Dibandingkan saat saya mulai menyusui, Desember 2004, saat ini (nampaknya) menyusui sudah jauh lebih mudah. Di mana-mana mulai tersebar nursing room, banyak penjual apron dengan berbagai motif dan model yang lucu-lucu, informasi tentang menyusui tersebar seantero dunia maya, media cetak dan televisi pun tidak ketinggalan mengusung berbagai bahasan tentang ASI. Dulu boro-boro beli apron, informasinya saja sangat sedikit. Saat saya mengalami plugged duct, bengkak, dan nyeri, mencari cara penanganannya saja cuma ketemu di website berbahasa Inggris.
Senang rasanya awareness tentang ASI saat ini sudah sangat menyebar. Pasti semua ibu, dengan berbagai informasi yang tersedia sekarang, sudah sukses setidaknya melalui masa ASI Eksklusif (ASIX).
Betulkah?
Ternyata tidak :(.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Program Magister Kedokteran Kerja Departemen Kedokteran Komunitas FKUI, pekerja sektor formal di Jakarta yang memberi ASIX hanya 32%. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, penelitian ini menunjukan hampir 80% pekerja pabrik di Jakarta tidak memberikan ASIX. Padahal responden penelitian ini diantaranya ada pekerja perempuan dari empat kantor BUMN yang harusnya dengan terbitnya SK Bersama Tiga Menteri (MenKes, MeNaKer, dan MeNeg PP) sudah tidak ada halangan lagi bagi mereka untuk memberikan ASI selama mungkin. Tetapi pada kenyataannya, bahkan di kantor BUMN pun, yang namanya fasilitas menyusui yang dapat digunakan untuk memompa dan menyimpan ASI, belum memenuhi syarat. Apalagi program pembinaan laktasi, akses ke konsultan laktasi, dan materi edukasi tentang laktasi.
Untungnya di perkantoran masih bisa difungsikan semacam ruangan darurat yang boleh digunakan untuk menyusui walau kadang bentuknya berupa mushola yang sewaktu-waktu bisa dimasuki oleh karyawan pria juga, dan jam kerja yang lebih fleksibel untuk disela memompa. Sementara di pabrik tidak ada sama sekali ruang yang bisa digunakan untuk memompa dan waktu memompa juga sangat terbatas.
Dari empat BUMN yang disurvei, hanya satu yang memiliki ruang laktasi khusus dan permanen, dengan fasilitas wastafel dan sofa. Lemari pendingin/freezer juga tersedia, tapi saat itu sedang dalam keadaan rusak. Namun kendalanya lokasi ruangan ini cukup jauh. Tiga perkantoran yang lain hanya memiliki ruang darurat yang peruntukannya tidak khusus untuk memompa dan kondisinya tidak permanen. Kebanyakan hanya berupa pojokan kecil dengan penutup gorden yang berfungsi juga sebagai ruang istirahat sementara untuk karyawan.
Melihat kondisi di lingkungan tempat kerja yang seperti itu, 50% pekerja akhirnya memompa ASI di toilet/kamar mandi. Dengan dukungan yang minim seperti ini, tidak heran bila akhirnya setelah kembali masuk kerja sehabis cuti hamil 3 bulan, ASIX terhenti (45% pada bulan ke-4) dan ASI disambung dengan susu formula atau MPASI dini.
Berdasarkan penelitian tersebut, penyebab utama rontoknya motivasi untuk terus memberikan ASIX di kalangan wanita pekerja adalah:
Bagi perusahaan, Ibu yang memberikan ASIX sebenarnya merupakan investasi karena si bayi akan lebih jarang sakit sehingga Ibu bisa lebih fokus bekerja dan produktivitasnya tinggi.
Di tempat kerja Mommies sudah ada fasilitas laktasi? Di atas saya sertakan juga contoh ruang laktasi yang bisa diusahakan di kantor.
Bila belum dan berniat mengajukan proposal ke kantor untuk pengadaan fasilitas dan pembinaan laktasi, berikut kontak yang mungkin bisa membantu:
SENTRA LAKTASI INDONESIA
Jl. Guru No 100 RT 06 RW 02
Lenteng Agung - Jakarta Selatan 12610
Telp/Fax: 021 7807817
Email: sentra.laktasi.indonesia@gmail.com
Twitter:@sentralaktasi
Web: www.selasi.net (saat ini vakum, dalam rekonstruksi menjadi www.selasi.org)
ASOSIASI IBU MENYUSUI INDONESIA (AIMI)
Graha MDS Lt.3, Duta Mas Fatmawati Blok B1/34
Jl. RS Fatmawati No. 39
Jakarta 12150
Telp: (021) 7279 0165
www.aimi-asi.org