Baby School On Trial

Toddler

sazqueen・30 May 2013

detail-thumb

Beberapa tahun belakangan ini, sekolah bayi mulai bermunculan. Sekolah untuk para bayi ini katanya berguna untuk mengasah kemampuan motorik halus, kasar, psiko-sosial, dan meningkatkan intelegensi anak. Bayi-bayi sejak usia 6 bulan atau jika sudah bisa duduk tegak, boleh mulai masuk sekolah. Terus terang, saya agak kurang setuju dengan konsep menyekolahkan bayi. Menurut saya, sebelum memasuki usia formal, tagline hidup anak adalah "Bermain Sambil Belajar" dan nantinya ketika sudah sekolah, switch jadi "Belajar Sambil Bermain". Makanya saya nggak rela kalau anak bayi saya harus langsung ke fase belajar sambil bermain hehehe.

Tapi kan, namanya juga ibu-ibu jaman sekarang (yang gampang latah), ya bok! Gatel gitu rasanya kalau nggak ikut nyobain dan cari tahu sendiri, apa sih sekolah bayi itu. Kalaupun nggak masukin anaknya, at least punya pengetahuan, deh, soal sekolah bayi trendi masa kini. Kebetulan waktu Menik usia 15 bulan, dirinya mendapatkan undangan untuk trial di sebuah sekolah berlabel internasional. Pas banget, kan? Jadi saya bisa tahu, apa saja kegiatan sekolah bayi ini.

Sekolah yang terletak di daerah Hegarmanah, Bandung ini, bahasa pengantarnya Inggris, lanjut dengan Mandarin. Bahasa Indonesia hanya sebagai pemanis saja. Kelas bayi yang diberi label "Little Acorn" dimulai pukul 11.15 hingga 13.15, dibuka dengan perkenalan diri kemudian berdoa bersama. Isi kelasnya hanya 2 bayi, Menik yang berusia 15 bulan, dan satu bayi perempuan usia 18 bulan. Sepi ya? Hehehe. Setelah berdoa, dua guru mengajak bernyanyi. Lagu standar anak-anak dalam bahasa inggris, seperti Wheels On a Bus, If You're Happy Clap Your Hand, Head-Shoulder-Knees-Toes, dan lainnya. Setelah bernyanyi dilanjutkan dengan melihat flash card di sebuah big screen yang dioperasikan dengan PC. Flash card isinya melihat nama hewan, abjad dan angka. Setelah itu dilanjutkan dengan belajar berhitung dengan menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin.Sepanjang ini, Menik cuma observasi saja, memperhatikan, atau sibuk mainin beberapa alat edukasi disekitarnya.

Kegiatan selanjutnya adalah bermain cat, membuat cap kaki. Ini lumayan bikin Menik happy, sih. Tapi kemudian kesal ketika sesi bermain cat harus diselesaikan karena mereka harus kembali belajar mengenal abjad dan angka dalam bahasa Inggris dan Mandarin. Menurut gurunya, selingan dengan bermain cat dapat menghilangkan kebosanan dan anak-anak akan kembali konsentrasi belajar. Memasuki pukul 12.00, anak-anak diberikan istirahat, mereka makan siang dengan menu sup makaroni dan jus stroberi. Makan siang ini sudah disediakan oleh pihak sekolah. Beres makan, Menik dan temannya diajak bermain Choo-Choo Train sambil belajar mengenal hewan (lagi-lagi dalam bahasa Inggris dan Mandarin).

Di sesi ini, Menik mulai bosan, dan tidak mau lepas dari kaki saya. Gurunya kemudian mengajak Menik untuk duduk di meja, membuat muka pinguin dari piring kertas dan cat. melihat cat warna, Menik semangat lagi. Tapi kan main cat ini tidak bisa terus menerus. Beres membuat muka pinguin, Menik kembali menangis kencang ketika dibersihkan tangannya di wastafel. Masih mau main cat sih, kayaknya. Akhirnya untuk menenangkan, saya susui saja, dan Meniknya tidur, dong! Hahaha.. Capek mungkin, ya. Anyway, saya tidak langsung pulang, karena saya masih ingin tahu kegiatan selanjutnya apa. Rupanya di sesi terakhir kelas, masuk native teacher untuk mengajarkan bahasa Mandarin. Setelah belajar bahasa Mandarin, kelas ditutup dengan sesi berdoa. And yes, that's a wrap! Super padat, ya!!

Nah, beberapa waktu kemudian, kebetulan lagi di Jakarta. Saya iseng mengajak Menik masuk karena ada fasilitas walk in trial. Eh, ternyata kondisi ini berbeda dengan  kelas bayi yang saya kunjungi di salah satu mal di Jakarta. Waktu itu sesinya hanya 60 menit, isinya berdoa, bernyanyi, mengejar bola, merobek dan meremas kertas, terakhir menari di depan kaca. Selesai! Dan Menik terlihat senang, tidak rewel karena bosan.

Usai trial, saya berdiskusi dengan suami. Berbagai pertimbangan dan melihat muka polos Menik, rasanya belum tega untuk berpisah dengan Menik dan menyuruhnya belajar sedini mungkin secara formal. Waktu pertama saya memutuskan untuk browsing sekolah bayi, itu karena saya ingin Menik punya teman bermain selain saya di rumah. Jadi bergaul sama bayi-bayi sebayanya, gitu. Eh ternyata, malahan rasa bersalah yang ada. Karena kasihan aja, gitu, bayi saya yang lagi pengin main, 'dipaksa' untuk duduk teratur melakukan berbagai kegiatan. Selain itu salah satu yang jadi pertimbangan utama adalah soal bahasa pengantar. Sekolah bayi yang saya temukan di Bandung ini rata-rata memakai bahasa Inggris sebagai pengantarnya. Sedangkan saya dan suami memakai bahasa Indonesia sehari-hari. Padahal menurut ilmu yang saya dapatkan semasa kuliah, bahasa Ibu adalah bahasa yang utama. Jadi bahasa apa yang dipakai di rumah, itulah yang seharusnya jadi bahasa pengantar saat sekolah. Okelah kalau memang harus pakai bahasa Inggris, tapi kalau Mandarin gimana? Berabe banget urusannya hehehe. Saya harus les juga kayaknya, supaya bisa komunikasi dengan Menik dan supaya pelajaran bahasa Mandarinnya tidak sia-sia.

Sebetulnya semua hal itu sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Kalau saya pribadi, setelah beberapa kali mengikuti trial sekolah bayi, merasa belum butuh sekali memasukkan Menik ke sekolah. Insya Allah, Menik masih bisa saya stimulasi tumbuh kembangnya sendiri. Jadi sekolahnya nanti saja, ya, Menik! :D