Sorry, we couldn't find any article matching ''
"Branding" Untuk Keluarga, Perlukah?
Telah genap satu tahun saya hijrah dari peran sebagai working mom menjadi stay-at-home mom. Ketika teman atau keluarga mendengar ini, komentar mereka kurang-lebih sama, "Wah, nggak terasa, ya udah satu tahun aja?"
Apa iya waktu terasa cepat berlalu selama saya menjalani proses peralihan peran ini? Untuk menjawabnya dengan gamblang: NOPE, the past year didn't feel like a blink of an eye. Bagi saya, masa-masa adaptasi ini sangat terasa laju perubahannya. Saya meresapi capeknya, rempongnya, bosannya beraktivitas di rumah. Tapi, to be fair, saya juga menyesapi senangnya bisa lebih sering bersama anak, rasa bebas tak perlu terikat aturan 5-to-8 dan berjibaku dengan kemacetan, maupun pembelajaran dari setiap hal baru yang saya alami di rumah.
Dalam masa-masa ini, kadang satu hari terasa panjang, kadang begitu singkat, kadang saya menemukan diri bertanya-tanya, "Would anyone remind me why i chose to do this?"
Galaukah saya? Lihat di halaman selanjutnya!
Yap, kadang saya merasa galau juga. Menurut psikolog Toge Aprilianto, galau itu pertanda hati dan kepala sedang nggak kompak. Memang demikian yang terjadi. Ada kalanya "Si Hati" kumat, merengek minta didengar, sementara "Si Kepala" mengingatkan pertimbangan-pertimbangan awal dan konsekuensi yang harus ditanggung.
Selain terkadang galau akibat sulit untuk konsisten, saya juga pernah mengalami dilema karena sulit menentukan prioritas, terlebih setelah punya anak. Di atas kertas, tentunya sudah jelas bahwa begitu hadir, anak seyogyanya menjadi prioritas utama. Tapi, apakah praktiknya juga selalu bisa begitu?
Seringnya 'kan kita harus sadar diri akan keadaan dan berkompromi.
Misalnya, mau mengasuh anak secara full-time seketika si anak lahir. namun sayangnya, kondisi secara finansial belum memungkinkan. Walhasil kita perlu memilih opsi lain yang lebih masuk akal.
Atau seandainya mendapat tawaran pekerjaan dengan benefit yang lebih baik tapi workload-nya lebih tinggi saat kebetulan sedang hamil. Kita harus memilih apakah mau stepping up on the career ladder dengan tantangan harus lebih jago me-manage waktu, atau settle dengan pekerjaan sekarang dengan segala konsekuensinya juga.
Berkaca dari pengalaman, kalau urutan prioritas belum ditetapkan dan disepakati bersama pasangan, urusan pilih-memilih ini bisa membuat masalah semakin ruwet. Lihat di halaman selanjutnya, deh!
Urusan prioritas ini mengingatkan kembali apa yang menjadi pertimbangan saya dan juga suami saat mengambil keputusan ini. Kami punya serentetan cita-cita luhur, seperti pindah tempat tinggal karena ingin mandiri, saya cuti panjang dari pekerjaan saat anak mulai masuk sekolah, ingin menjadi keluarga yang selalu utuh, dan seterusnya. Sebutlah ini visi dan misi yang kami sepakati.
Konsep membuat visi-misi buat keluarga pertama kali saya ketahui dari buku Bruce Feiler, "The Secrets of Happy Families," yang pernah menjadi referensi bagi artikel ini. Feiler membahas tentang family mission statement dalam satu bab khusus berjudul "Branding Your Family."
Metode membuat branding untuk keluarga adalah bagaimana beberapa orang menerapkan brand untuk keluarganya seperti layaknya untuk perusahaan.
Brand atau merek bisa dimaknai sebagai tanda yang dikenanakan pada barang-barang sebagai tanda pengenal, atau juga sebagai kegagahan, keunggulan, kualitas (KBBI). Dalam brand - untuk keluarga - ini dimuat pernyataan misi keluarga; bisa juga dicantumkan daftar dari nilai-nilai yang dipercayai semua anggota keluarga, bahkan juga logo atau tagline yang bisa mewakili "brand" keluarga tersebut.
Kenapa membuat branding untuk keluarga akan sangat berguna? Menurut David Kidder yang menjadi salah seorang narasumber penulis di buku ini, banyak perusahaan 'muda' yang gagal karena tidak mengomunikasikan nilai-nilainya. "You have a charismatic leader with a bunch of beliefs, but those beliefs don't translate to the rest of the company."
Hal yang sama bisa dianalogikan ke dalam unit keluarga. Orangtua tentunya punya visi dan misi yang mau dicapai, baik untuk anak-anaknya maupun untuk keluarga itu sendiri. Orangtua juga ingin nilai-nilai yang mereka anut dan budaya yang mereka jalankan bisa diteruskan ke anak-anak mereka.
Dengan menuangkan visi, misi, dan nilai-nilai dalam sebuah wujud pernyataan yang jelas, orangtua bisa menyampaikan cita-cita luhurnya, dan anak-anak jadi tahu perilaku seperti apa yang diharapkan dari mereka.
Branding keluarga, bisa membuat kita sadar prioritas hidup! Lihat di halaman selanjutnya.
Setelah saya pahami, membuat branding untuk keluarga ini berguna sebagai kompas. Orangtua jadi sadar, apa, sih, tujuan jangka panjang mereka; apa, sih, misi yang mereka usung dengan memiliki keluarga. Lalu, dengan menyatakan visi-misi yang jelas, orangtua jadi bisa menyadari urutan prioritas dalam hidup mereka. Tapi sebelum dapat menyusun prioritas, orangtua perlu menyepakati core values atau nilai-nilai inti yang menjadi dasar atau fondasi keluarga. Nilai-nilai ini sifatnya abadi, dan menjadi semacam lem yang daya tahannya melampaui waktu dan batas geografi.
Ah, saya jadi teringat kata-kata di video "The Great Speech"-nya Anies Baswedan, dia bilang cita-cita itu berbeda dengan misi. Misi bisa diwariskan, bisa diteruskan kepada orang-orang yang satu visi dengan kita. Kalau kita tidak bisa mencapainya, misi itu tidak mati. Sementara cita-cita hanya untuk pribadi, dan cuma bisa dicapai oleh diri kita sendiri.
Lalu, branding macam apa yang kami buat untuk keluarga sendiri?
Sekian bulan setelah berkenalan konsep ini, akhirnya saya tergerak juga untuk mencoba membuat family mission statement sendiri.
Saya dan suami pertama-tama menyusun hal-hal yang kita sepakati sebagai values atau nilai-nilai luhur keluarga. Isinya standar saja (namun esensial karena berguna sebagai moral compass), seperti "Faith."
Value lain terinspirasi dari ayah saya. It's "Family." Beliau berprinsip kalau keluarganya nggak boleh kocar-kacir secara fisik, sebisa mungkin. Dia menolak ditempatkan kerja di kota yang berbeda dari keluarga dengan risiko terlewat promosi. Dia juga tidak mengizinkan saya masuk SMP di kota lain dan tinggal dengan nenek. Menurut beliau, apapun yang terjadi, family stick together. :')
Apalagi yang saya susun? Lihat di halaman selanjutnya, ya!
Lalu ada juga value yang terinspirasi dari "daftar values" di buku "The Secrets of Happy Families." Di sini tercantum sekian banyak kata benda yang bisa dijadikan nilai-nilai, tergantung mana yang kita rasa sesuai sebagai panutan.
Feiler menyarankan agar setelah family mission statement ini disusun, kata-kata tersebut dituangkan ke sebuah poster yang bisa dilihat dan dibaca seluruh anggota keluarga.
Tujuannya adalah supaya mission statement ini dapat digunakan sebagai guidance dalam bersikap dan mengambil keputusan dalam keluarga. Saya bayangkan penerapannya dapat berupa begini: ketika anak meminta junk food untuk kesekian kalinya dalam seminggu, dan kebetulan di poster tercantum value "Health," maka orangtua dapat menunjuk ke poster dan berkata, "Hey, lihat deh, kita 'kan ingin mendahulukan kesehatan dengan memilih makanan yang baik."
Atau misalnya sang ayah sedang mempertimbangkan membuat pembelian besar sesudah mendapat bonus, anggota keluarga yang lain dapat memberikan pertimbangan dengan mengingatkan akan value "Experience" yang juga sudah disepakati. "Bukannya kita lebih memilih pengalaman dibandingkan barang-barang?" Hehehe.
Akhirnya setelah berjibaku dengan Power Point dan meminta pendapat sahabat yang berkecimpung di bidang desain komunikasi visual, values dan mission statement yang sudah kami buat dapat tertuang ke dalam bentuk visual. Begini hasilnya:
Hmm… Sebutlah ini usaha untuk menjadi sedikit lebih baik, dan juga untuk mencapai apa yang kami cita-citakan sebagai keluarga.
Bagaimana, Mommies, tertarik juga untuk mencoba konsep visi-misi ini?
"At the end of the day, you want your children to be truly happy. And that's what this board is trying to do. I believe words matter, even a few words. Maybe they'll matter when the kids are young; maybe they'll matter when they're eighty. Who knows? But this puts onto one piece of paper all the words that matter to their parents." - David Kidder on "The Secrets of Happy Families" page 61.
PAGES:
Share Article
COMMENTS