Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jangan Sepelekan Campak
Ini tentang pengalaman saya dan penyakit campak yang menyerang Rasyid, (saat itu, 2thn 3 bln), anak kedua kami. Sudah terjadi di bulan Juni lalu, teringat kembali setelah membaca-baca berita di internet, salah satunya berjudul, balita meninggal karena campak. Saya bukan dokter, mungkin ada salah-salah istilah atau apapun di cerita ini, mohon dibetulkan, ya, teman-teman dokter..
Image campak adalah penyakit yang “biasa” menjangkiti anak-anak, tidak sepenuhnya benar. Kita harus tetap waspada. Sebelum kena campak, saya merasa , "ah ga akan kena lah, kan udah vaksin campak ini, kalo kena pun mungkin ga dahsyat banget" (sombongnya manusia, jangan diulang ya perasaan nyepelein kaya gini). Dan akhirnya, di bulan Juni itu, Rasyid panas tinggi dan batuk di hari Minggu. Sesuai prosedur yang biasa saya jalani, tidak langsung dibawa ke dokter, saya beri penurun panas dulu saat suhu sudah 38 C (suhu ketiak ya, margin error-nya 1 derajat, berarti suhu aslinya kira-kira sudah 39C, gitu kalo dokter spesialis anak (DSA) kami mengedukasi). Saat itu panasnya turun tapi 4 jam kemudian panas lagi.
Selain obat, bila anak panas, kompreslah dengan air hangat di setiap lipatan tubuhnya terus menerus. Jidat, ketiak, selangkangan. Butuh 5 handuk kecil untuk mengompres, buka bajunya semua, ac nyalakan. WHY? Analoginya gini, anak di bawah 2 tahun, komposisi tubuhnya dominan air. Bayangkan seperti saat ceret panas mendidih, tubuh anak kita juga seperti itu. Banyak ibu-ibu yang jika anaknya panas malah dipakein jaket atau baju tebal, dipeluk, itu sama aja menyelimuti ceret panas, ya, ga? Suhunya ga akan turun kalo diselimutin, malah makin naik. Tapi kalau kaki, dipakein kaos kaki ya, karena biasanya malah dingin banget. Begitu saya diajarin DSA kami (berapa SKS ya kalo dikuliahin?).
Hari Senin masih panas 39C, batuk juga makin parah. Berhubung tidak ada suami (saat itu sedang ada seminar di Banjarmasin sampai hari Rabu), dan kondisi Rasyid melemah (ga masuk makanan, bibir merah sekali saking panasnya), saya bawa ke DSA Senin malam. Nekat nih, padahal baru 3 minggu melahirkan. Diagnosa DSA saat itu, "Ini radang tenggorokan, nanti cek darah ya kalo 3 hari nggak turun panasnya“, sambil dikasih surat untuk ke lab. Ya, sampai Rabu, Rasyid tetap panas tinggi, lalu langsung saya bawa ke lab. Setelah ambil hasil lab, ternyata trombositnya di batas bawah normal yaitu 165rb saja. Padahal normalnya di atas 180rb.
*gambar dari sini
Karena DSA tersebut sedang tidak praktik, saya langsung ke RS. Sampai di RS, suster sudah siap menerima kami, karena sudah dikontak sama DSA. Langsung pasang infus, ambil darah, masuk kamar. Jam 4, hasil lab keluar, trombosit makin turun, 125rb. Demam berdarah, itu yang terpikir, karena badan Rasyid juga mulai merah-merah. Suster intense kontak dengan DSA via telp. Rasyid sementara statusnya demam berdarah. Rasyid dipasang lagi infus cairan pekat bening di tangan kanan untuk menaikkan trombosit. Bayangin, anak sekecil ini dipasang infus di kedua tangannya. Lalu, waktu Isya, Rasyid tiba-tiba bleeding (perdarahan) lewat hidung (kalau mimisan udah biasa, lha ini, syok saya liat darahnya ngucur..). DSA belum sampe juga, ayah anak-anak juga belum sampe. Saya tegaaaaanggggg…. bangeeet…!! Kali ini Rasyid langsung dipasangin oksigen di hidungnya. Nangis-nangis, jerit-jerit, sedih lihatnya :(.
DSA baru datang jam 11 malam. Langsung minta lab ambil darah Rasyid lagi. Trombosit turun lagi, 98rb. DSA langsung kontak PMI, cari plasma darah (bukan darah segar, ga semua PMI punya), Alhamdulillah tersedia di PMI Tangerang. Berangkatlah tim RS ke Tangerang, ambil plasma yang cuma butuh berapa cc itu. Jam 4 pagi plasma darah datang, tapi masih beku. Rasyid cek darah lagi, trombosit turun jadi 70rb. Jam 7 plasma darah mulai dimasukkan. Saya dan suami sibuk nyari obat peningkat trombosit di Google.
Sesuai saran dari kakak, kami membuat jamu seperti yang pernah diminumkan ke suaminya saat DB dulu. Isinya, daun meniran, daun pepaya, kunyit, temu ireng, garam, cuci bersih lalu diblender,saring (catet ini, manjur, Alhamdulillah). Rasyid lemes banget. Saya minumin jamu itu pake sendok, nggak nolak sama sekali, padahal saya kebayang rasa jamu itu pahitnya kaya apa :( Mungkin saking lemesnya, pusing, sampe nerima diapain aja, ga ada tenaga buat berontak. Jam 12 siang, cek darah lagi, Alhamdulillah naik jadi 138rb, lega… rasanya saya baru bisa nafas. Trombosit terus naik setelah itu.
Anehnya, bintik merah makin hari makin banyak, dan terus menjalar ke wajah rasyid. Dokter mulai ragu Rasyid DB, “Ini sepertinya campak”. Lalu, obat mulai mengarah ke campak. Catatan: seseorang baru bisa dibilang positif DB setelah 14 hari kemudian setelah hari pertama panas, dites dengan tes darah.
Finally, Senin minggu berikutnya Rasyid sudah boleh pulang, total 6 hari dirawat. Dan setelah 14 hari, kami tes DBD Rasyid. Hasilnya?? Negatif. Kami kontrol ke DSA lagi, Rasyid memang terkena campak. Campak yang virusnya mungkin sudah berevolusi. DSAnya heran, beliau belum pernah ketemu kasus campak sampe trombositnya 'ngedrop' sampe segitu.
Jadi campak itu ada komplikasinya, yaitu, penurunan trombosit, radang paru, dan radang otak. Wow, serem ternyata, baru tau saya. Masyarakat pada umumnya tidak mengetahui hal ini. Itulah mengapa jika bilang campak, agak menyepelekan, dan akhirnya malah kecolongan.
Campak sangat mudah menular lewat udara, air liur,dll, waspadalah. Semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua. Amin.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS