*Gambar dari sini
Mendapati ibu baru yang menghadapi kondisi baby blues syndrome rasanya kita bisa maklum, ya. Apalagi jika mengingat ada penelitian yang menyebutkan bahwa sekitar 30% ibu setelah melahirkan akan mengalaminya. Sebuah kondisi “melankolis” dengan perasaan yang naik turun sebagai pengaruh hormonal. Ada kalanya sang Ibu merasa nggak mampu mengasuh bayinya, merasa nggak berarti, atau perasaan lainnnya yang campur aduk jadi satu.
Tidak hanya ibu baru, ternyata kondisi seperti ini juga bisa dialami para ayah baru. Saya sendiri baru 'ngeh' dengan kondisi ini ketika mendengar cerita salah satu teman. Rupanya, adik iparnya yang laki-laki justru jadi rungsing ketika baru punya anak.
“Kasihan banget, deh, adik gue. Dia cerita kalau setelah punya anak, suaminya sedikit banyak jadi berubah. Keliatan sering nggak mood gitu, deh. Kaya perempuan yang lagi baby blues. Padahal kan dia laki-laki, ya? Untung aja adik gue emosinya cukup stabil. Nggak kebayang, deh, nasib keponakan gue kalau bapak ibunya ngalamin baby blues,” keluhnya.
Mendengar ceritanya, saya pun tergelitik untuk mencari tahu soal hal ini. Benarkah seorang laki-laki, seorang ayah bisa mengalami baby blues? Setelah search di google, ternyata memang banyak artikel yang menuliskan bahwa kondisi baby blues memang bisa dialami sang ayah.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Lengkapnya di halaman berikut, ya, Mommies!
*Gambar dari sini
Putri Langka, pengajar serta Pembantu Dekan II Fakultas Psikologi Universitas Pancasila menjelaskan , “Baby blues bisa diartikan sebagai perubahan perasaan, emosi atau mood yang begitu cepat saat bayi baru lahir. Dan ini memang bisa terjadi pada ibu ataupun ayahnya. Biasanya, ibu mengalami baby blues disebabkan faktor hormonal, pengalaman melahirkan yang tidak menyenangkan atau membuatnya sedikit trauma. Sedangkan untuk sang ayah, baby blues ini lebih disebabkan karena faktor situasi.”
Seperti yang dikutip dari The Daily Mail, sebuah penelitian yang dilakukan tim dari Eastern Virginia Medical School, di Amerika Serikat yang membuktikan bahwa ayah bisa mengalami baby blues. Namun dalam ruang lingkup yang berbeda dengan sindrom baby blues yang dialami perempuan pada umumnya.
Lewat penelitian tersebut, diketahui bahwa secara umum tingkat depresi pada ayah baru adalah 10,4%- dua kali lebih tinggi dari tingkat normal. Tim Kedokteran Virgina Timur yang dipimpin oleh James Paulson, mengumpulkan 43 penelitian yang melibatkan 28.000 orang dan melaporkan bahwa riset mereka menemukan bahwa depresi dapat mempengaruhi pasangan.
Faktor situasi yang dimaksud adalah adanya perasaan khawatir yang berkaitan dengan materi, isu-isu hubungan suami-isteri dan tanggung jawab yang semakin besar. Putri Langka juga menambahkan, bahwa kondisi ayah yang jadi kurang tidur dan harus membantu pekerjaan rumah juga ditengarai menjadi penyebab timbulnya depresi.
“Ketika punya anak, babak kehidupan memang jadi berubah.Pada minggu-minggu awal, ayah juga mengalami kurang tidur, dan sering bekerja ekstra dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Ditambah lagi, ayah harus bekerja keesokan harinya. Hal ini bisa membuat ayah stres,”
Untuk itulah, lulusan S2 (Profesi Klinis Dewasa) Universitas Indonesia menyarankan agar semua pasangan untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Nggak cuma perlu menyiapkan dana saja, tapi juga harus siap mental dan fisik. Dengan begitu, baby blues syndrome dapat dihindari atau paling nggak diminimalisir..
Meskipun gangguan ini nampaknya cukup jamak dialami pasangan yang baru memiliki anak, namun jika dibiarkan berlarut, tentu akan memberikan efek buruk pada perkembangan anak bahkan keutuhan rumah tangga.
Selanjutnya : Apa saja gejala baby blues syndrom pada ayah?
Psikolog yang praktik di Yayasan Pulih ini juga menjelasakan kalau gejala baby blues syndrom sebenarnya bisa diketahui sejak dini. Baik bagi sang ibu ataupun ayah. “Sebenarnya secara umum gejala sama antara baby blues syndrom pada ibu ataupun ayah. Di mana akan ada perubahan mood, bisa menyebabkan emosi naik turun. Bisa marah dan sedih dengan situasi yang nggak jelas.”
Ia mengatakan, kondisi ini kerap terjadi di awal pascamelahirkan, di mana ibu dan ayah baru akan dihadapkan pada situasi yang sangat berbeda dibanding sebelum memiliki anak.
“Sama seperti sedang ada menghadapi kondisi lingkungan baru, baik ibu dan ayah baru memang perlu beradaptasi dulu dengan banyak perubahaan saat mempunyai anak. Biasanya hal ini berlangsung selama dua minggu, tapi semua ini tergantung dari orangnya juga. Kalau memang kondisi tersebut dirasakan sampai berbulan-bulan, maka harus ditangani dengan cepat.”
Jika tidak, katanya, masalah depresi usai melahirkan menjadi hal serius dan bisa menciptakan emosi dan perilaku tidak stabil. Kalau begini, ujung-ujungnta akan berpengaruh buruk pada perkembangan anak-anak. Salah satunya, bounding attachment antara anak dan orangtua bisa tidak terbagun.
Duh, bahaya banget, ya!
Biar bagaimana pun keterikatan anak dan orangtua memang harus dipupuk dengan interaksi yang dilakukan secara terus-menerus. Hal ini bisa baru bisa terwujud jika orangtua memiliki kesehatan emosional yang baik serta memiliki tingkat kemampuan, komunikasi dan ketrampilan untuk merawat anak.
“Pada dasarnya para orangtua baik ayah ataupun ibu memang harus mempersiapkan kehadiran anak secara matang. Tidak hanya memikirkan perlengkapan bajunya saja, tapi lebih ke mental. Biar bagaimana pun orangtua memiliki tanggung jawab yang besar atas kehadiran anggota baru di keluarga. Untuk itulah orangtua wajib memiliki perencanaan dan komunikasi yang matang.”
Ah... saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Mbak Putri, Mommies yang lain pasti juga punya pandangan yang sama kan?