*Gambar dari sini
Ngomong-ngomong tentang merayakan nikmatnya bersyukur, salah satu dari banyak hal yang paling saya syukuri, yaitu: suami saya. Eciyeee :)
Sebagai gambaran, saya menikah relatif muda, waktu itu usia saya 25 tahun, setelah kami pacaran 1 tahun aja. Setelah menikah kemudian langsung ikut suami berangkat sekolah ke Australia. Jadi karena sekolah ini, kami menunda untuk punya anak, karena secara finansial dan (mungkin) juga emosional, belum memungkinkan untuk punya anak, menurut kami saat itu. Tapi saya mensyukuri ini pada akhirnya, karena ternyata menunda selama kurang lebih 4 tahun membuat kami pacaran dalam kondisi menikah, waktu yang cukup panjang untuk semakin mengenal dan tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing.1 Agustus nanti, pernikahan kami menginjak tahun ke 11. Anggap aja ini sebuah catatan anniversary :)
Suami saya:
Suami saya adalah orang pertama yang saya tanya untuk hal apa pun terutama yang berkaitan dengan pekerjaan. Dan saya tahu saya akan dikritik habis-habisan. Lalu, saya bisa terima kritikannya? Ya jelas nggak, hahaha, tapi saya dengerin. Dan saya tetap nanya lagi ke dia demi “disilet-silet”. Tapi ya itu lah, saya nggak kapok. Saya nggak pernah kapok dikritik sama orang ini dan saya mensyukuri itu.
Walau mengkritik apa yang saya lakukan, tapi suami saya bukan pengkritik penampilan saya. Dia nggak pernah terlalu pusing dengan apa yang saya pakai, hits atau nggak gaya saya, cukup kurus atau nggak badan saya atau hal lain seputar ini. Pastinya dia suka lah kalau lihat cewek cakep. Haha. Tapi intinya dia nggak pernah menuntut saya harus tampil dengan standar tertentu. Jadinya saya nggak pernah terlalu insecure tentang gimana penampilan saya. Kalau motivasi untuk tampil cakep dalam rangka menyenangkan suami (selain untuk diri sendiri) pasti ada lah, namanya perempuan kan. Hehehe. Kata dia sih, ”Ya aku sih tahu diri aja, aku kan juga nggak cakep-cakep amat.” Hahaha.
Saya tidak pernah merasa takut untuk mengungkapkan apa pun ke suami saya, dalam hal ini maksudnya uneg-uneg saya tentang dia. Hal ini sangat saya syukuri karena saya pernah tahu rasanya takut sama pasangan sendiri (jaman pacaran sama orang lain *curcol*) sampai jadinya nggak berani ngomong dan memendam hal-hal yang seharusnya dibahas. Dan itu nggak enak banget buat saya. Keleluasaan bicara pada suami saya ini, saya anggap sebagai rejeki yang patut saya syukuri.
Suami saya, pendukung ASI terbaik! Simak di halaman selanjutnya, deh.
Kemauan dan kepedulian suami saya dalam bersama-sama mengasuh anak membuat saya, paling tidak, bisa tenang menjadi ibu. Sebagai salah satu dari 8 orang yang membentuk @ID_AyahASI, tentunya sebagai ibu menyusui saya mendapat support yang lumayan banget: pijetan ringan setiap hari, makanan-makanan lucu sepulang kantor, dan empati yang besar, dalam berbagai kesempatan membiarkan saya mandi lebih lama atau rebahan di kamar sendirian sementara dia mengajak main anak-anak di luar. Suami saya tipe yang menelepon di tengah hari kerja dan menanyakan saya sedang apa dan terutama anak-anak lagi ngapain. Nggak sempurnah juga lah, masih ada hal-hal yang bikin gemes, seperti gadget yang nempel, atau membiarkan anak-anak main game supaya anteng, hahaha, tapi overall he’s a great father.
“Kerjaan rumah itu bikin rileks, dikerjain aja nggak usah dipikiran, tau-tau udah selesai.” Ini quote dari suami saya di bulan pertama kami menikah. Keluarga suami saya biasa hidup tanpa asisten rumah tangga sementara saya, saat single tinggal di rumah orangtua dengan asisten rumah tangga yang siap sedia. Saat weekend waktu baru menikah, suami saya yang memang morning person, sambil saya kucek-kucek mata bangun kesiangan dan nyariin dia, saya temukan sedang bebersih halaman. Pulang kantor di malam hari, jemur baju dari mesin cuci yang di set timer selesai pas kami pulang ke rumah. Setelah setahun menikah, saya paham, "Oh ini orang memang udah biasa ya ngerjain kerjaan rumah". Buat dia kerjaan rumah no big deal. Satu paket yang harus dilakukan saja sebagai orang hidup, seperti halnya kewajiban lain. Akhirnya saya si pemalas pun jadi ikut-ikutan. Sekarang ini saat kami punya dua anak, 6 tahun dan 21 bulan, di rumah ada 1 mbak pengasuh yang membantu menjaga anak-anak dan 1 asisten rumah tangga yang tidak tinggal di rumah. Hari minggu mereka libur dan saat lebaran mereka mudik. Buat suami saya lagi-lagi itu nggak masalah.
Suami saya mendukung saya berkarya dan berkontribusi, dengan tentunya tetap memprioritaskan anak-anak. Dengan beberapa kesepakatan yang berusaha saya jaga kepercayaannya, saya merasa tidak dibatasi mewujudkan hal-hal yang ada di kepala saya.
Di luar 6 poin di atas, yang juga sangat saya syukuri dan mungkin yang utama adalah bahwa suami saya adalah teman berkonflik yang baik. Setuju banget dengan poin-poin yang ada di sini >> “KITA” dari 24hourparenting.com. Seri berantem tiga sampai empat babak beserta dramanya, tentunya kami lewati. Kesal berkepanjangan karena satu sama lain tidak mau berubah atas suatu hal padahal berkali-kali dibahas, dijalanin juga. Tapi kalau saya pikir-pikir lagi, saya tidak keberatan dengan konflik-konflik ini, menambah life skill buat saya dan menambah kasih sayang di antara kami.
Tidak sempurna dan bukan ksatria yang jatuh dari langit (apalagi berkuda :p), sampai hari ini saya bersyukur dalam-dalam, diberi rejeki berupa ayah dari anak-anak saya yang modelnya begini. Rejeki kan tidak selalu dalam bentuk materi ya, keringanan hati menjalani hari-hari karena didampingi laki-laki seperti ini tentunya Alhamdulillah banget.
Thank you, husband!
Yulia Indriati adalah content manager di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.