remaja di mana saya sering mendengar audio berbahasa Inggris dalam bentuk short stories dan daily conversation. Saya tidak pernah merasa belajar Bahasa Inggris malah sangat menikmatinya, it’s fun and I really enjoy it. Sekarang Bahasa Inggris seperti bahasa kedua yang secara otomatis bisa saya ucapkan dengan lafal seperti native speaker.
Mengapa ibu saya memberikan audio listening berbahasa Inggris itu kepada saya? Ternyata ia mendapat informasi dari sebuah penelitian ilmiah yang mengatakan bahwa memperkenalkan bahasa kedua kepada anak kecil sangat besar manfaatnya.
Seperti yang dikatakan oleh Janet Werker, seorang professor psychology dari Universitas British Columbia di Vancouver. “Usia dini adalah waktu yang sangat baik untuk mengenalkan bahasa kedua, karena fleksibilitas otak” .” (Early childhood is a very good time to acquire a second language, due to brain plasticity) Penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa dalam keluarga-keluarga di mana dua bahasa atau lebih digunakan, anak-anak berkembang dan berbicara dengan fasih dalam kedua bahasa tersebut. Jadi jika anak-anak diberikan kesempatan untuk mendengar bahasa lain di luar bahasa ibunya, maka dengan mudah ia akan menyerapnya.
Mudah-mudahan pengalaman ini dapat memberi informasi dan inspirasi kepada para orangtua yang ingin memperkenalkan bahasa Inggris kepada anak-anaknya. Jangan sia-siakan waktu emas anak ketika otaknya masih sangat mudah menerima bahasa kedua. Berikanlah mereka kesempatan emas ini dengan cara yang sangat mudah yaitu mendengar dan meniru, persis seperti ketika Mommies mengajarkan mereka berbicara pertama kali. Good luck!