Hari Minggu kemarin, 21 April 2013, agak unik.
Lazimnya, tanggal itu banyak orang mengingat kembali sepak terjang Raden Ajeng Kartini, perempuan Indonesia yang tercatat sebagai pahlawan nasional. Tanggal 21 April merupakan waktu kelahirannya, sekitar 134 tahun yang lalu; dan kita mengenangnya, sekaligus mengenang perempuan di sekitar kita; ibu kita.
Tapi ada yang tidak biasa hari Minggu kemarin itu. Saya beruntung mendapatkan kesempatan menonton premiere film adaptasi novel 9 Summers 10 Autumns, karya Iwan Setyawan. Penulis menceritakan ulang masa hidupnya sebagai anak sopir angkot (angkutan umum) di Kota Batu, Malang, hingga menjadi direktur di perusahaan ternama, di New York, Amerika Serikat. Perjuangan yang menginspirasi.
*gambar dari sini
Namun, bukan itu yang saya tangkap dari versi filmnya, Minggu kemarin itu. Alih-alih pesan motivasi dan inspirasi untuk mengejar mimpi dan kerja keras, film itu lebih bercerita tentang relasi ayah dan putranya. Pergulatan emosi, dan langkah-langkah taktis seorang lelaki di dalam keluarga. Film yang diputar perdana pada Hari Kartini ini, tidak merayakan peran perempuan; ia justru "bicara" tentang seorang ayah.
Berikut lima catatan dari adegan-adegan Pak Hasyim, ayah Bayek yang diperankan dengan cemerlang oleh Alex Komang:
Menonton film ini, air mata saya menetes. Saya ingat ayah. Ia adalah guru terbaik yang tidak banyak bicara. Cintanya untuk keluarga luar biasa. Dan ia, jauh dari sempurna.
Jika seorang ayah tidak memiliki cinta di dalam hatinya untuk keluarga, lebih banyak bicara ketimbang bekerja, dan (lebih buruk lagi) terlihat sempurna dari luar sana. Apa hal baik yang bisa kita ingat dari seorang ayah?
Bukan hanya hari Minggu kemarin itu yang agak unik, jawaban atas persoalan ini pun agak unik:
Dalam versi terburuk sekalipun, seorang ayah tetap menjadi guru terbaik, dan dengan cara yang magis, tetap mengalirkan pelajaran tentang hidup pada anaknya. Minimal dalam kerangka sikap, “Saya tidak ingin seperti ayah.”
- @bangaip