Menjelang akhir pekan, saya teringat untuk mengecek kalender. Tujuannya hanya untuk memastikan apakah minggu ini giliran kami menginap di rumah ibu saya, atau "rumah oma" begitu anak saya menyebutnya. Semenjak kami pindah ke tempat tinggal baru, yang jaraknya sekitar 30 km dari rumah oma, dibuat kesepakatan tidak tertulis bahwa kami harus menginap di rumah oma setiap dua minggu sekali. Lebih tepatnya sih, kami membawa Bumy menginap di sana.
Ibu telah membantu saya mengasuh Bumy sejak hari pertama saya membawa Bumy pulang dari rumah sakit. Ketika kami memutuskan pindah rumah, ibu ikut bahagia, tapi juga patah hati. Sebulan pertama sepertinya masa yang paling berat buat beliau. Ibu menelpon Bumy setiap malam sambil menangis. Kami rikuh, tapi juga memaklumi bahwa hal tersebut memang bagian dari proses yang harus dilalui.
Ketika saya melihat ke sekeliling, saya menemukan banyak sekali kenalan maupun teman yang menjalani peran sebagai ibu bekerja, sangat terbantu oleh bantuan para nenek dan kakek yang ikut mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka. Selain karena sistem kekeluargaan di Indonesia di mana para orangtua masih tinggal di rumah yang sama atau dekat dengan para kakek-nenek, juga karena kakek-nenek dianggap dapat menjadi pengasuh yang lebih terpercaya dibandingkan menitipkan anak dengan orang yang bukan keluarga.
Tidak hanya itu, menurut sebuah laporan mengenai demografi penduduk, pada tahun 2050, populasi usia 65 tahun ke atas di banyak negara Asia akan jauh lebih tinggi dari sekarang. Bandingkan dengan kondisi para orangtua dari dua generasi sebelumnya, saat bahkan begitu lazim seorang anak tidak memiliki kedua orangtua biologis. Baik akibat kondisi dunia di mana terjadi peperangan, maupun akibat kualitas hidup yang menyebabkan angka harapan hidup (life expectancy) pendek. Dengan demikian, keluarga inti yang terdiri dari multi-generasi kini menjadi populer dan menjadi bagian dari gaya pengasuhan anak terkini.
Menurut penelitian oleh ahli di bidang antropologi evolusi, Sarah Blaffer Hrdy, para kakek dan nenek dapat dipandang sebagai alasan utama manusia dapat hidup sebagai keluarga. Mengapa demikian? Karena kakek-nenek menjadi alloparents atau pengasuh yang bukan orangtua biologis dari anak - selain tante, babysitter, atau anak yang lebih tua dalam keluarga. Namun, dalam sejarah manusia, para kakek-nenek, atau nenek secara khusus adalah alloparents utama sebuah keluarga.
Para peneliti menyebut pengasuhan bersama generasi kakek-nenek sebagai "The Grandmother Effect," yaitu pengaruh besar dan positif dari para nenek yang membesarkan sendiri atau membantu membesarkan anak-anak dari anak mereka. Entah karena ada kematian dalam keluarga, pemisahan keluarga oleh jarak, maupun alasan finansial dan sosial lain, para nenek telah memainkan peran yang sangat penting dalam mengasuh cucu-cucunya.
Sejarah mencatat sejumlah nama orang-orang hebat yang dibesarkan oleh para nenek. Di antaranya presiden Barack Obama, Maya Angelou, Oprah Winfrey, Bill Clinton, Jack Nicholson, dan Eric Clapton. (*)
Apa yang dilakukan para nenek sehingga dapat memberikan pengaruh yang besar dan positif dalam pengasuhan? Lihat di halaman selanjutnya!
Riset mencatat, para kakek-nenek mengajarkan anak-anak social skills, seperti bagaimana cara bekerja sama, bagaimana berbelas-kasih, dan bagaimana untuk bertenggang-rasa. Saat dilakukan riset terhadap ratusan remaja di Amerika Serikat, ditemukan bahwa jika para nenek terlibat dalam pengasuhan anak, anak-anak itu dapat berhubungan lebih baik dengan komunitas sosial, lebih terlibat dalam kegiatan di sekolah, serta lebih menunjukkan perhatian terhadap sesama. Anak-anak yang dibesarkan oleh para nenek juga memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan dapat lebih mudah beradaptasi.
Sementara bagi keluarga kontemporer, dukungan pengasuhan oleh para nenek memberikan kondisi di mana orangtua memegang peranan utama untuk mendisiplikan tingkah-laku yang negatif, dan para kakek-nenek mendorong tingkah-laku yang positif. Selain itu, ditemukan juga bahwa semakin tinggi keterlibatan para kakek-nenek dalam pengasuhan anak, akan semakin tinggi pula keterlibatan para ayah.
Untuk para kakek-nenek, keterlibatan dalam pengasuhan cucu juga memberikan energi jiwa tersendiri. Meskipun demikian, keterbatasan kondisi fisik patut menjadi poin yang perlu dipertimbangkan. Karenanya, disarankan untuk membatasi waktu pengasuhan oleh kakek-nenek dengan tidak menjadikan mereka satu-satunya pengasuh utama bagi anak.
Kondisi pengasuhan bersama kakek-nenek memang memberikan segudang manfaat. Namun seperti kita ketahui, memiliki banyak tantangan juga. Aturan yang kita terapkan seringkali berbeda dengan para kakek-nenek. Belum lagi kecendrungan para nenek untuk mengikuti keinginan cucu-cucunya. Guna mengatasi konflik yang akan atau malah sudah muncul, ada baiknya kita membangun relasi pengasuhan bersama yang "enak" dengan para kakek-nenek.
Menurut artikel di babyzone.com, relasi pengasuhan yang nyaman itu sangat mungkin untuk dicapai, dengan menerapkan langkah-langkah berikut.
1. A—Agree on the arrangement.
Sepakati hal-hal teknis seputar pengasuhan anak. Lebih mendetil lebih baik. Mulai dari waktu anak bersama kakek-nenek, metode pemberian asi, tidur siang, hingga perlukah "membayar" jasa pengasuhan mereka. Seiring dengan bertambahnya usia anak, hal-hal teknis ini akan meluas ke ranah pendisiplinan. Pastikan kita dan kakek-nenek sejalan dalam hal metode pendisiplinan (jika ini rasanya sulit dicapai, paling tidak, kita dan kakek-nenek sejalan untuk berkompromi dalam perbedaan ;) ).
2. B—Set boundaries.
Batasan yang perlu ditetapkan di sini adalah batasan emosional. Ada kalanya orangtua kita, atau para kakek-nenek, berkomentar mengenai hal-hal yang terjadi di dalam rumah kita, atau mengenai cara pengasuhan kita. Kesepakatan untuk menerapkan batasan privasi memang mungkin dilakukan, meskipun dari segi tradisi ketimuran, hal ini mungkin akan terasa kurang pas bagi sebagian dari kita.
Jika kita merasa kurang nyaman memaparkan batasan terhadap orangtua kita sendiri, atau bahkan kurang nyaman dengan komentar-komentar yang mereka berikan, sebaiknya kita mempertimbangkan untuk mengurangi frekuensi pengasuhan anak oleh kakek-nenek. Ajak anak menginap di rumah kakek-nenek seminggu sekali misalnya, atau sepakati waktu kunjungan tertentu. Dengan demikian, kita dapat menjalani pola asuh yang ingin kita berikan kepada anak, sambil tetap memupuk kedekatan anak dengan kakek-neneknya.
3. C—Communicate.
Membuat pola komunikasi yang baik dan rutin dengan kakek-nenek. Fokuskan pembahasan pada pengasuhan anak, dan berikan kesempatan pada kakek-nenek untuk menuangkan isi hati mereka. Ini penting dilakukan agar relasi pengasuhan dengan kakek-nenek terhindari dari drama keluarga. Supaya tidak terkesan resmi atau tegang, kita bisa menjadwalkan family night out bersama kakek-nenek.
Pada waktu yang tepat, jelaskan nilai-nilai yang ingin kita tanamkan kepada anak, juga cara mencapainya. Dengan ini kita dapat memberikan pengertian kepada kakek-nenek mengenai pola asuh yang ingin kita terapkan.
Last but not least, tunjukkan apresiasi atas bantuan yang mereka berikan. Bisa berupa oleh-oleh sederhana saat kita menitipkan anak untuk pacaran dengan suami (ibu saya selalu berbinar-binar matanya kalau saya bawakan sate padang, meskipun sudah jam 10 malam!), meminta masukan kakek-nenek mengenai pemilihan sekolah atau kursus anak, atau 'sekedar' ucapan terima kasih.
"Grandparents, like heroes, are as necessary to a child's growth as vitamins." - Joyce Aliston.
Referensi:
- "The Secrets of Happy Families" oleh Bruce Feiler.
- "Grandmother Daycare: How to Make It Work" oleh Jeannie Brown.http://www.babyzone.com/mom/relationships/grandparents-childcare_69709?page=4
- "The Grandmother Effect"http://www.everymothercounts.org/blog/201306/grandmother-effect