Waktu awal menikah, saya seringkali iri dengan pasangan lain yang dikasih rejeki berupa hamil cepat oleh Allah.
Setiap ada yang posting tentang kehamilan mereka, rasa irinya, tuh, kayak gini lho : "Ya ampun, dia udah... Gue kapan ya? Kan nikahnya duluan gue..."
Sekitar 10 bulan, Allah 'minta' saya nunggu untuk merasakan kehamilan yang seperti dikasih hadiah besar nan indah.
It worth the wait, i know. Seberapa lama pun itu, yang namanya kehamilan pasti ditunggu pasangan yang baru atau sudah lama menikah.
Agak bosan memang menjawab pertanyaan orang "Kamu kapan hamil?", "Si A udah, kok kamu belum?", "Nunda hamil ya? Ih nanti malah gak dikasih, lho..."
Talk is cheap.
Tanpa kita sadar, kata-kata itu seringkali meluncur dari mulut kita. Ya 'kan?
Belum lagi, kalau lihat beberapa ibu hamil yang mem-posting keluhannya, dipikiran orang yang belum merasakan kehamilan dan pernah berada di posisi saya mungkin pernah hinggap pikiran : "Udah syukur dikasih hamil, malah ngeluh terus... Gak mikirin apa perasaan orang yang ngarep hamil tapi belum dikasih!?"
Nah, rupanya hal-hal seperti ini yang diajarkan Allah untuk saya lewat proses menunggu kehamilan tersebut.
Yang disadari pertama adalah, saat orang telah diberi kehamilan, berarti ya memang sudah waktunya. Dan mungkin, saat yang tepat itu adalah saat di mana dia sudah betul-betul dipercaya Allah untuk menjaga amanah tersebut.
Kedua, bertanya soal kapan orang lain akan hamil itu sama sekali nggak sopan. Karena, kita bahkan nggak tahu lho apa yang sedang dialami sama orang itu di belakang kita. Entah dia sedang terapi, mungkin, atau hal sulit lainnya yang nggak mungkin dia ceritakan dengan gamblang.
Dan sebetulnya, kapan dia akan hamil, dia menunda kehamilannya atau nggak, toh bukan urusan kita juga kan? Nggak ada manfaatnya juga untuk kita.
I know, beberapa dari kita mungkin mikir "Ya anggap aja doa..." -- bagi sebagian mungkin iya, bisa diterima dengan lain. Tapi sebagian lain? We never know.
Hikmahnya, dalam masa menunggu kehamilan beberapa waktu lalu, saya jadi belajar banyak hal. Termasuk toleransi kehamilan pada perempuan lain di luar sana, saya juga mengusahakan tidak terlalu mengumbar euphoria kebahagiaan kehamilan demi menjaga perasaan perempuan lain, atau bahkan... memutuskan untuk tidak mengeluhkan sedikitpun proses kehamilan yang sedang saya alami di media sosial -- melainkan berbagi keluhan itu dengan suami. Karena kalau dikeluhkan di media sosialpun, apa iya akan membantu? Atau hanya sekadar memuaskan rasa ingin tahu orang lain terhadap apa yang sedang saya alami?
Saya pernah baca ada orang bijak berkata ; only a few people cares, the rest are just curious :)