Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kesepakatan Pertama
Selama 4 tahun ini jadi Ibu, tiba-tiba saja saya bertanya pada diri sendiri, "Apa saya sudah memberlakukan sistem reward dan punishment dengan benar?"
Kebetulan juga di usia Zahra yang menginjak umur 4 tahun ini saya merasa tantangannya makin besar aja. Masalah dimulai ketika Zahra benar-benar mogok sekolah. Padahal masuknya hanya 3x seminggu dan waktu belajarnya sekitar 2 jam saja. Karena saya berpendapat usia Zahra memang belum siap dan belum wajib untuk sekolah jadi saya biarkan saja di rumah, saya pikir pasti nanti mau sekolah juga. Tapi ternyata saya salah, hampir 3 minggu Zahra benar-benar nggak mau sekolah! Saya berusaha cari tau alasan kenapa dia nggak mau sekolah. Karena saya lihat guru-gurunya baik, teman-temannya sekelas yang hanya 5 orang cenderung sangat bisa dikontrol dan diawasi oleh guru yang bisa 2 sampai 3 orang di satu kelas.
Ketika ditanya, ternyata alasannya "Mau ikut Mama aja ke kantor, Zahra ga mau sekolah". Saya pun berusaha kasih pengertian, kalau Zahra mau kerja ya harus sekolah dulu.. baru bisa kerja seperti Mama. Tapi tetap nggak bisa diterima juga ama Zahra. Padahal 2 bulan lagi Zahra masuk TK dan harus sekolah tiap hari.
Saya putus asa mau ngomong apalagi, akhirnya saya paksa untuk sekolah, dia memang menolak di awal, tapi setelah berbaur di kelas toh dia bisa enjoy dan ngikutin semua kegiatan dengan baik. Saya dan suami sebenarnya nggak ingin anak ke sekolah dengan terpaksa. Tapi kami nggak menemukan cara lain.
Sampai akhirnya kami berdua ikut seminar Psikolog anak, Bapak Toge Aprilianto, atau biasa disebut @sigoloktoge. Dari situ kami menyadari konsekuensi akibat tindakan kami kemarin. Tindakan pemaksaan kepada anak, sama saja mengajari anak bahwa perilaku memaksa itu boleh. Dari situ, kami lalu me-review sistem reward dan punishment yang selama ini kami lakukan. Ternyata, yang kami lakukan selama ini adalah sistem reward dan punishment satu arah. Misalnya memberlakukan time out untuk Zahra kalau dia mulai bertingkah di luar batas kesabaran kami.
Seharusnya reward dan punishment dilakukan atas dasar kesepakatan antara dua pihak, dalam hal ini adalah orang tua dengan anak. Apabila salah satu tidak setuju, sama saja dengan tindakan pemaksaan.
Bersepakat Tentang Reward
Dari seminar Pak Toge kemarin, kami mengenal ternyata reward ada 3 macam :
Kalau membaca kembali artikel saya tentang “Dagang atau Suap?”, Prize bisa disebut dengan berdagang, dan Upah adalah tindakan suap.
Zahra sudah terbiasa dengan pola Prize yang saya berlakukan untuknya. Tapi kali ini saya mencoba untuk membuat kesepakatan besar dengannya. Belakangan ini dia minta dibelikan Baju Cinderella, biasanya saya akan memberikannya dengan cuma-cuma sebagai Gift, tapi kali ini saya membuat Baju Cinderella menjadi Prize yang akan dia dapatkan setelah dia mengumpulkan stiker “Hebat” dari Ibu Guru. Untuk mengumpulkan stiker “Hebat” tentu saja dia harus ke sekolah dan mengerjakan tugas dari Ibu Guru.
Mama : Oke, jadi sepakat ya Zahra kumpulin 10 stiker, nanti bisa beli Baju Cinderella
Zahra : Tapi Mama, Baju Cinderella kan dibelinya pake uang, kok pake stiker?
Mama : *mau ngakak tapi ditahan* “Iya uangnya ada di Mama, tapi Mama mau Zahra kumpulin dulu stiker nya, baru Mama belikan”
Zahra : “7 stiker aja deh Ma”
Mama : “Hmm.. oke, biasanya Zahra sehari dapet 2-3 stiker kan? Boleh, Mama setuju 7 stiker”
Zahra : “Eh tapi 6 stiker aja ya Ma...”
Mama : *dalam hati teriak eaaaaa* “Lho kok tambah dikit, nggak dong, 7 stiker aja ya, oke?”
Zahra : Oke!
Dan terjadilah kesepakatan pertama antara Ibu dan Anak. Ajaibnya, besoknya Zahra dengan sukarela dan sukacita ke sekolah, demi mendapatkan stiker. Alhamdulillah, nggak ada lagi drama-drama nangis ditinggal ke kantor atau disuruh sekolah. Saya juga menyampaikan kesepakatan ini kepada gurunya, dan Ibu Guru bersedia untuk membantu.
Tapi lalu kekhawatiran saya muncul, saya tau anak di bawah 7 tahun baru tau enak dan nggak enak, belum mikir perlu dan nggak perlu. Tapi bagaimana menanamkan pemahaman ke dia sedikit demi sedikit, bahwa dia ke sekolah itu supaya pintar, bukan demi Baju Cinderella. Lalu pertanyaan saya ini dijawab oleh Pak Toge via email, beliau bilang “Buat dia ingin sekolah supaya pintar dan nantinya bisa bekerja seperti Mama dulu”
Lalu saya tanya lagi jadi boleh menanamkan pola dikasih Prize kepada anak? Pak Toge menjawab boleh, asal tujuannya untuk menanamkan kebiasaan berusaha.
Bersepakat Tentang Punishment
Setelah mencoba untuk bersepakat perihal reward, lalu untuk kita juga coba lagi untuk membuat kesepakatan dengan punishment-nya. Atau lebih tepatnya mungkin namanya konsekuensi, bukan hukuman, karena di awal sudah kita sepakati dulu dengan anak.
Kemarin Zahra ngeluarin semua bajunya dari lemari. Saya bilang tapi nanti sebelum waktu tidur Zahra harus kembalikan semua baju ke lemari ya? Kalau tidak dikembalikan Zahra tidak minum susu malam ini. Dia mengangguk setuju dan kami sepakat. Lalu setelah selesai menghambur-hamburkan baju, dia kembalikan semua ke lemari, tentunya bagian melipat dibantu Mama :D Tapi setidaknya dia ikut membantu, itu saja udah cukup buat saya. Karena dia suka sekali minum susu, tentu saja dia membereskan semua bajunya dengan sukarela.
Kata Pak Toge, untuk melakukan kesepakatan kita harus punya ikatan emosi dengan anak. Kita harus tau apa yang menurut anak enak dan nggak enak. Sesuatu yang enak dijadikan sebagai reward, dan yang nggak enak dijadikan sebagai punishment/konsekuensi, tentunya kedua hal itu sudah disepakati bersama di awal.
Secara teori sepertinya mudah untuk dimengerti, tapi pada praktiknya pasti ada kendala. Seperti layaknya mahasiswa, orang tua juga perlu belajar dan ngambil SKS demi SKS untuk mencapai target yang inginkan. Kita berharap kita semua bisa dapet cumlaude ya, Mommies?
Share Article
COMMENTS