Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ketakutan Saya Jadi Orangtua (Anak SD)
*Gambar dari sini
Sudah baca ketakutan saya saat masih jadi calon Ibu? Atau penasaran apa yang kira-kira masih ditakutkan oleh ibu-ibu 'veteran'? *kok, kedengarannya tua banget jadinya..phew*. Yuk, ah, gelar. Mungkin Mommies lain ternyata punya ketakutan yang sama.
Saya anak sulung, kenyang merasa diperlakukan nggak adil. Saat saya ingin sesuatu dan tidak dipenuhi orangtua, eh, pas adik yang ingin, kok, dikabulkan. Sebal, deh. Saya jadi berjanji pada diri sendiri jangan sampai anak-anak saya merasa diperlakukan nggak adil. Merasa, lho, ya, bukan saya perlakukan nggak adil. Karena kadang orangtua sudah adil tapi anak tetap merasa saudaranya lebih disayang, dituruti, dimanja, dll.
So at random times I will throw questions to my kids. Adakah yang merasa lebih banyak dimarahi, lebih banyak disuruh-suruh, lebih repot atau berat tugasnya daripada saudara yang lain. Biasanya, sih, mereka mau, kok, curcol. Dari situ saya bisa introspeksi kalau ternyata memang ada yang berat sebelah, atau memberi penjelasan kalau memang itu hanya pandangan subyektif si anak. Kadang anak yang lain ikut protes kalau sebenarnya yang lain juga diperlakukan sama ..hahaha.
Saat saya kelas 3 SD dan baca rubrik kesehatan di majalah Ananda (ada yang masih ingat majalah ini?), saya menanyakan pada ibu saya apa itu haid? Reaksi ibu saya adalah terdiam lalu muka berubah kaku, dan menyita semua majalah saya sekaligus melarang saya meminjam majalah lagi. Saat akhirnya saya mendapatkan haid pertama, pun, ibu hanya menyodorkan beberapa pembalut dan mengajari memakainya. Saya nggak ingat ada diskusi tentang reproduksi atau apapun yang berkaitan. Yah, saya memang sudah 14 tahun saat itu, pelajaran sekolah tentang reproduksi juga sudah lama lewat. Tapi, kan, sebetulnya itu momen yang pas untuk mendiskusikan tentang seks dan sebangsanya.
Untung di perjalanan berikutnya saya nggak nyasar ke jalan yang salah. Saya nggak ingin kelak seperti itu ke anak-anak saya. Karena takutnya saat kita sebagai orangtua menutup komunikasi, even on a simplest topic, anak akan mencari teman bicara yang lain. Kalau yang diajak bicara infonya benar dan orangnya baik, sih, nggak masalah, ya. Hitung-hitung bantu ngomong #lempartanggungjawab :D. Lha, kalau nggak dan anak malah disesatkan?
Selanjutnya: Menjelaskan Tentang Seks >>
Tumbuh dengan orangtua yang sama sekali nggak pernah membuka obrolan tentang seks, membuat saya gagap memikirkan pilihan kata saat harus menjelaskan tentang ini *baru di tataran mikir, lho, padahal!*. Saya tumbuh dengan informasi soal reproduksi dan seks dari berbagai sumber. Pelajaran sekolah, Buku Pintar Iwan Gayo (bagian psikologi dan perkembangan reproduksi manusia), daannn... friend's babbles, porn books, novels, stories, pictures, videos... You name 'em I've done 'em *iyes, ngaku*.
Sekarang, mungkin karena terlalu banyak (dan bervariasinya :D) sumber info yang lalu, saya malah bingung harus mulai dari mana kalau harus menjelaskan. Tapi segi positifnya, sih, saya jadi tahu, lah, seperti apa 'sumber info' yang akan dihadapi anak-anak. Menurut saya yang akan paling sulit meng-counter-nya adalah omongan teman, ya. Apalagi kalau anak lebih percaya teman ketimbang orangtuanya #jleb. Hayuukkk, mari tumbuhkan kepercayaan anak *PR lagi, yaa, ibu-ibu dan bapak-bapak!
Setiap melihat antrean yang berantakan, buang sampah sembarangan, orang bicara kurang ajar atau menulis dengan kacau seperti nggak pernah diajari di sekolah atau di rumah, saya miris sekaligus takut jangan-jangan kelak anak sendiri yang begitu. Saya akan lebih galau mendengar berita anak saya nggak sopan sama orang ketimbang nilainya jelek di sekolah. Sungguh, sopan santun ini susah sekali diajarkan. Sudah diajari, pun, kalau kita nggak memberi contoh yang benar, ya, bisa meleset juga seperti cerita saya yang menelepon CS sambil marah-marah.
Saya kadang nggak habis pikir kalau melihat anak usia SD, yah, katakanlah 6-8 tahun, masih disuapi di tempat umum. Atau mendengar cerita anak-anak bahwa teman-temannya masih disiapin buku dan tas sekolah, baju, bahkan ada yang masih didampingi mbak di sekolah. For me it's over when they enter elementary school. Anak menyiapkan perangkat dan baju sekolah sendiri. Bahkan saat masuk TK, anak sudah saya siapkan untuk bisa cebok sendiri. Ini meminimalisasi guru atau orang lain di sekolah perlu menceboki anak. Harapannya tentu saya tidak perlu memasukkan guru ke dalam daftar orang yang boleh menyentuh bagian pribadi anak. Makin sedikit yang masuk daftar, makin aman, kan?
Selanjutnya: Menjaga Komunikasi >>
*Gambar dari sini
Lumayan berat memang praktiknya. Orangtua harus siap dengan konsekuensi anak makannya sedikit atau lamaaaa kalau nggak disuapi, makanan berantakan, perangkat sekolah ketinggalan, kaos kaki terbalik, tali/kunci sepatu longgar/miring, baju (terutama pergi) nggak matching, dapur berantakan, olesan roti ketebalan atau wadah selai/meises nggak ditutup lagi, dan sederet lainnya. Saya bisa sebutkan seratus lagi. Mau taruhan? :D Tapi semua terbayar saat melihat Dendra (2 tahun) sudah bisa makan potongan pisang sendiri pakai sendok. Darris dan Dellynn (9 dan 7 tahun) sudah bisa masak makanan instan dan telur sendiri. Devan (5 tahun) sudah pakai seragam berkancing dan kaos kaki sendiri. Masih sangat panjang jalan menuju kemandirian. Tapi kalau nggak dimulai sekarang, kapan lagi?
Ah, soal ini, sih, sudah sering dibahas di artikel-artikel parenting, ya. Tiap baca saya merasa #jleb karena masih (sangat) sering mata menghadap gadget saat anak mengajak bicara atau bercerita. Pas anak mau cerita saya memelototi gadget; pas saya yang pancing cerita, anak main game atau nonton tv *keluh*. Ya, sudahlah, ya, anggap aja impas :D #mamabengal. Tapi dalam sehari saya pasti usahakan membangun obrolan membahas sesuatu.
Di sini saya terbantu oleh grup chatting ibu-ibu sekolah yang selalu update dan cross check keadaan anak-anak. Seperti kemarin, tiba-tiba Darris minta uang patungan untuk makan-makan usai ujian semester, saya tanyakan pada ibu-ibu lain yang ternyata juga kaget, kok, ada pengumpulan uang tanpa sepengetahuan orangtua. Setelah jelas duduk perkaranya, saya dan Darris jadi bisa berdiskusi enaknya bagaimana.
Pernah juga saat ada tayangan kurang mendidik di televisi, malah saya jadikan bahan diskusi ketimbang melarang anak nonton atau mensterilkan anak dari tontonan. Percaya, deh, mendingan mendampingi anak dan mengobrol tentang tontonan ketimbang tidak menonton sama sekali. Kita bisa melarang nonton di rumah, tapi anak bisa menonton tayangan tersebut di tempat lain, dan tidak ada kita disana menjelaskan tentang tontonan tersebut. Nah, saya tidak mau ini terjadi. Saya memilih menonton bersama anak.
Baru sampai di sini ketakutan saya dengan anak tertua masih akan masuk usia pra-remaja. Mommies yang punya anak sudah remaja atau malah sudah kuliah, kira-kira masih sama atau sudah berbeda, ya, yang dikhawatirkan? Ada yang bisa berbagi cerita?
PAGES:
Share Article
COMMENTS