Saya ini pecinta hewan. Segala jenis hewan, well, mungkin kecuali yang menggelikan kaya ulet bulu ya...hiii....hehe.
Memelihara berbagai jenis hewan, sudah jadi keseharian saya, sejak kecil hingga kini, dan bahkan kadang jadi candu deh rasanya. Hehehe..
Waktu kecil, saya terbiasa hidup dengan kucing, anjing, kelinci, kura-kura, dan ikan yang kami pelihara bersama, sekeluarga. Jadi, orangtua saya membiasakan dengan tidak melabeli hewan dengan kepunyaan seseorang di rumah. Misalnya: ini kucing mamah, ini kura-kura papah, ini kelinci teteh, ini anjing ade. Tidak. Ini semua hewan peliharaan kita, sekeluarga. Semua bertanggungjawab atas kelangsungan hidup mereka.
So, saya dan adik saya terbiasa dibebani tanggung jawab membersihkan, memberi makan dan menyayangi seluruh hewan dirumah.
Ini candu. Sungguh.
Karena sampai saat ini, saat saya dan adik saya telah berkeluarga dan terpisah rumah, kami tetap punya peliharaan. Karena itu, salah satu syarat SUPER PENTING buat saya dan adik, saat hendak menikah, calon pasangan hidup kami WAJIB sayang binatang. Period.
Rasa cinta berlebih saya terhadap binatang, tidak jadi kendala, hingga kehamilan. Wah. Saat itu rame sekali. Setiap orang, selain orangtua saya tentunya, sibuk memberikan pendapat dan komentar negatif tentang kucing-kucing di rumah saya yang jumlahnya lima ekor.
Pendapat seperti:
“Ih bulu kucing itu bahaya dan bikin keguguran..” atau “Ih nanti rumahnya kotor, trus hamilnya kena TORCH” atau “Nanti kalo sudah melahirkan kucingnya dibuangin aja, bayinya bisa alergi loh..”
Dalam hati saya hanya memohon ampun pada Tuhan. Karena semua itu doa buruk, dan saya berlindung dari segala keburukan. Hehehe...karena saya enggak mau membuang kucing-kucing saya. Buat saya, mereka, punya porsi hampir segalanya di hati.
Maka, solusi amannya, sejak awal kehamilan saya langsung tes TORCH. Alhamdulillah hasilnya semua negatif. Saya tidak terpapar penyakit-penyakit zoonosis tersebut. Ini tujuannya, selain membuat diri sendiri merasa tenang, juga saya gadang-gadang ke mana-mana untuk menunjukkan ke setiap orang yang hobi komentar.
Kemudian langkah selanjutnya, suami saya mengambil alih setiap urusan yang berkaitan dengan bersih-bersih. Ya, bersih-bersih rumah,memandikan kucing, lengkap dengan membersihkan pasir tempat kotoran kucing. Jadi saya terhindar sama sekali dari BAB kucing yang biasanya jadi penyebab penyebaran toxplasma. (Bukan bulunya loh, ingat..)
Berikutnya, ya hidup normal saja. Makan sehat, istirahat cukup dan berbahagia. Sayang, komentar orang tak berhenti begitu saja. Akhirnya di sela waktu bekerja, saya rajin cari bahan-bahan soal TORCH, membaca, kemudian menyimpannya di flashdisc. Saya juga rajin meminta bahan-bahan bacaan dari dokter hewan langganan yang baiknya gak ketulungan, drh Erwin.
Semua itu demi menjelaskan ke semua orang bahwa, iya betul Toxoplasma bisa menyebabkan keguguran atau bayi lahir cacat. Namun, kucing yang bersih, makan makanan matang, dan tidak keluyuran-sehingga punya kesempatan untuk makan makanan mentah, atau sampah, memiliki risiko rendah terpapar penyakit-penyakit yang tidak ada vaksinnya itu.
Yess, karena toxoplasma itu protozoa yang bisa disembuhkan seiring dengan berjalannya waktu, dengan terapi. Maka itu harus tes TORCH sedini mungkin. Poin penting yang saya tekankan juga, bahwa TORCH tidak hanya menyerang orang yang memelihara hewan, namun juga orang yang hobi makan steak setengah matang, atau sayuran mentah. Bukti hidupnya adalah sepupu saya yang takut kucing, tapi terkena toxoplasma igg.
Selengkapnya, silakan cari info sendiri, karena saya bukan dokter hewan, hehehe..
Kekeuh ya? Ya biarinlah, kadang cinta memang harus dibela mati-matian. Cieee...
Setelah bayi lahir, yang alhamdulillah sehat wal afiat, saya juga memberlakukan aturan baru untuk kucing-kucing di rumah. Ehm, mereka yang biasanya tidur bareng kami di kasur, tidak boleh lagi masuk kamar. Kami kerap mempertemukan kucing-kucing dan Abib, di luar kamar. Hanya untuk menjelaskan kepada para bos kucing bahwa mereka punya ‘adik’ baru yang harus disayang, juga menjelaskan pada Abib bahwa dia tidak pernah sendirian di rumah.
Awalnya kucing-kucing memang marah, cemburu dan bertingkah cari perhatian dengan pipis di mana-mana, mengacak-acak sofa, menjatuhkan barang dan sebagainya. Ya wajar sih, biasanya mereka bebas keluar masuk kamar, kali ini dilarang.
Aturan kucing tidak boleh masuk kamar akhirnya runtuh saat Abib 2,5 bulan. Karena ternyata, Abib tidak menunjukkan gejala alergi pada bulu kucing. Sekali lagi, Alhamdulillah. Tuhan maha baik. Seiring dengan itu kecemburuan para kucing pun reda.
Sekarang Abib jelang 19 bulan. Kami sudah menambah anggota keluarga baru dengan sepasang love bird di rumah. Hehehe..Abib dan seluruh hewan juga sangat akrab. Meskipun Abib masih hobi meniban tubuh kucing setiap kali melihat mereka tidur-tiduran, tapi, ya, sejauh ini masih dalam batas aman.
Ketakutan orang bahwa Abib akan dicakar atau digigit, setiap melihat Abib siap menomprok kucing , Alhamdulillah tidak terbukti. Mungkin karena kucing-kucing saya udah tua, haha, yang paling tua 13 tahun dan yang paling muda 5 tahun. Jadi bonding saya dengan mereka sudah terbentuk, so mereka paham betul bahwa Abib itu ‘adik’ yang harus selalu dimaklumi.
Tapi kalo dengan kucing di luar atau kucing peliharaan orang, biasanya saya ajak Abib menyentuh pelan-pelan dan tidak boleh langsung peluk dan uwel-uwel. Ya ngeri juga sih ya...
Dengan burung? Pernah dipatuk. Kapok? Ya enggak. Hehehehe. Namanya juga balita. Saya sih menganggap, selama tidak berbahaya, ya biarkan saja. Bahkan kadang saya biarkan dia bermain dengan anjing tetangga, selama ada owner-nya di dekat si anjing. Karena kalo saya tidak mungkin lagi memelihara anjing, kasian anjingnya, rumah kami mungil. Hehehe..
(Abib waktu 7 mo dan Jhonny)
Kini setiap hari Abib ikut sibuk setiap ayahnya/saya membersihkan kandang burung, mencuci pasir, memberi makan, mengelus-elus saat duduk bersama di depan tivi, memasukkan kucing-kucing ke kamar saat petir kencang di luar, memandikan kucing, dan memasak ayam seminggu dua kali buat makan kucing. Saya juga selalu membawa sekantung makanan kucing awetan setiap kali jalan-jalan keliling komplek berdua Abib. Jadi setiap ada kucing kurus kelaparan yang mengeong, Abib akan sibuk meminta makanan kucing dari tas saya untuk diberikan kepada mereka. Saya bahkan pernah mengajari Abib untuk mengambil anak kucing nyaris mati dari jalanan, mengurusnya di teras, mengebiri, menjaganya sampai dia bisa bertahan hidup lagi di luar.
Semua ini memang hadiah dari Tuhan buat kami. Mungkin tidak semua orang seberuntung saya, bahwa saya tidak harus menyingkirkan kucing-kucing karena adanya anak. Maka, saya bersyukur sekali. Saya hanya ingin anak saya tumbuh dengan penuh rasa empati, rasa cinta, dan terbiasa berbagi dengan seluruh mahluk Tuhan. Ini cara saya, bagaimana dengan Mommies?