Sorry, we couldn't find any article matching ''
Belajar Minta Izin
*Gambar dari sini
Ceritanya sekarang ini saya sedang fokus untuk mengajarkan anak-anak untuk belajar minta izin dengan etika yang benar. Sebelum cerita lebih lanjut, saya mau berbagi sedikit beberapa hal menarik yang saya dapatkan lewat buku buku ‘Pendidikan Anak Dalam Islam karya Abdulloh Nasih Ulwan’. Di buku tersebut ada satu bab yang begitu menarik perhatian, Bab “Etika Meminta Izin” yang membahas soal meminta izin.
Ternyata, saat meminta izin ada beberapa etika yang harus ditanamkan oleh pendidik kepada anak-anaknya. Hal ini berkaitan dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta ijin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu, dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (QS.24:58)
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta ijin, seperti orang-orang yang sebelum mereka (yang sudah balig), meminta ijin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (QS.24:59).
Dari firman Allah SWT di atas, jelas sekali, ya, kalau ada waktunya di mana anak-anak disyariatkan untuk meminta izin. Begitu juga ketika anak-anak sudah menginjak usia balig dan dewasa, maka mereka diharuskan meminta izin di dalam tiga waktu tersebut dan waktu lainnya.
Kalau di rumah, sebenarnya saya sudah mengenalkan anak-anak soal tiga waktu ini. Tapi, ya, hanya sekilas. Rasanya pelaksanaannya masih jauh dari seharusnya, karena sampai sekarang saya dan suami masih tidur bersama anak-anak. Saya bersama anak-anak perempuan, sedangkan suami bersama anak-anak laki-laki *pasutri pisah ranjang :D *.
Saya sendiri bisa menarik kesimpulan lewat buku di atas. Di mana etika yang dipaparkan memang sejalan dengan apa yang ingin saya terapkan untuk anak-anak di rumah. Mungkin, gambaran kondisi dulu seperti ini, jika si adik nangis karena nggak dapat mainan, biasanya saya langsung bilang, “Kakaaaak, berbagi dong sama adiknya. Sama adik itu ngalah dong, kaaak..” Dan sederet kalimat titah lainnya.
Sekarang saya mencoba mengarahkan anak-anak untuk meminta izin terlebih dahulu sama pemilik barang. Atau paling tidak, mulai meneladani perilaku ‘minta izin’ sama anak-anak. Sebagai orangtua sekaligus fasilitas pelindung, kadang memang inginnya sesuatu yang cepat, nggak pakai lama. Makanya nggak heran kalau biasanya saya langsung ambil alih apa yang sedang anak-anak lakukan daripada membiarkan mereka melakukannya sendiri.
Selanjutnya: Bagaimana hasilnya? >>
Nah, pola seperti ini pun sekarang mulai diubah dengan ‘minta izin’ jika mau membantu mereka. “Abang, mau Ummi bantuin..?”. Soalnya, terkadang ada situasi yang sebenarnya anak yang ingin melakukan sesuatu sendiri, namun orangtua jarang memberikannya kesempatan dengan mengambil alih langsung.
Dengan minta izin terlebih dahulu pada anak, anak tentu merasa diberi kesempatan oleh orangtua untuk memutuskan dan melakukannya sendiri. Kalau, toh, mereka membutuhkan pertolongan, pasti akan bilang dengan sendirinya.
Buat saya, awalnya memang terasa sedikit kikuk dan aneh. Misalnya ketika si kakak yang ambil minum segelas besar dari belakang untuk keperluannya setelah makan, tiba-tiba adiknya minta minum tersebut. Dulu, kalau tidak diizinkan, saya lantas nyerocos dan marah kerena si kakak tidak mau berbagi dengan adiknya.
Sekarang, saya selalu mengarahkan adik untuk ‘minta izin’ dulu sama kakak. Tanya dengan kakaknya, boleh atau tidak. Kalau boleh, silahkan ucapkan terimakasih, kalau tidak diizinkan, ya silahkan ambil sendiri dari dapur. Begitu juga kalau mereka sedang bermain dan ingin meminjam mainan milik saudaranya.
Alhamdulillah, lambat laun ‘minta izin’ sudah mulai ‘membudaya’ di rumah kami. Saya rasa dengan begini, suasana menjadi lebih adil. Kalaupun memang ada yang ‘kesal’ karena tidak diizinkan ini menjadi proses belajar kecewa. Di dalam buku tersebut juga menuliskan Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah, yang bukan rumahmu, sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS.24:27).
“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk, sebelum kamu mendapat ijin. Dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembali (saja)lah’, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.24:28)Bagi orang yang meminta izin, kemudian tidak diizinkan, hendaklah tidak perlu merasa berat untuk kembali pulang, demi menaati perintah Allah SWT.
Saya jadi semakin paham kalau kita sebagai orangtua juga perlu mengajarkan anak tentang kepemilikkan dan kepunyaan. Siapa yang memiliki, berarti punya hak untuk menolak atau tidak mengizinkan miliknya dipinjamkan ke orang lain. Dan anak juga harus diajarkan untuk paham supaya tidak memaksa atau merebut hak orang lain.
Dengan belajar minta izin, anak-anak juga bisa belajar tentang kepemilikkannya sendiri, termasuk belajar tentang kepemilikan orang lain. Kalau memang timbul kekhawatiran anak-anak jadi tidak suka berbagi, saya rasa sebenarnya berbagi akan tumbuh dengan sendirinya. Tentunya seiring dengan kedewasaan mereka, anak-anak akan memiliki rasa peduli pada orang lain. Anak-anak juga bisa belajar mengambil keputusan, dan bisa mengerti kapan saatnya menolak atau mempertahankan miliknya, kapan juga saatnya berbagi. Jadiiiii, yuk, mulai budayakan minta izin di tengah keluarga!
PAGES:
Share Article
COMMENTS