Sorry, we couldn't find any article matching ''
Aku Lebih Sibuk Daripada Mama
Mommies, tahukah berapa jam anak-anak belajar? Yang pasti sekolah sudah 3-4 jam, ya, untuk anak pra sekolah, dan sekitar 7-8 jam untuk anak usia sekolah. Itu belum ditambah les pelajaran, bahasa, atau keterampilan lain yang sifatnya akademis seperti kursus Inggris, kumon, olahraga, mengaji....dan jangan lupa, waktu untuk mengerjakan PR.
Lalu berapa lama waktu untuk anak-anak bermain atau mempunyai waktu bebas melakukan hal yang mereka inginkan tanpa tekanan atau arahan dari orang lain?
Yuk, cermati video ini.
Kira-kira lebih sibuk mana anak atau orangtuanya?
Anak-anak bangun jam 5:30, atau bahkan kalau sekolahnya jauh, Subuh sudah harus bangun dan bersiap sekolah walau baru masuk sekolah jam 7-7:30. Pulang dari sekolah jam 13:00 atau 14:00 seperti anak saya, tapi itu belum tentu sudah sampai rumah. Apalagi kalau ada ekstra kurikuler, Darris dan Dellynn sampai rumah bisa hampir jam 16:00. Tapi karena mereka nggak les dan nggak ada kegiatan apa-apa, sampai rumah sudah santai. Main komputer atau gadget, art & craft, main lego, atau kadang malah memasak sendiri, bikin omelet, toast, bubur atau pasta instan, atau mini pizza.
Kalau menurut pembahasan saat peluncuran kampanye Rinso Kids Today Project, anak saya termasuk beruntung karena jam bermainnya cukup banyak, tidak dipotong les pelajaran, kursus Inggris, kumon, dll. Tapi itu nggak mengurangi keraguan saya; salah apa nggak, ya, saya nggak me-les-kan mereka? Kurang nggak, ya, skill yang mereka perlukan kelak kalau mereka nggak les bahasa asing atau menguasai cara hitung cepat? Sejauh ini saya hanya berpegangan pada nilai akademis. Sepanjang masih memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Maksimal: semacam nilai minimal untuk dinyatakan lulus mata pelajaran tersebut), ya saya anggap belum perlu tambahan les.
Selanjutnya: Jadi kapan anak perlu tambahan pelajaran? >>
Menurut psikolog Roslina Verauli yang biasa dipanggil Mbak Vera, nilai akademis bukan patokan. Karena bila anak tumbuh kembangnya baik, otomatis nilai akademis akan mengikuti. Kecuali bila anak memiliki gangguan belajar atau gangguan komunikasi, contohnya disleksia. Anak yang mengalami gangguan disleksia akan memerlukan latihan membaca dan menulis yang lebih intens, diluar pelajaran sekolah. Bila anak tidak didiagnosa ada gangguan apa-apa, ya, nggak butuh tambahan pelajaran atau les.
Mbak Vera punya beberapa pasien anak dengan penyakit psikosomatis, yaitu keluhan sakit kepala, nyeri, atau sakit perut yang setelah dicek secara medis tidak ada masalah sehingga lalu dirujuk ke psikolog. Ternyata setelah Mbak Vera telaah, setiap hari si anak les macam-macam hingga hanya tersisa satu jam saja yang kosong yang digunakan untuk menonton TV. Padahal menonton TV bukan bermain. Saat ditanya apakah di akhir pekan anak bisa bermain sepuasnya, ternyata Sabtu - Minggu justru lebih padat lagi kegiatan anak dari les renang dan rupa-rupa les yang sifatnya hobi, sampai jadwal berkunjung keluarga, dan pergi ke tempat ibadah. Setelah jadwal si anak direvisi oleh mbak Vera, keluhan penyakit hilang begitu saja.
Anak saya yang (saya kira) sudah kenyang main saja, mengeluh saat tahu kami perlu pergi belanja mingguan atau perlu membeli sesuatu dan semua harus ikut. Bagaimana mau nggak ikut kalau di rumah nggak ada orang dewasa lain yang bisa menemani mereka, sementara si sulung sendiri baru sembilan tahun. Nah, apalagi anak yang sehari-harinya sudah jenuh nggak punya waktu sendiri?
Saat menghadiri peluncuran kampanye Rinso Kids Today Project, mata saya terasa panas menonton sibuknya anak sekarang dan betapa keinginan mereka sesederhana kesempatan dan tempat bermain yang bebas dari larangan ini itu. Sederhana tapi mahal di perkotaan. Setidaknya senilai hampir seratus ribu rupiah per anak, yang saya sendiri nggak mampu bayar. Jadinya anak saya lari-larian di selasar mal yang cukup ditebus uang parkir Rp. 4.000-5.000/jam. Maaf, ya, yang mungkin sebal lihat anak kecil lari-lari dan teriak-teriak di mal, salah tiganya mungkin anak saya *tutupmuka*.
Beruntung belakangan di kota-kota besar Indonesia, setidaknya yang saya tahu di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, taman-taman kota direvitalisasi dan diperindah. Bikin betah berlama-lama main atau sekedar nongkrong disitu. Anak-anak bisa berlarian atau main bola dengan bebas tanpa takut kena jendela atau mobil orang dan kena omelan.
"Saya ingin di kota lebih banyak taman dimana saya bisa main bola bersama teman-teman tanpa dimarahi." Anak-anak Perkotaan, 1:36.
Anak-anak perkotaan, selain nggak punya tempat bermain, mereka bahkan nggak punya cukup waktu untuk bermain. Think of it! What are kids without playing?! Kita yang sudah dewasa aja masih suka main, kok. Hayo, ngaku siapa yang kompetitif gemas main Candy Crush, Pokopang, HayDay, atau Cookie Run? :D Apalagi anak-anak yang belajarnya harusnya sambil bermain.
Selanjutnya: Berapa lama waktu bermain yang ideal untuk anak? >>
Menurut psikolog yang hadir saat konferensi pers Rinso Kids Today Project, Dra. Mayke S. Tedjasaputra, M.Si yang juga merupakan seorang Play Therapist (sampai ada khusus terapi bermain!), anak-anak prasekolah memerlukan waktu sedikitnya empat sampai lima (iya, 5!) jam sehari untuk bermain. Untuk anak usia sekolah sedikit di bawah itu disesuaikan dengan umurnya. Saat sesi tanya jawab saya sempat bertanya; boleh, nggak, lima jam itu dirapel semua di hari Sabtu dan Minggu? Nggak boleh, lho, ternyata! Lima jam itu benar-benar harus dipenuhi setiap hari walau dalam bentuk potongan-potongan kecil seperti setengah jam main tebak-tebakan di pagi hari, lalu satu jam sepulang sekolah main Lego, berikutnya main tamu-tamuan, sore main sepeda, dst.
Bentuk mainnya juga nggak harus murni bermain, ya, Mommies. Membantu mama menyiapkan bahan kue, alat-alat masak, main sabun sambil menggosok kamar mandi, semuanya sebetulnya bagian dari bermain juga, lho. Justru main gadget dan nonton tv yang tidak termasuk #jleb.
Jangan lupa seimbangkan juga permainan dalam ruangan dengan luar ruangan. Sebaiknya 50:50 perbandingan bermain aktif dan pasif, dan untuk anak usia sekolah direkomendasikan juga 60 menit diantaranya berupa olahraga. Karena dengan bermain di luar anak belajar mengontrol motorik kasarnya dan menguasai keterampilan seperti ilmu ruang atau spasial. Bagaimana berlari lalu memperlambat lari saat mendekati tikungan, atau melompati halang rintang, itu lebih mudah dipelajari dan dikuasai di luar ruangan.
Sudah memberi banyak waktu anak untuk bermain? Apakah selama bermain anak bebas 'gangguan' orang tua seperti teriakan awas atau jangan ini itu; atau malah terlalu banyak instruksi seperti lempar atau tendang bola harus begini, lari harus begitu, main ini itu banyak aturan? Hati-hati, no fun means no play, while the right play or game could be learning :).
Lepaskan anak, pantau dari jauh, dan kunci mulut kita (#jleb lagi, nggak, sih?). Dengan memberi kesempatan anak bermain mandiri, anak akan belajar mengasah fungsi eksekutifnya, yaitu bagian yang berperan penting dalam:
Fasilitasi anak untuk bermain dan belajar secara berimbang untuk menghasilkan anak yang cerdas, kreatif, dan mandiri. Kesempatan belajar dan mastering new skills tidak akan berulang dan jangan sampai hilang terlewat. Jadi, yuk ajak anak bermain!
Btw, sedang ada blog competition mengenai hal ini lho! Baca detailnya di forum, deh. Pastikan Mommies menuliskan bahwa mengetahui blog competition ini dari Mommies Daily, ya! Hadiahnya? Ada uang tunai, voucher Gramedia dan bingkisan dari Rinso!
PAGES:
Share Article
COMMENTS