Sorry, we couldn't find any article matching ''
(Sok) Mesra Bukan Dosa
Di kantor, saya bekerja bersama seorang rekan yang senior bukan hanya dari segi jabatan, tapi juga usia. Sebut saja namanya Pak B. Pak B sudah menjadi rekan saya selama 3 tahun. Meskipun dia tergolong atasan di unit kami, tapi sikapnya yang friendly dan sangat peduli terhadap rekan-rekannya menciptakan hubungan pertemanan yang akrab dan tidak kaku. Kalau kehidupan kami di kantor dijadikan serial televisi, Pak B adalah tokoh "mentor" yang akan didatangi rekan-rekannya saat sedang gundah atau butuh nasehat.
Sebagian besar anggota unit kerja kami seringkali makan siang bersama-sama, termasuk Pak B, dan saya. Saya perhatikan, setiap kali jam makan siang tiba, istri Pak B akan menelpon. Maka kalau handphone Pak B sudah berdering, saya dan rekan-rekan sibuk meledeknya, "Ayo yang diabsen, yang diabsen!"
Suatu kali, Pak B bertanya kepada saya, "Memangnya kamu nggak pernah ngingetin suami kamu makan, ya?" yang saya jawab sambil tertawa, lalu berkata, "Buat apa diingetin, Pak? Sudah gede kok bisa lupa makan."
Pak B cuma tersenyum dan bilang, "Bukan perlu diingetin atau nggak. Tapi nunjukin perhatiannya itu, lho."
Kali lain, suami saya menelpon ketika Pak B sedang membuka laptop di dekat saya. Percakapan kami, seperti biasa, singkat dan seperlunya saja. "O, ya, nanti kamu yang duluan, ya. Aku tunggu di X. Oke, bye."
Pak B lantas melihat ke arah saya dengan tampang heran, dan berkata, "Ngomong sama suami, kok, nggak ada mesra-mesranya?"
Saya menjawab, "Plis deh, pak, nikah udah segini tahun masih mesra-mesraan. Kaya abege aja!"
Pada suatu waktu, saya berdiskusi (atau lebih tepatnya curhat) pada Pak B tentang pandangan saya seputar parenting. Seperti yang saya katakan tadi, Pak B sudah dianggap mentor oleh kami rekan-rekannya. Bukan cuma dalam urusan pekerjaan, tapi juga urusan pribadi. Percakapan kami kurang lebih seperti ini,
Saya (S): "Saya suka heran, deh, Pak, sama mereka yang nambah anak dengan alasan 'Nanti sepi di rumah kalau nggak ada lagi yang diurusin.' Kenapa nggak dilihat justru sebagai kesempatan, ya."
Pak B (PB): "Kesempatan ngapain?"
S: "Kesempatan untuk berduaan lagi sama suami, pacaran lagi! 'Kan udah bertahun-tahun disibukkan ngurus anak. Justru ketika anak sudah gede, saatnya fokus ke hubungan suami-istri lagi, dong. Prioritasin pasangan, mendewasakan hubungan, dan lain sebagainya."
PB: "Nah, makanya dimulai dari sekarang, dong, maintenance hubungannya. Jangan cuek-cuek sama suami. Tetap mesra kaya masih pacaran. Suatu hari nanti, kan, tinggal berduaan doang."
Jleb! Saya terdiam mendengar kata-kata Pak B. Ternyata itu 'pesan' yang dia coba berikan selama ini lewat pertanyaan-pertanyaannya kepada saya. Hubungan suami-istri memang perlu dijaga ke-sok mesra-annya (hehehe), dan dihindarkan sebisa mungkin dari nuansa "sudah terbiasa" dan "sudah seharusnya."
Ah, I think we need to catch up where we left it. Sebelum terlambat.
Akhirnya saya berkata pada Pak B, "Bener juga, ya, Pak." Dan Pak B cuma terkekeh geli.
Share Article
COMMENTS