Sejak mengetahui kalau saya hamil, banyak sekali hal yang saya cari tahu melalui internet, salah satu pengetahuan baru saya adalah si CLODI alias cloth diapers. Saya langsung tertarik karena saya anaknya go green banget! HAHAHAHAHA. Idih, ngaku-ngaku, tapi beneran, deh! Dari kecil, keluarga saya menanamkan banyak hal soal mencintai bumi dan semesta alam. Tidak ada cerita buang sampah sembarangan, kalau tidak menemukan tempat sampah, ya, simpan di tas atau saku celana. Mesin mobil harus dirawat dengan baik, matikan lampu jika tidak digunakan, dan banyak lagi aturan penggunaan barang elektronik dan air yang intinya adalah menerapkan green living. Lagipula saya tidak terlalu mengenal popok sekali pakai (pospak) dengan baik, karena di keluarga besar kami, semua bayi hanya memakai pospak ketika keluar rumah. Sisanya selalu pakai celana kain biasa. Jadi pengalaman dipipisin bayi dan ngepel lantai karena pipis bayi sudah sangat biasa. Ternyata inilah yang membuat bayi-bayi di keluarga kami, termasuk saya dan adik, sudah lulus toilet training rata-rata pada usia 13-14 bulan. Karena mau tidak mau orang tua kami harus rajin mencatat waktu BAK anak-anaknya agar tidak capek ngepel lantai dan ganti celana yang basah :D
Jadilah pas tahu soal clodi, saya langsung semangat browsing. Cari tahu soal tipe dan harga. Pas tahu harganya, saya lapor dong ke suami, dan alhamdulillah disambut dengan baik, dengan catatan belinya nyicil :D Jadi sejak hamil 4 bulan, saya nyicil beli clodi 1 atau 2 buah per bulan, dan kalau ada yang tanya mau kado apa, saya bilang aja, kalau clodi (apalagi merk Blueberry atau Rumparooz) boleh banget dijadiin kado (hahaha, nggak tahu malu!) In the end of my third trimester, saya sudah punya 10 clodi campuran lokal dan impor. Tambahan di lemari baju Menik, sudah ada 3 lusin popok kain biasa, 6 buah celana pendek bayi, dan nol stok pospak. Entahlah, saya seperti punya keyakinan kalau saya bisa bertahan tanpa pospak seperti ibu dan semua tante saya.
Long story short, tanggal 17 Oktober 2011, Menik lahir. Ternyata karena RSIA tempat saya melahirkan punya aturan yang ketat soal ASI, bayi saya tidak dipakaikan pospak. Karena penggunaan popok kain biasa akan membantu perhitungan frekuensi BAK si newborn yang saat itu minimal 6x dalam 24 jam. Ini untuk mengukur kecukupan ASI. Selama di RS, suster-suster jaga itu terus-terusan bilang, "jangan lupa dicek popoknya 2 jam sekali ya, bu. Hitung popoknya sudah berapa yang basah, jadi ketahuan cukup ASI atau tidak". Sepulang dari RS, kegiatan utama saya adalah nyusuin, ganti popok, dan menggendong, setiaaappp hari! Kalau suami, kerjaannya adalah mencuci seember popok dan kain alas yang sudah menunggu di pojokan kamar mandi. Paginya, jika jemuran sudah kering, saya menyetrika. Seru banget, ya, ternyata punya newborn yang kerjaannya pipis melulu. Haha!
Seminggu kemudian, Menik dan saya harus kontrol ke RS. Jadi untuk pertama kalinya, Menik memakai clodi yang ukuran newborn. Tapi ternyata saya masih kurang pengetahuan, saya tidak tahu kalau ke luar rumah sama bayi itu, at least bawa tiga clodi dengan enam inserts, wet bag untuk clodi dan ingat, ya, maksimal 6 jam diluar rumah dengan persediaan seperti tadi. Saya pergi melenggang ke RS tanpa clodi, tapi saya bawa baju ganti dan bedong, sih. Hasilnya, saya terpaksa belanja kain muslin segi empat dan peniti besar di sebuah toko baju anak yang ada di RSIA saya, untuk mengganti clodi Menik yang sudah basah. Iya, Menik pakai kain dipenitiin gitu pas di RS, dan semua orang memandang heran :p
Seiring waktu, saya belajar, dong, soal clodi ini. Jadi saya sudah biasa ke mal dengan Menik tanpa pospak. Satu tambahan bawaan adalah baju untuk saya, untuk jaga-jaga jika Menik gumoh atau insert geser dan ada insiden diompolin.
Setelah tiga bulan terbiasa dengan clodi, popok kain biasa (FYI, popoknya Menik jahit sendiri, nih. Karena menurut saya potongan popok kain yang beli di toko-toko bayi di ITC itu ganggu, kelamin si anak bisa terlihat kalau terlipat), dan celana pendek bayi, tibalah long trip pertama Menik, yaitu ke Bandung. Inilah awal saya kenalan sama pospak. Karena mau naik mobil menuju Bandung, agar tidak repot di tengah jalan, saya memutuskan untuk membeli pospak ukuran kecil. Tapiiiii, ini rupanya awal saya keracunan pospak. Praktis, ya, bok! Pasang, lepas, buang. Akhirnya saya mulai memakai pospak jika bepergian dan malam hari. Clodi hanya dipakai jika dirumah dari pagi hingga sebelum tidur. Rencana toilet training ala keluarga saya, bubar jalan, dan hinggal usia 17 bulan saat ini, Menik belum mulai toilet training, hehe.
Urusan popok ini memang dilematis, ya. Di satu pihak, kita semua pasti ingin menjaga bumi demi kelangsungan hidup anak-anak, kan? Tapi di pihak lain, kepraktisan si pospak dengan potensi menumpuk sampah sulit diurai ini, sangat membantu siklus hidup si ibu dalam mengurus anak. Harus diakui juga, penggunaan popok kain ini sungguh membantu pengiritan ketika belanja bulanan. Keuntungan lainnya adalah Menik tidak pernah kena diaper rash sama sekali. Kemarin juga sempat demam seminggu, saya sudah khawatir soal ISK (Infeksi Saluran Kencing), tapi ternyata tidak, karena saya yakin sekali, area vital Menik selalu dalam keadaan kering.
Konon kabarnya selain bisa menghemat biaya pembelian pospak, kita juga bisa mengurangi tingginya angka sampah limbah popok sekali pakai yang setiap tahunnya mencapai 900 kg sampah/ bayi! Tenang, saya bukan clodi nazi :)) Kan masih pakai pospak kalau pergi keluar rumah dan malam hari, tapi setidaknya saya ingin mengurangi sampah di bumi ini. Let's save our earth, let's reused and reduced!