...How to make it work.
Saya tinggal dengan ayah dan ibu saya. Lebih tepatnya, saya, suami saya, dan anak saya, tinggal di rumah ayah dan ibu saya.
Kondisi ini terjadi begitu saja. Setelah menikah, saya dan suami bersiap untuk tinggal di rumah sendiri. Saya, yang selama 8 tahun sudah terbiasa hidup mandiri dari orangtua alias ngekos, tentunya tetap ingin memiliki ‘ruang’ saya sendiri. Namun, saat menanti rumah yang tepat, saya hamil. Kehamilan saya lumayan penuh cerita, hingga saya harus dirawat di rumah sakit yang kemudian berlanjut dengan istirahat penuh. Suami saya yang bekerja full-time, tentu saja tidak bisa merawat saya. Satu-satunya pilihan kami saat itu adalah tinggal bersama orangtua saya.
Terbiasa dengan kemandirian, saya sebenarnya malas memikirkan bagaimana ceritanya jika harus tinggal dengan orangtua saya. Apalagi sampai anak saya lahir. Saya dan orangtua saya punya banyak pandangan berbeda soal membesarkan anak. Belum lagi soal mengurus rumah. Namun, tak terasa, anak saya sudah berusia hampir 2 tahun. Dan saya masih cukup betah tinggal dengan kedua orangtua saya.
Konflik tentu saja ada. Namanya juga hidup dengan orang lain. Anak saya makan apa, mandi jam berapa, tidur siang berapa lama adalah topik ‘hangat’ harian di rumah. Belum lagi persoalan tetek bengek rumahtangga lainnya. Pendek kata, kehidupan rumahtangga saya sangat meriah.
How do I make it work?
Ketika prospek harus membesarkan anak bersama orangtua saya mulai muncul, saya meminta survival tips pada rekan-rekan saya di 24hourparenting.com. Berikut adalah hal-hal yang saya terapkan sendiri dengan tingkat kesuksesan baik di rumah:
1. Buat “wilayah” sendiri. Hargai “wilayah” anggota keluarga lain. Saya menerjemahkan ini sebagai wilayah geografis dan wilayah non-geografis. Wilayah geografis adalah ruang privat keluarga kami sendiri, misal kamar tidur. Wilayah non-geografis adalah otoritas atas hal tertentu, misalnya kegiatan sosial orangtua saya di luar rumah. Wilayah-wilayah ini saya hargai betul. Bagi saya, ini memberikan kesempatan bagi setiap pihak berfungsi sebagai unitnya sendiri, bukan sebagai bagian dari unit keluarga besar.
2. Buat peraturan dan kesepakatan meski untuk hal-hal kecil. Ini terdengar remeh, tapi penting. Misalya, berpamitan jika pergi, meskipun ke tetangga sebelah rumah atau meminjam barang yang bukan milik kita. Saya menggunakan ini untuk menghindari potensi konflik. Sebenarnya, ini baik juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk meminimalisir potensi konflik dengan orang lain.
3. Habiskan waktu bersama anak dan keluarga besar. Amati dan pelajari interaksinya. Mungkin berkebalikan dengan orangtua lain, dan asumsi awal saya sendiri, saya menikmati mengamati interaksi anak saya dengan kakek-neneknya. Perbedaan pola pengasuhan kami memberikan banyak kesempatan bagi saya untuk mengevaluasi ulang jika pola yang saya terapkan memang yang terbaik. Orangtua saya juga mendapat kesempatan untuk melihat dan mendengar alasan saya menerapkan pola asuh pilihan saya. Selain itu, saya sendiri juga belajar menghadapai perbedaan pola asuh yang mungkin akan saya hadapi setelah anak bersekolah dan berinteraksi dengan dunia luar.
4. Berikan kesempatan bagi anggota keluarga untuk berperan dalam hidup anak. Konflik dapat terjadi saat ada anggota keluarga yang ingin terlibat tapi tidak diberi kesempatan. Kakek bisa diberi kesempatan untuk menjadi teman bermain anak. Sedangkan acara membaca buku atau menggambar bisa dilakukan dengan nenek. Dengan demikian, setiap orang yang ingin berperan bisa mendapatkan bagian dalam pengasuhan.
5. Hindari menegur atau membicarakan keluarga di depan anak. Menegur di depan anak akan menyebabkan yang ditegur kehilangan daya tawar di hadapan anak. Misal, kita menegur nenek di depan cucunya. Si cucu akan menganggap tindakan nenek dapat diintervensi dan menjadi tidak patuh pada si nenek. Lagipula, jujur saja, saya sendiri juga tidak akan ingin ditegur atau dibicarakan di depan anak. Jadi saya juga menerapkan hal yang sama pada anggota keluarga yang lain.
6. Bila terjadi konflik, fokus pada yang harus diperbaiki, bukan saling menyalahkan. Ini memang sangat sulit, tapi harus dilakukan. Tarik napas, lalu tenangkan diri. Telusuri akar dari konflik, lalu ajukan pilihan solusi yang masuk akal. Ini sebenarnya bisa berlaku juga pada konflik apa pun dalam hidup.
Saya merasa, sebenarnya tinggal ‘menumpang’ orangtua adalah pilihan terakhir banyak pasangan saat ini. Tapi tentu saja, ada juga pasangan, macam saya dan suami, yang karena suatu alasan tertentu memilh tinggal bersama orangtuanya.
Memang banyak strategi perang dan trik yang harus dilakukan akan hidup bersama keluarga besar lebih nyaman. Namun, tidak sedikit pula keuntungan yang bisa dirasakan bersama. Anak saya sangat dekat dengan kakek-neneknya. Saya tidak perlu repot mencari siapa yang bisa dititipi anak jika saya dan suami ingin pergi keluar berdua saja.
Selain itu, dengan tinggal bersama keluarga besar, kita juga bisa memberikan contoh langsung bersosialisasi dengan keluarga besar. Ini bisa menjadi pelajaran bagi anak tentang bagaimana cara memperlakukan kita kelak ketika dia telah dewasa.
Untuk Mommies yang sedang dalam mempertimbangkan untuk tinggal bersama keluarga besar atau saat ini sedang tinggal dengan keluarga besar, berikut ini poin-poin lengkap seputar tinggal bareng keluarga besar dari 24hourparenting.com: http://bit.ly/kelbesar
Wicahyaning Putri adalah editor di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.