Tingkat kematian akibat kanker serviks (leher rahim) cukup tinggi, sampai dengan satu kematian tiap dua menit. 80% dari kematian itu terjadi di daerah/negara dimana program screening kesehatan belum rutin dilakukan. Rendahnya kesadaran akan pentingnya screening seperti SADARI untuk deteksi dini kanker payudara, atau pap smear untuk kanker serviks ini cukup disayangkan karena makin dini gejala penyakit terdeteksi, berarti:
*gambar dari sini
Di daerah Asia/Oceania tingkat kematian tertinggi akibat kanker leher rahim terjadi di India, sementara terendah di Australia. Ini berbanding lurus dengan tingkat pendidikan juga. Karena biasanya makin tinggi tingkat pendidikan makin tinggi pula kesadaran akan kualitas kesehatan. Faktor risiko tinggi terkena kanker serviks di antaranya:
O, ya, dr. Chamim, SpOG (K) Onkologi dalam acara seminar "Early Detection of Breast Cancer & Cervical Cancer" yang diadakan oleh Brawijaya Women & Children Hospital beberapa waktu lalu di f(X) Sudirman juga sempat menyebutkan bahwa kasus kanker rahim lebih banyak terjadi pada perempuan yang belum pernah mempunyai anak.
Ada dua jenis utama kanker serviks, yaitu:
Karena perbedaan lokasi ini jenis Adenocarcinoma lebih sulit terdeteksi karena sulit dijangkau oleh alat pap smear. Padahal jenis ini lebih agresif dengan prognosis yang lebih buruk daripada SSC karena lebih besar kemungkinan berkembang lebih parah dan luas tanpa terdeteksi.
Virus penyebab kanker serviks sejauh ini hanya Human Papiloma Virus (HPV). HPV sendiri ada lebih dari 100 jenis, tapi penyebab utama (71,8%) adalah tipe 16 dan 18. Perjalanan penyakit sendiri dari tertular sampai menjadi kanker serviks sebenarnya cukup lama, 10-20 tahun. Karena itu harusnya kanker serviks dapat dideteksi sedini mungkin.
Selain mengusahakan untuk rutin deteksi dini, tersedia pula vaksin HPV yang dapat mengurangi risiko terkena kanker serviks dan mengurangi gejalanya. Vaksin ini meng-cover HPV tipe 16 dan 18, tapi HPV tipe lain seperti tipe 45 juga ikut ter-cover. Imunisasi ini akan jauh lebih efektif bila diberikan pada anak-anak yang belum aktif secara seksual, yang dianjurkan adalah usia 9-10 sampai dengan 13 tahun. Di jadwal IDAI sudah tercantum jadwal vaksin ini untuk usia 10 tahun. Namun pemberian pada mereka yang telah aktif secara seksual masih dapat membantu ketahanan terhadap virusnya meskipun tidak seefektif pada anak/remaja.
Antibodi yang terbangun melalui vaksin HPV ini bertahan dalam kisaran 7-9 tahun, tergantung jenis vaksinnya. Tapi dalam kurun waktu tersebut tetap harus rutin pap smear walau cukup setiap dua tahun sekali.
Ketika saya browsing tentang vaksin HPV ini (Gardasil dan Cervarix) keduanya ternyata relatif masih baru disetujui oleh FDA (BPOM Amerika), yaitu di 2006 dan 2009. Jadi tingkat keamanannya masih banyak yang meragukan karena track record yang masih singkat. Menanggapi kekhawatiran ini, Karen Smith-McCune, MD, seorang dosen fakultas kedokteran di University of California-San Francisco lebih menyarankan untuk rutin pap smear ketimbang menjalani imunisasi. Dengan rutin pap smear dan mendeteksi kanker rahim di tahap awal sudah cukup, kok, untuk menghindari. Lagipula di kebanyakan kasus, HPV dapat dilawan sendiri oleh tubuh.
Yuk, masukkan pap smear ke dalam agenda rutin kita!
sumber
http://children.webmd.com/vaccines/features/should-your-child-get-hpv-vaccine?