Di hari Selasa yang sudah tidak terlalu pagi, saya berdiri di depan kitchen sink, mencuci beberapa piring yang habis digunakan memasak. Selagi memperhatikan busa terbasuh air dan meluncur ke lubang pembuangan, pikiran saya meloncat dari satu ke lain hal, sampai lalu hinggap di ingatan tentang ibu. Ibu saya, sang wanita pekerja, yang kini menjalani hari-hari berjudul 'pensiun'.
Segera saja terpikir, what is she doing right now?
Pikiran menjawab, kemungkinan sedang melakukan hal yang sama dengan saya, kalau tidak mencuci piring, ya, membersihkan rumah.
Lalu, pikiran saya mengajak menerawang lebih dalam. Saat ibu seusia saya, dua puluh tahunan, apakah mungkin dia sedang melakukan hal yang sama? Berada di rumah, dan mencuci piring pada suatu siang di hari kerja?
I know she didn't.
Ibu dan saya memiliki kemiripan secara fisik, meski hanya kentara kalau orang menatap kami setelah beberapa saat. Tidak hanya mirip wajah, watak kami juga seringkali sebangun.
Kami sama-sama ekspresif, tidak bisa menyembunyikan emosi yang sedang dirasakan. Beberapa orang menyebutnya "meledak-ledak," karena kalau kami suka sesuatu, kami akan sibuk menyanjungnya. Kalau kami kesal, kami menumpahkannya. :))
Tapi, kami juga tidak mendendam. Entah hal ini saya contoh dari ibu atau bukan, tapi memang begitu rasa kesal atau tidak suka sudah ditumpahkan, kami akan bersikap normal dan tidak bersungut-sungut sampai berminggu-minggu.
Hal lain yang saya harap juga mirip dengan ibu, adalah kecenderungannya doing literally anything for the ones she loves. Saya ingat setelah menjalani operasi caesar, ibu membopong saya yang tertatih-tatih ke kamar mandi, menunggui saya, dan berjongkok memakaikan underwear saya. Saya rikuh tapi juga terharu, karena saya yang sebesar ini masih saja bisa diasuh olehnya.
Tapi, kami dibesarkan di lingkungan dan cara yang berbeda.
Saya besar dengan ayah yang setia mendampingi ibu dan kami anak-anaknya, dan ketika saya kuliah, ayah berkata dia memberikan saya pendidikan setinggi S1 bukan semata agar saya bisa mencari uang. Tapi agar kelak saya bisa mengasuh anak-anak saya dengan pengetahuan dan exposure pendidikan S1.
Unfortunately, my mom didn't have that kind of blessing.
Dia dibesarkan oleh ibu dan neneknya yang juga mandiri dan pemberani. Di usia muda, ibu memilih merantau, worked her way to the top, dan bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang nyaman bagi keluarganya.
Kami juga hidup di masa yang berbeda.
Ibu saya bekerja dari pukul 6 sampai 3 sore. Meskipun selalu ada asisten rumah tangga, tapi setiap hari ibu memandikan kami, makan malam bersama kami, dan menemani kami belajar.
Meski bekerja, ibu mengenal hampir semua teman dekat kami. Jika ada yang menelpon ke rumah, dia selalu menyempatkan diri 'sok akrab' (padahal maksudnya interogasi terselubung). Dulu saya sebal sekali kalau ibu melakukan ini. Tapi sekarang, saya mengerti alasannya.
Kini, saya merasa waktu yang saya berikan untuk keluarga sangat timpang dibandingkan dengan kewajiban saya sebagai pekerja. Saya tidak bisa memandikan anak saya di sore hari, makan malam bersamapun sesekali saja. Bagaimana saya bisa membantunya belajar kalau begitu sampai di rumah saya sudah ingin buru-buru bertemu kasur? Tentu ada hal yang harus diseimbangkan, baik di segi ekspektasi, maupun peran.
Saya juga tak akan bisa sok akrab di telpon dengan teman-teman anak saya kelak - kesempatan istimewa yang ibu saya miliki. Karena, who still makes phone calls nowadays? Apalagi ke telepon rumah. Selain telemarketer, dan pemberi tawaran pekerjaan, mungkin, hehe.
Kembali ke saat ini, pada akhirnya kami mengambil pilihan yang berbeda.
Ibu berstatus working mom sampai akhir masa kerjanya. Sementara saya memilih mundur dari pekerjaan setelah delapan tahun berstatus pegawai.
Being the kind of mom that she is, my mom was worried when I told her I wanted to quit my job. Adik saya bahkan berkata bahwa ibu tidak bisa tidur selama berhari-hari setelah saya sampaikan rencana itu.
Ketika bertemu langsung, ibu juga kerap curhat tentang kekhawatirannya kepada saya. Ada hal-hal realistis yang memang menjadi reminder dan perlu saya upayakan, tapi ada juga hal-hal yang menurut saya kurang rasional hingga membuat saya defensif. Awalnya saya jadi agak segan ngobrol dengan ibu. Tapi setelah beberapa saat, saya sadari bahwa kekhawatiran itu adalah wujud cintanya.
To understand her point of view is to know her history and her side of the story.
Pilihan untuk tidak bekerja tidak pernah terlintas di benak ibu saat dia seusia saya.
Kami dibesarkan dengan cara yang berbeda. Kami tumbuh di masa yang berbeda. Begitupun tantangan yang kami hadapi. Dulu dunia hanya 'selebar daun kelor'. Kini, dunia tanpa batas terbentang untuk anak-anak kami. Dulu, bahasa asing baru diajarkan di ujung tingkat sekolah dasar. Kini, anak-anak kami dihadapkan pada kebutuhan untuk membaur dan unggul di level internasional (sekalipun hanya dalam hal bahasa).
Setelah sekian bulan bergelut dengan kekhawatiran ibu sekaligus kekalutan diri sendiri, di sinilah saya, mencuci piring pada suatu siang di hari kerja. :D
Saya memang sudah berada di rumah, tapi pe-er saya masih menumpuk, terutama dalam hal mendidik anak.
Tapi, yang lebih membuat saya bersyukur dan lebih 'kokoh' adalah dukungan ibu yang mau memahami pilihan saya, yang jauh berbeda dengannya itu. Pada suatu pertemuan, hati saya hangat ketika mendengar ibu berkata, "Udahlah kak, kamu di rumah aja ngurus Bumy."
Wujud cintanya yang berupa pengertian, dan juga kekhawatiran tak berkesudahan.
*gambar dari sini
My mom and I, we are so different, yet also very much alike.
Untuk pilihan yang berbeda ini, saya harap kelak bisa mencontoh rasa pengertiannya yang begitu besar terhadap pilihan anak-anaknya.
“Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka kelak akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu” - Umar bin Khattab (keterangan sumber kutipan di sini).