Demikianlah yang berulang kali ditekankan oleh psikolog Dr. Rosemini, A.P., M.Psi atau yang biasa dipanggil bunda Romi saat menjadi narasumber acara Coaching Clinic Pigeon "Smart Parent, Smart Kids Mencerdaskan Balita dengan Komunikasi Efektif" di Kidzania. Banyak peserta yang tertohok, termasuk saya :D.
Baru pembukaan saja beliau sudah bertanya, siapa yang beranggapan bahwa anak yang cerdas itu nilai matematikanya bagus, atau malah harus seratus? Untung untuk yang ini saya nggak :D tapi banyak juga, lho, yang begitu menurut bunda Romi. Banyak anak-anak yang les Kumon, plus Jarimatika, plus Sakamoto sekaligus. Padahal, kan, semua sama saja matematika. Jadi apa anak yang nggak pintar matematika itu anak yang nggak cerdas?
*gambar dari siniCerdas, kan, banyak. Ada cerdas musikal, ada logika (yang berkaitan dengan matematika itu), ada juga cerdas sosial dan interpersonal. Yang terakhir inilah yang justru dimiliki oleh orang-orang yang sukses.
Lalu, apa kunci cerdas sosial? Komunikasi.
Nah, sekarang, sudahkah tepatkah kita berkomunikasi dengan anak?
Komunikasi bisa verbal maupun non verbal, lho. Sekedar cemberut sudah merupakan komunikasi walau nggak pakai ngomel. Orang sudah menangkap bahwa kita sedang kesal. Tapi bukan berarti anak cukup membaca bahasa tubuh kita, karena mereka perlu belajar berbicara dengan benar.
Bunda Romi memberi contoh: seorang bapak mengurus anak batitanya. Mau makan disuapi, mau minum dikasih, mau ini itu semua diberi/dibantu. Tapi tanpa sepatah kata pun. Waktu ditanya Bunda Romi, "Bapak ngobrol apa tadi sama anaknya?. Lalu dijawab, "Nggak ngomong apa-apa, bu, maklum masih kecil belum bisa ngomong.." *tepokjidat*.
Ini salah satu contoh yang norak, nih, menurut bunda :D.
Komunikasi, kan, nggak harus berbalasan. Your baby is looking through your eyes, itu sudah komunikasi walau dia nggak ngomong apa-apa. Justru mengajak bayi berbicara dari kecil akan membangun kosakatanya walau nampaknya dia tidak merespon.
Ada lagi contoh, orangtua atau guru yang menganggap anak usia 3-4 tahun hiperaktif karena nggak bisa anteng. Nggak bisa diajak ngobrol. Pecicilan, lompat sana sini, semua diomongin dan ditanyain entah nyambung atau nggak. Norak juga, nih, kata Bunda Romi. Karena anak usia itu span konsentrasinya masih pendek, 15 menit sudah bagus. Jadi ngobrolnya yang harus disesuaikan.
Untuk bisa berkomunikasi efektif dengan balita, orangtua harus bisa menghilangkan hambatan-hambatan berkomunikasi. Salah satunya, ya, harus tahu karakteristik perkembangan anak seperti ini. Lainnya?
Padahal dengan minimnya komunikasi orangtua-anak, yang bisa terjadi adalah:
Saya yang merasa sudah cukup bawel ngobrol sama anak saja masih merasa anak-anak saya kurang terampil berbicara, terutama tentang pilihan kata dan intonasi yang digunakan supaya terdengar sopan. Saat Darris menelepon temannya tapi yang mengangkat adalah orangtua si teman, saya merasa bahasanya cenderung kasar. Nampaknya salah saya juga karena setelah saya ingat-ingat mungkin yang terekam oleh dia adalah saat saya menelepon Customer Service dan komplain marah-marah *tepokjidat*.
PR saya, nih, mengajari berbahasa yang santun dan luwes. Plus yang berat memberi contoh *lapkeringat*.
Lalu apa yang bisa menjadi pegangan memantau perkembangan komunikasi dan kiat berkomunikasi efektif dengan balita? Tunggu artikel berikutnya, ya!
sumber: presentasi psikolog Dr. Rosemini, A.P., M.Psi