banner-detik
MD POWERFUL PEOPLE

Motherhood Monday : Lia Kurtz, “Tampil Cantik, Penghargaan Untuk Diri Sendiri"

author

adiesty05 May 2014

Motherhood Monday : Lia Kurtz, “Tampil Cantik, Penghargaan Untuk Diri Sendiri"

Belum lama ini Female Daily Network kedatangan tamu dari tim L'Oreal Paris Indonesia. Salah satunya tentu Mbak Lia Kurtz, selaku Group Product Manager for L'Oreal Paris Make-up, sekaligus Digital & Public Relations di PT L'Oreal Indonesia.

Setelah asik ngobrolin soal #LorMakeUpWeek, event terbaru yang digelar L'Oreal Paris Indonesia di Mall Taman Anggrek, dan tentunya nyoba koleksi lipstick terbaru L’Oreal, saya pun lantas mengajak Mbak Lia ngobrol seputar parenting.

Sudah dipastikan banyak insight menarik yang saya petik dari perempuan berdarah Palembang ini. Bayangkan saja, di tengah kesibukannya, Mbak Lia memutuskan untuk mengurus putri kecilnya, Luna, tanpa bantuan babysitter.

Katanya, “Bagi saya, punya anak itu adalah kewajiban, saya nggak mau saat punya anak saya lantas melimpahkan tugas saya ke orang lain.” Buat saya kalimat Mbak Lia ini #jleb banget! Soalnya, sampai sekarang saya masih suka mengandalkan Mama saya untuk menjaga Bumi, anak saya.

Kalimat Mbak Lia yang cukup 'menyentil' saya nggak cuma itu aja. Soalnya waktu itu ia juga bilang, "Saya juga nggak ingin ketika sudah punya anak, dikit-dikit bilang, Mama titip anak, ya’. Atau, ‘Mbak anaknya pipis, nih, tolong gantiin ya’. Saya nggak mau seperti ini. Anak saya adalah tanggung jawab saya.”

Wah... jadi malu sendiri, deh! *tutupmuka*. Alhasil, sepanjang obrolan bersama Mbak Lia, banyak sekali hal menarik yang bisa dipetik dan wajib saya contoh. Termasuk soal bagaimana perempuan harus bisa merawat tubuhnya dengan baik.

Nggak percaya? Ikuti perbicangan saya, yuk!

Lia

Mengingat suami Mbak dari Negara yang berbeda, bagaimana sih pola asuh diterapkan untuk si kecil?

Kebetulan saya dan suami itu cocok. Kalau nggak, kita nggak akan married ya, hahaha. Terutama dari segi value di mana semua orangtua pasti mau mendidik anak-anaknya dengan baik.

Memang ada orangtua yang tidak memiliki value yang sama satu dengan yang lainnya. Tapi, meskipun kami dari budaya beda, tapi punya kesamaan. Suami saya orang Jerman, tapi lama tinggal di Jepang lebih dari 18 tahun, jadi bisa dibilang value orang Asia-nya sangat melekat.

Mulai dari tata bahasa, sopan santun, bisa dibilang sangat Asia sekali. Jadi memang nggak banyak sisi saya yang perlu saya adjust ke dirinya. Yang pasti, ada satu value yang kita agree. Kalau membesarkan anak itu harus enjoy.

Misalnya?

Mungkin kalau saya dididik dengan orangtua yang militerisme, kalau zaman dulu kan memang strick banget ya. Sedangkan saya ingin membiarkan anak saya mencoba apapun yang ia suka. Contohnya, nih, sekarang kalau anak saya ingin membelikan boneka, saya selalu memberikannya dua pilihan. Amazingly anak saya bisa memilih.

Saya ingin mencoba mengajarkan kalau hidup itu adalah pilihan. Kalau besar nanti anak saya tentu akan memilih sekolah di mana, kuliah di jurusan apa, dan kelak juga akan memilih suami. Jadi semua itu kan pilihan, mau hidup senang ataupun susah juga merupakan pilihan. Begitu juga mau jadi orang baik atau jahat. Itu adalah value yang saya dan suami saya ajarkan sejak dini.

Pastinya karena anak saya bukan 100% orang Indonesia, dia juga harus punya value dari negara bapakanya. Anak saya jadi punya dua kewarganegaraan, jadi dia juga kita kenalkan budaya dari dua bangsa. Saya orang Palembang, dari segi adat dan buadaya sudah saya ajarkan, seperti berdoa sebelum tidur, cium tangan ke orangtua, adat yang lebih Islami dan erat dengan budaya Indonesia.

Sementara kalau dari suami, dia harus tau sejarah budaya di Jerman seperti apa. Termasuk makananannya. Waktu masih bayi ada makanan khas Jerman yang khusus saya bawa demi mengenalkannya ke anak saya. Jadi harus balance, ya.

Luna sudah diajak ke Jerman, dong?

Sejak lima minggu anak saya juga sudah long travel ke Jerman. Selama ini kan masih suka ada ibu-ibu yang bilang jangan ajak anak bayi untuk travel. Tapi ternyata setelah saya mengalaminya sendiri, nggak apa-apa, kok. Dari dokter sendiri mengatakan anak bayi boleh travel. Minimum dua minggu kalau memang kondisi bayinya sehat. Kalau nggak salah peraturan dari airlines kalau bayi sudah 10 hari, itu sudah diperbolehkan terbang.

Jadi sebenarnya nggak ada larangan travel untuk bayi. Justru menurut saya, pada saat mereka masih kecil, pola tidurnya masih sangat banyak dan itu sangat membantu. Kalau ada yang ketakutan kalau di atas pesawat nanti akan membuat kupingnya sakit, sebenarnya nggak begitu. Karena suami saya itu hobi pesawat jadi cukup banyak mengetahui detail soal pesawat. Jadi pesawat sekarang itu sudah berbeda dan jauh lebih canggih dibandingkan dengan kondisi pesawat 10 atau 20 tahun yang lalu, di mana mereka mereduce pressure-nya.

Ada persiapan khusus nggak saat mau travel bersama Luna?

Ada berbagai cara kok yang bisa kita lakukan, mulai dari memakaikan earmuff, memberikan susu dulu sebelum terbang. Saat mau take off atau landing bisa juga kita kasih dot dulu sebentar. Saya juga memang bukan tipe orangtua yang anti memberikan dot untuk anaknya. Kalau kondisi seperti ini kan nggak masalah.

O, ya, Mbak dan suami kan sama-sama sibuk, tapi kok memutuskan nggak pakai jasa baby sitter?

Itu dia, mungkin ini karena perpaduan budaya di Indonesia dan Jerman. Mungkin banyak yang menganggap saya aneh saat memutuskan nggak pakai jasa babysitter, harus repot kalau pergi-pergian. Suami saya pernah bilang, kalau di Jerman itu nggak ada yang punya nanny, semua di negara Eropa rata-rata seperti itu. Karena memang tenaga nanny di sana very expensive, berbeda dengan di sini. Selain itu, pertanyaannya adalah, apakah benar-benar kita membutuhkan nanny? Pertanyaan itu dikembalikan ke diri kita masing-masing.

Nggak kesulitan saat membagi tugas?

Kebetulan suami saya pekerjaannya konsultan, jadi memang waktunya fleksibel. Sementara saya pekerja kantoran. Kenapa saya dan suami memutuskan nggak mau pakai nanny atau ART yang menginap di rumah karena kami butuh privacy yang tinggi. Akhirnya ketika kita sepakat dengan hal ini dan sama-sama komit untuk melakukannya bersama-sama. Menikah itu kan soal komitmen, ya. Jadi, sekarang ini saya hanya menggunakan jasa ART yang pulang pergi saja.

Dan alhamdulillah, suami saya memang bisa kerja sama, dan nggak keberatan untuk menggantikan popok, memberikan susu, nyuapin atau memandikan. Jadi saat saya nggak bisa, suami bisa menggantikan peran saya. Sudah dari awal kita plan seperti ini. Saya juga bilang kalau saya melihat gelagat suami nggak mau bantu, ya, terpaksa harus pakai jasa nanny. Ini juga mungkin sudah jadi budaya orang Jerman , yang mau mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Sampai kamar bayi anak saya juga dikerjaan sendiri sama suami. Jadi kalau saya punya quality time dengan anak saat pagi hari dan week end.

Kalau quality time dengan suami, masih sempat nggak?

Nah, saya menikah tahun 2009 dan saya menunda untuk punya anak. Bagi saya, punya anak itu adalah kewajiban, saya nggak mau saat punya anak saya lantas melimpahkan tugas saya ke orang lain. Butuh waktu tiga tahun buat saya untuk memutuskan, yes i want to have a baby. Jadi ketika sudah punya anak, saya dan suami sudah benar-benar komit.

Jujur saja, dulu awalnya saya punya ketakutan, gimana ya kalau punya anak pola hidup saya akan berubah nggak, ya? Ternyata, setelah mengalaminya, memang ada perubahan. Nggak mungkin saya bilang nggak ada perubahan. Kalau dulu saya gampang buat nonton, sekarang nggak bisa lagi. Apalagi saya memang nggak pakai baby sitter. Tapi akhir-akhir ini kita bisa, kok, me-manage waktu. Antara saya dan suami juga nggak ada perubahan. Jadi almost everyday jika bertemu suami saya, it’s like quality time. Kebetulan anak saya juga nggak tipe anak yang rewel dan cukup mandiri diusianya.

O, ya, bagaimana cara Mbak mengajarkan si kecil untuk mandiri?

Dari awal saya memang mengajarkan anak saya buat mandiri. Dia nangis, ya, saya biarin saja dulu. Nggak langsung saya gendong. Anak bayi itu kan kalau nangis biasanya karena lapar, haus, atau buang air besar dang buang air besar. Jadi anak saya sekarang sudah terbiasa dan tau, kalau nangis hanya karena tiga hal itu. Nggak pernah tantrum atau nangis karena hal lainnya. Saya juga tidak membiasakan anak digendong. Setelah makan, saya gendong sebentar supaya burb, lalu saya anak saya kembali main di box-nya.

lia k

Balik lagi ke soal kesiapan punya anak. Hal apa, sih, yang mendasari Mbak menunda punya anak selama tiga tahun?

Karena saya belum siap. Sebelum nikah, saya sudah pacaran empat tahun dengan suami. Maaf-maaf ya, kan orang itu nggak ada yang tau kondisi setelah menikah seperti apa. Ada yang pernikahannya baik-baik saja. Tapi ada juga yang satu dua tahu menikah akhirnya berpisah. Pacaran sudah lama kan juga nggak bisa menjamin. Jadi waktu itu saya masih ada kekhawatiran, bagaimana ya meskipun empat tahun pacaran lalu nggak cocok? Mungkin di situ saya sedikit paranoid. Tapi akhirnya setelah yakin dan punya persiapan yang kuat seperti anak saya akan sekolah di mana, baru saya memutuskan untuk punya anak. Buat saya, punya anak harus punya persiapan. Saya juga yakin, kalau saya bisa menjaga anak saya tanpa baby sitter, bisa berbagi hidup dengan anak saya, dan setelah saya punya anak saya memang sudah cukup mature dan stabil. Alhamdulillah bisa dibilang saat memiliki Luna saya sudah dalam kondisi yang mapan. Saya juga nggak ingin ketika sudah punya anak, dikit-dikit bilang, ‘Mama titip anak, ya’. Atau, ‘Mbak anaknya pipis, nih, tolong gantiin ya’. Saya nggak mau seperti ini. Anak saya adalah tanggung jawab saya. Saya harus siap lahir dan batin dulu.

Banyak perempuan yang setelah menikah jadi lebih cuek. Malas dandan. Menurut Mbak gimana?

Iya, sampai sekarang banyak ibu yang setelah melahirkan jadi malas untuk dandan. Kalau saya, satu minggu setelah melahirkan saya sudah pakai rok pendek saya lagi, sudah pakai high heels, pakai lipstick dan maskara. It’s a must. Bukan berarti sudah melahirkan, me time jadi hilang. Penghargaan untuk diri sendirinya hilang. Kalau saya, tampil cantik itu penghargaan untuk diri sendiri.

Saya melahirkannya rada telat, lewat dari 40 minggu. Jadi waktu itu dokter minta saya check in dulu. Alhamdulillah akhirnya sih bisa melahirkan normal. Nah, bahkan waktu itu sebelum saya ke rumah sakit, saya sempat nge-blow dulu, mani dan pedicure. Waktu itu pas melahirkan kuku saya full warna-warni. I think you deserve it, because you worth it. Kerena kita memang pantas mendapatkan yang terbaik. Kita pantas kok makan makanan yang enak, pantas untuk tampil cantik dan mendandani diri kita lagi. Saya sih nggak setuju ya kalau perempuan itu keluar dasteran aja, nggak make up, inikan penghargaan untuk diri sendiri dan buat confidence juga.

Minta kiat untuk bisa tampil cantik, dong, Mbak!

Sebenarnya tampil cantik itu gampang. Kalau dari kesehatan pasti harus makan makanan yang sehat. Saya juga bilang ke diri saya, setelah menikah nggak harus kurus dan menurunkan badan secepat mungkin. Enjoy saja. Dengan begitu pasti auranya akan kebawa ke mana-mana. Jadi happy, jadi nggak gampang bad mood. Itu kan dari inner-nya. Yang kedua pasti tubuh juga harus dijaga dan di rawat, jangan lupa juga untuk make up.

-----

Benar kan apa yang saya bilang di atas? Banyak sekali hal positif yang bisa kita contoh dan aplikasikan di rumah. Khususnya, harus lebih bertanggung jawab terhadap anak. Setuju dong, yah!

 

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan