Sorry, we couldn't find any article matching ''
Enam Bulan Pertama Jadi Ibu: Banyak Belajar
Mencatat perjalanan menjadi seorang ibu di enam bulan pertama ini merupakan hal yang lumayan emosional buat saya. Mengapa? Karena semua terjadi begitu cepat. Rasanya baru kemarin si bayi 3,4 kg saya timang-timang sambil agak ngeri karena lehernya belum kuat, kok sekarang dia sudah bisa duduk sendiri? Benar-benar terharu, senang karena dia berkembang dengan baik sekaligus sedikit sedih karena harus pelan-pelan berhati besar mengajarinya untuk mandiri.
Berbeda dengan saat hamil dulu yang dipenuhi dengan membaca buku dan website ini itu demi mendapat informasi selengkap-lengkapnya, walau masih sesekali membaca, saat ini saya malah tak ingin terlalu banyak sumber pengetahuan dan lebih mengandalkan insting sebagai ibu dalam membesarkan Shera. Ternyata, tanpa referensi macam-macam pun banyak hal yang saya pelajari dari pengalaman, diantaranya:
*gambar dari sini
Tiap dia menangis, ada 3 cek yang selalu saya lakukan (tentunya berdasarkan pengalaman) yaitu cek popok apakah basah, cek apa dia lapar dan terakhir adalah cek apa dia mengantuk. Tetapi semakin ke sini, Shera yang pada dasarnya jarang menangis memang sudah terbaca kode-kodenya. Jika lapar, ia akan menghisap ibu jarinya dengan kencang dan tak berhenti. Saat popoknya basah, biasanya ia menangis sambil bergerak-gerak tak nyaman. Sementara saat mengantuk biasanya menangis rewel diikuti dengan menyandarkan kepala di dada saya. Codes broken! Hore :D
Sejak melahirkan hingga saat ini, saya mengharuskan diri punya ‘our time’ dengan Shera. Tentunya mudah karena saya menyusuinya secara eksklusif, ya. Tapi apa yang terjadi saat saya sudah kembali bekerja? Walau ‘hanya’ meninggalkan Shera 4 – 5 jam per hari saat siaran, saya juga masih bekerja dari rumah dan pekerjaan saya yang berputar di bidang tulis menulis butuh konsentrasi tinggi. Jadi otomatis ada waktu-waktu Shera hanya bersama pengasuhnya atau jika tak mengganggu, dengan Eyangnya. “Our Time” kami tentu berkurang jauh dibanding tiga bulan pertama, saat semua waktu saya benar-benar masih tercurah buat Shera seorang. Tapi saat ini saya masih mempertahankan tradisi one-on-one bersamanya sesaat sebelum tidur siang dan tidur malam. Menyusui atau pun tidak, saya mengharuskan diri berada bersamanya dan mendengar semua ocehannya atau membacakan buku cerita. Nampaknya, si bayi pun mulai mengerti tradisi ini. Senangnya!
Percayalah, walau sudah lebih dari satu dekade bekerja di bidang kreatif ternyata tak bisa mengalahkan dunia ibu soal memancing kreativitas. Nggak perlu nunggu anak sekolah deh, dari bayi begini aja otak kayak 'diputer' terus untuk inovatif untuk hal-hal ‘kecil’ seperti misalnya menidurkan bayi. Banyak teori yang mengatakan bahwa white noise adalah suara paling mujarab untuk membantu bayi tidur. Namun ini tak berlaku buat Shera. Di tengah keputusasaan, saya cuma bisa menggendongnya sambil mencoba menyanyikan lagu nina bobo. Bukan tidur malah makin ngamuk. Akhirnya saya tak peduli dan menyanyikan lagu-lagu jazz favorit saya. Eh dia langsung tidur. Sejak itu, tiap anaknya mulai cranky di mana pun dan kapan pun, saya tak ragu menggendongnya dan menyanyikan lagu-lagu Johnny Mathis, Ella Fitzgerald dan sebagainya. Cukup sepuluh menit, dengan cara ini Shera akan amat mudah tertidur. Eh tapi tunggu, apa ini tandanya suara saya sedemikian membuat ngantuknya, ya?
Sebagai mahluk yang ‘superior’ secara ukuran tubuh, status dan pengalaman, secara alamiah bawaan saya sebagai orang tua baru adalah ingin anak benar-benar nurut pada saya. Kadang saya memang merasa sedang membuat ‘clone’ diri saya sendiri sampai saya lupa kalau anak pun dikaruniai karakter dan sifat-sifatnya sendiri. Yang membuat saya kagum, semua ini ternyata sudah terlihat di usia yang masih amat dini, jika kita meluangkan waktu untuk memerhatikan secara seksama. Contohnya, anak saya kini sudah punya preferensi tak hanya pada orang, tetapi juga rasa. Saat MPASI dimulai, dia menunjukkan ketidaksukaan pada tomat tapi menunjukkan ketertarikannya pada rockmelon dan pisang. Inilah yang membuat saya sadar bahwa sebagai orang tua, saya harus sensitif dalam ‘mendengarkan’ anak saya walau ia belum bisa bicara.
Baru enam bulan usia Shera dan sejauh itu pun ibunya sudah belajar banyak hal. Kesimpulan yang saya tarik sejauh ini sederhana saja sebenarnya: walau memang baik untuk tahu banyak ilmu dan teori, yang terpenting adalah percaya pada insting sendiri karena tiap anak itu unik. Kalau bukan ibunya sendiri yang mengenalnya luar dalam, lalu siapa lagi?
Rasanya nggak sabar belajar hal-hal baru lagi seiring bertambahnya usia Shera. Memang benar kata orang bijak, jadi orangtua itu kadang lebih banyak belajarnya dibanding mengajarnya!
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS