"Weaning means ending breastfeeding completely.
It can take several days, weeks, months, or years..” (The Womanly Art of breastfeeding)
Rasanya baru kemarin si bayi Oza ini belajar menyusu, lalu MPASI . Tahu-tahu sudah melewati dua tahun dan saatnya buat melepaskan momen ini, Weaning. 21 Februari 2013 lalu Oza sudah 2 tahun. Momen 2 tahun ini bukan hanya momen untuk mensyukuri kehadiran anak kecil yang tumbuh sehat, aktif , kosakatanya semakin banyak, bicaranya cukup jelas dan ekspresif. Momen 2 tahun ini menjadi penting bagi saya karena menjadi momen untuk mengakhiri kegiatan penuh cinta untuk Oza, menyusui. Dari jauh-jauh hari sudah saya edukasi ,“Nanti kalau sudah tiup lilin , nggak mimi bunda lagi ya .. “ .
Tiup lilin itu maksudnya apa sih? Saya mencoba menjelaskan sambil saya ajak dia menghadiri undangan ulang tahun anak-anak seusianya. Setiap kali ada undangan ulang tahun anak, saya senang banget. Soalnya momennya bisa saya manfaatin untuk memasukkan cerita pra-weaning Oza. Bahwa anak sudah 2 tahun nanti sudah tidak menyusu lagi pada ibunya. Nanti minumnya air putih dan jus buah ya..
Semakin mendekati usia 2 tahun, Frekuensi menyusu Oza sudah diatur dan berkurang. Pelan-pelan menyusu di siang hari sudah bisa dilepaskan. Kalau siang dia banyak minum air putih dan jus. Di usia menjelang 2 tahun, saya menyusui Oza hanya di malam hari sebelum tidur dan jika tengah malam terbangun. Obrolan-obrolan seputar persiapan ‘pelepasan’ masa menyusui saya ulang-ulang terus. Saya ulangi berkali-kali di berbagai kesempatan. Kadang sambil mandiin, kadang sambil makan bareng, kadang sambil pakein dia baju atau cerita menjelang tidur, paling ampuh memang pas sambil menyusui. Karena kami berada dalam posisi yang cukup tenang. Kadang ia suka mengulangi kalimat saya. Bahkan dengan edisi tanya jawab kecil sebagai afirmasi :)
“Nanti kalau sudah tiup lilin , gimana, De?
“Nggak mimi bunda lagi .. “ (Dengan wajah polos dan bersemangat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian melanjutkan menyusu)
“Wah, hebat! Kalau sudah nggak mimi bunda lagi, nanti minumnya jadi apa?”
“Mimi putih.. (air putih) cama minum Jun.. (sama Minum Jus) “
“Jus apa , De?”
“Jun jambu cama jun meyon ..(Jus jambu sama melon)
Oza memang sudah saya perkenalkan aneka jus buah dan terbiasa untuk mengenali proses pembuatannya. Jadi kalau di rumah dia dengar bunyi suara blender, dia langsung bilang, “Oza mau Jus, Bunda ..” . Karenanya, saya berpikir, dia nggak akan terlalu kaget dengan ‘pengganti’ minum ASI-nya, karena sudah terbiasa , hanya frekuensinya yang ditambah. Oya, saya memang menganut ‘aliran’ bahwa setelah selesai masa menyusui selama 2 tahun, anak tidak membutuhkan susu. Seluruh kecukupan kalori dan nutrisinya diharapkan terpenuhi dari beragam bahan makanan sehat alami yang diberikan padanya. Tapi bukan berarti saya melarangnya, susu sama derajatnya dengan makanan bergizi lainnya. Susu diperbolehkan kalau memang Oza mau, tapi saya tidak pernah menawarkan, hanya minuman for fun atau social drink =) . Untuk detail mengenai ‘aliran’ ini mungkin perlu sesi khusus atau silakan baca buku pada konsultan gizi & masak sehat alami, Wied Harry Apriadji atau tanya langsung penulis buku Mitos & Kesehatan @erikarlebang aja ya .. =)
Well, back to my weaning story, edukasi dan kampanye weaning di rumah sudah bergaung heboh. Tibalah harinya tiup lilin. Sebenarnya tidak ada perayaan khusus sih, saya hanya membuat makan malam sederhana saja di rumah. Plus nggak lupa beli sekotak kue dengan lilin sebagai gongnya. Tiup lilin bagi anak kecil ini sangat menyenangkan. Dia harus bisa menarik dan menghembuskan nafas sekuat tenaga supaya apinya mati, lalu orang-orang bertepuk tangan. Identik dengan keceriaan. Jadi, dengan mudahnya nanti Oza bisa mengingat momen tiup lilin 2 tahun yang sebenarnya momen ‘pelepasan’ ini sebagai momen keceriaan.
Takjub Liat Lilin Angka 2 | Doc by : @mbakdan
Pegang & Peluk
Nyot-nyot atau mimi adalah bahasa Oza ketika ia minta menyusu pada saya. Karena menyusui lebih dari sekedar ASI, maka saya jelaskan pada Oza bahwa kalau ia kangen nyot-nyot, Oza boleh pegang aja atau peluk kok..
Maka setelah tiup lilin, setiap kali dia bilang, “Bunda Oza mau nyot-nyot”, maka dengan mimik muka kaget saya akan bilang” Hah, nyot-nyot? Kan sudah tiup lilin, katanya nggak nyot-nyot bunda lagi?” . Kadang-kadang dia merajuk, dan membuat saya secepat kilat mengalihkan perhatiannya dengan hal apapun. Tapi kalau beruntung, dia akan menjadi anak yang penuh pengertian, tersipu-sipu malu lalu bilang “Oza pegang aja boyeh (Boleh) , Bun? Atau Oza peyuk aja, Bun.. “. Lalu kami pun akan berpelukan dan setelah itu dia kembali main. Siang nyaris selalu berhasil. Tidak demikian kalau malam, sebelum tidur. Ini momen paling susah. Ketika Oza menangis dan merajuk untuk menyusu, dia punya tim pembela yang kuat: ayahnya!
Karena di luar dugaan, saat ia sedang menangis dan merajuk, di mana saya berusaha untuk menenangkan, membujuk dan mengalihkan perhatiannya, ternyata sang ayah malah melakukan hal yang sebaliknya. Atas nama tidak tega, maka meluncurlah kalimat ini..
“Bun, kasihanilah anak ayah.. nggak apa-apa Bun, kan boleh di susuin sampai 2 tahun lebih”
LAH! Kemarin-kemarin dia ada bersama saya untuk ‘kampanye weaning’ untuk Oza, sekarang dia malah mendukung Oza untuk terus menyusu terus pada saya. Apalagi kalau tengah malam, ketika Oza terbangun dan menangis. Dalam keadaan setengah sadar dan mengantuk, pertahanan saya untuk melatih tidak menyusui Oza semakin ambrol karena mau tidak mau suasana kamar jadi heboh, setengah sadar sang ayah juga akan memohon hal yang sama supaya anaknya bisa cepat tenang. Haduh, kampanye weaning saya terancam gagal kalau begini caranya ..
Belum lagi ternyata 3 minggu kemudian Oza terkena radang tenggorokan yang membuatnya demam dan susah menelan (Faringitis). Kondisi ini membuatnya nggak mau makan dan minum selama seminggu, bahkan minum jus sekalipun hanya beberapa teguk. Menyusu kembali menjadi andalan asupannya. Suami saya meminta saya untuk melonggarkan ‘kampanye weaning’. Maka pola menyusu yang tadinya hanya tinggal malam, otomatis berubah menjadi pagi, siang, sore dan semaunya. Ketika kemudian Oza sembuh, ternyata pola menyusui yang sudah saya atur sedemikian rupa dalam rangka ‘kampanye weaning’ gagal total. Suami saya malah terkekeh dan santai-santai aja mendengar ‘kegagalan kampanye weaning’ saya. Dan dia tetap jadi tim pembela ‘rengekan’ Oza untuk menyusu.
Selalu hangat melihat foto ini :’)
Akhirnya suatu malam, saat ada kesempatan, saya ngomong langsung sama suami. Curhat atas hal-hal yang menurut saya, banyak sikapnya yang bertentangan kurang mendukung saya dalam ‘kampanye weaning’ Oza. Bahwa bantuannya sangat diperlukan untuk mendukung kesuksesan weaning ini , seperti halnya bantuannya saat mendukung menyusui Oza. Kembali di luar dugaan, saya malah mendengar sesuatu yang cukup mengejutkan..
“Soalnya ayah belum siap ngeliat Oza nggak di susui bundanya lagi.. ”
BLAR!. Sepersekian detik saya bengong. Ini harusnya perasaan yang dialami Busui kan ya? Lah, ini kenapa ayahnya yang merasa begini? . Sebentar! Saya merasa harus mengulang kalimat saya barusan “..mendukung kesuksesan weaning, seperti halnya mendukung menyusui “
Barulah saya menyadari letak kesalahan saya. Terngiang-ngiang kalimat dokter Utami Roesli, kesuksesan menyusui adalah kesuksesan bertiga, ibu , anak dan ayah” . Tanpa sadar, selama dua tahun proses menyusui, bukan hanya ibu dan bayi yang bahagia, tapi ayah juga. Ada mata yang menyaksikan kehangatan cinta antara ibu yang sedang menyusui anaknya. Ada perasaan nyaman dan damai yang larut bersama aktivitas ibu dan anak itu. Mengutip dari buku The Womanly Art of Breastfeeding, Breastfeeding is more than a feeding method, it’s a relationship, and relationships play out differently for everyone.
Tanpa sadar. Kata Relationship di sini bukan hanya milik saya dan si bayi yang tumbuh besar itu. Tapi juga menjadi milik ayahnya. Bisa bayangkan, selama 2 tahun ada orang yang ikut menyaksikan proses menyusui di berbagai sudut rumah. 24 jam sehari, 7 hari seminggu, terus berlangsung sampai ratusan hari. Pastilah itu aktivitas yang melibatkan emosional. Dan selama kampanye weaning, yang saya lakukan adalah lebih fokus pada Oza. Saya lupa peran suami yang begitu mendukung saya menyusui dengan segala kemampuan tebaiknya selama dua tahun ini. Dan saya amat paham dengan apa yang dirasakannya.
Jadilah, malam itu saya malah jadi termehek-mehek mengetahui betapa menyusui menciptakan ikatan batin yang begitu kuat bukan hanya di antara saya dan Oza sebagai pelakunya, tapi juga pada ayahnya sebagai suporternya. Seorang teman saya meledek dengan bilang “lebay deh.. gue baik-baik dan gampang aja tuh weaningnya “. Remember .. this relationships play out differently for everyone =)
Weaning with love. The end of breastfeeding is a big step not only for two, but for three of Us. Sekali lagi, bagi saya kesuksesan menyapih sama halnya dengan kesuksesan menyusui, bukan hanya kesuksesan berdua, tapi bertiga. Ibu, anak dan ayah. Bukan hanya ibu dan anak yang harus ikhlas melepas momen ini, tapi si ayah juga. Saya tidak tahu sampai kapan saya menyusui Oza, tentunya saat Oza sudah siap secara fisik dan mental. Dan yang pasti, kali ini ‘kampanye weaning’ dilakukan dengan dua fokus, Oza dan ayahnya.
Semua ibu menyusui punya cerita sendiri soal weaning with love anaknya. Ketika saya menuliskan ini, rasanya saya sedang menulis sebuah cerita novel yang belum tahu bagaimana akhir ceritanya. Yang jelas, setelah mengajak ngobrol suami malam itu. Ia tampak lebih berperan aktif membantu saya untuk proses weaning Oza, seperti misalnya menemani Oza tidur saat saya sedang tidak di rumah. Atau ketika suatu hari saya harus hadir workshop dan menginap, ia dengan rela menemani Oza tidur di malam hari dan mengajaknya bermain serta lebih siap menangani unpredictable moment. Karena setelah sukses dengan “masa pengganti ” peluk dan pegang, saat ini Oza sudah mulai ada peningkatan, tidak lagi nyot-nyot siang hari dan semena-mena , tapi hanya jika mau tidur malam. Maka di tahap ini, sampailah saya pada ‘brainwash‘ kalimat kampanye weaning tingkat lanjut. “kalau mau bobo nggak mimi bunda lagi, De.. usap-usap aja ” . Hasilnya? perlu usaha lebih keras lagi sodara-sodara .. haha
Yang jelas, saya menikmati proses Weaning With Love ini sama seperti halnya menikmati proses belajar menyusui. Saya tahu, apa yang saya lakukan ini akan menjadi bahan cerita untuk Oza saat ia besar nanti atau mungkin untuk cucu saya kelak. Dan saya ingin mewariskan sebuah cerita weaning ini jauh dari mitos dan dengan cara-cara yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan paksaan, tapi dengan sukarela dan keikhlasan. Warisan cerita cinta antara saya dan anak saya. Dan, mari kita lihat kelanjutannya beberapa waktu mendatang, di Weaning With Love Part 2 , Ganbatte ne!
“..and children who were nursed long-term tend to be very secure and independent, yet connected to their parents. If you do wean before your child is ready, be sure to do it gradually if you can, and with love .. “ – The Womanly Art of Breastfeeding