Santai Sebelum Ujian

Parenting & Kids

sazqueen・12 May 2014

detail-thumb

Beberapa tahun belakangan ini, saya merasa ada yang aneh setiap memasuki masa Ujian Nasional (UN). Pasti ada saja berita negatif, mulai dari kebocoran soal ujian, guru yang rela menjadi joki atau pembawa lembar jawaban untuk murid-muridnya, orang tua yang mandi kembang, anak yang ketakutan saat masa tersebut tiba, bahkan ada yang sampai berujung pada bunuh diri. Seberat itukan arti kata 'ujian' bagi anak-anak?

Saya belum merasakan perasaan orang tua yang anaknya menghadapi ujian, tapi saya ingin berbagi sedikit bagaimana dulu orangtua saya terutama almarhum Bapak menciptakan sistem belajar di rumah. Satu catatan khusus, ya, mungkin sistem belajar ini terasa janggal, namun setidaknya saya dan adik jadi less stress dan akhirnya merasa santai setiap memasuki masa ujian. Hal ini tidak hanya berlaku untuk ujian kelulusan tapi di setiap kenaikan caturwulan atau semester. Kebiasaan ini terus terbawa hingga sekarang, setiap mau menghadapi ujian apapun, pasti saya akan santai-santai. Oh iya, saya bukan orang yang menolak UN walau ikut meneruskan tautan soal tolak UN di sosial media, kok. Saya menyesalkan sistem pendidikan di Indonesia yang semakin hari rasanya semakin menurun, sehingga UN terasa (terlihat) berat dan menyeramkan.

Okay, supaya bahasan tidak menjadi berat, mari kita kembali ke topik utama yaitu bersantai sebelum ujian.

Ujian-nasional-sd-Antara

Kunci pertama adalah menjalankan minggu tenang.

Setiap mau ujian kelulusan, seminggu sebelumnya sekolah meliburkan murid-murid dan dinamakan sebagai 'minggu tenang'. Walau sudah dijalankan sejak SD, tapi yang paling terasa perbedaannya adalah ketika masuk masa sekolah menengah. Sewaktu SMP,  hampir semua teman seangkatan yang sebelumnya memang sudah mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, akan masuk ke kelas intensif yang diadakan oleh bimbel tersebut. Saya? Saya nggak boleh ikut kelas intensif tersebut. Selain karena harus bayar biaya tambahan (ya namanya keluarga kelas menengah, hehehe, semua harus diperhitungkan, ya!), menurut Bapak, kelas intensif tersebut justru tidak akan efektif. Alasannya adalah kelelahan otak akan menurunkan tingkat konsentrasi.

Jadi apa yang saya lakukan saat masa minggu tenang? Rekreasi dan relaksasi! Saya boleh bermain, membaca buku fiksi atau koran, atau jalan-jalan ke mal. Apapun boleh dilakukan yang penting perasaan senang bisa dibangun dan dijaga. Kenapa? karena perasaan senang ini akan membuat tingkat konsentrasi lebih tinggi.

Kedua, orang tua saya juga tidak pernah memaksa untuk membandingkan diri dengan prestasi orang lain. Do your best! Lakukan yang terbaik versi dirimu kemudian syukuri hasilnya. Walau saya bisa menjaga keberadaan diri di ranah ranking 10 besar setiap tahun semasa sekolah dan mempertahankan IPK di atas 3, namun itu semua bukan karena iming-iming hadiah atau perintah atau bahkan ancaman. Well, pernah sih, pas kelas 4 SD saya dikasih iming-iming jalan-jalan ke Singapura. Tapi itu karena Bapak baca iklan di koran, ada promo airlines yang akan memberikan tiket PP gratis ke Singapura untuk peringkat 5 besar dengan memperlihatkan bukti rapor serta sudah memiliki paspor. Hehehe, waktu itu saya mendapat peringkat 4 di kelas dan dapat, deh, jalan-jalan gratis ke Singapura, berhubung ada saudara yang memang tinggal di sana, jadi tempat tinggal dan makan pun gratis :D

Selanjutnya: Sekolah= tempat belajar! >>

ujian-nasional-antaranews

Ketiga, mengetahui arti sekolah sebagai tempat belajar.

Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar artinya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Jadi gimana? Jadi begini, kita belajar untuk menambah kemampuan, jika mendapat peringkat, itu adalah bonus. Untuk mengetahui kemampuan kita, maka perlu diadakan ujian, yang artinya jika kita tidak lulus, berarti ada hal yang belum dikuasai. So, what to do?  Cari tahu hal yang belum dikuasai, tanya pada guru yang bersangkutan dan pelajari lagi, dan ulangi ujiannya. Sesimpel itu hidup saya. Heheheh..

Mengingat tiga hal ini saat membaca kejadian yang tidak enak setiap memasuki masa ujian nasional lumayan menambah bekal saya sebagai orangtua. Idealnya, saya ingin bisa membuat Menik merasa nyaman saat belajar sehingga pelajaran yang didapat bisa diserap dengan baik. Jangan sampai merasa sekolah hanya untuk bisa mengerjakan soal di ujian akhir tahun nanti. Ada banyak sekali hal yang bisa dipelajari di sekolah selain sederetan mata pelajaran yang ada di depan mata.

Jadi menurut Bapak, sekolah adalah tempat belajar, jadi sebagai murid sebaiknya belajar dengan sungguh-sungguh pada waktu belajar (di kelas, dan saat-saat tertentu di rumah. Kalau saya dulu dua jam setelah mengerjakan shalat maghrib, di sela dengan makan malam). Istirahat dengan benar saat hari libur. Boleh merasa jenuh, karena ini manusiawi, yang penting nggak keterusan menjadi pemalas. Kerjakan ujian dengan baik dan maksimal.

 

Waktu saya tanya ke Ibu (nggak bisa tanya ke Bapak nih, udah meninggal, hehe) bagaimana dengan kurikulum sekolah yang rasanya tidak mungkin untuk bisa membuat hidup anak-anak zaman sekarang bisa merasa santai saat ujian? Beliau menjawab:

1. Bekali anak dengan kepercayaan.

Jadi apapun kondisi sekolah yang terasa tidak nyaman bisa langsung disampaikan ke orangtua dan orangtua bisa langsung bertemu dengan pihak sekolah.

Contoh, waktu SMP saya dituduh mencontek oleh guru matematika. Saya protes, karena nilai saya juga cuma 6. Bodoh sekali rasanya kalau sudah mencontek dan hanya dapat nilai segitu. Saya sampaikan ke Bapak kalau saya sedih mendapat tuduhan seperti itu. Dan tanpa saya duga, besoknya Bapak ke sekolah dan bertemu dengan guru tersebut. Hingga akhirnya pak guru minta maaf ke saya dan berjanji untuk tidak menuduh sembarangan lagi. Percayalah, sebetulnya saya khawatir karena nilai saya hanya 6, tapi karena saya percaya ibu dan bapak menghargai usaha dan kejujuran, maka saya putuskan untuk curhat langsung setelah mendapat tuduhan.

2. Legowo  bahwa setiap anak itu unik dengan kemampuannya masing-masing.

Jika memang dalam segi akademis anaknya berbakat, asah terus. Jika kemampuan akademis nge-pas namun ada keterampilan atau bakat di bidang lain, asah kemampuan tersebut. Sehingga si anak bisa percaya diri akan kemampuan dirinya yang tentu akan berguna untuk hidupnya di masa mendatang.

Contoh, saya senang menulis. Sejak SD sudah ikut beberapa kali kelas menulis bahkan waktu SMP sempat ikut pelatihan jurnalistik. Adik saya lebih senang menggambar dan bermusik. Sejak SD juga sudah ikut les gitar dan mulai les menggambar saat SMA. Saya sekarang menjadi penulis di beberapa media, dan adik saya sedang kuliah desain produk yang tentunya berhubungan dengan kemampuan menggambarnya.

Nah, kalau saja semua orangtua dan guru bisa menjelaskan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti perihal sekolah dan ujian, maka saya yakin, deh, drama kehidupan perkara sekolah ini bisa berkurang banyak. Karena apalah artinya belajar tanpa menyerap ilmunya karena perasaan tidak senang terhadap sistem pendidikannya? Yuk, kembalikan tujuan awal sekolah sebagai tempat untuk belajar, bukan untuk sekadar mengerjakan soal di ujian nasional. Dan mudah-mudahan ujian nasional bisa diadakan dengan guru sebagai pengawasnya, tanpa perlu polisi berseragam duduk di depan murid yang sedang ujian, yang tentunya akan menciptakan suasana kurang nyaman dan terkesan menakutkan.

*Gambar dari sini