Sorry, we couldn't find any article matching ''
Dagang Atau Suap?
Setelah punya anak kadang saya secara tidak langsung menerapkan apa yang sudah dilakukan orang tua saya sejak masih kecil. Beneran secara gak langsung, lho, gak sengaja gitu. Terus saya ingat-ingat lagi kenapa saya begini, setelah dipikir-pikir dulu soalnya saya digituin sama Abah (Ayah, red) dan Mama, dan secara tidak langsung juga tradisi ini didapat Abah dan Mama dari Kakek dan Nenek saya.
Masih teringat dari kecil saya tidak pernah mendapatkan sesuatu secara mudah. Contoh kecil saja, misalnya waktu SD saya mau beli komik. Saya harus “bekerja” dulu cabutin rambut putih Abah sebanyak 30 helai, jadi saya rebutan rambut putih sama adik saya yang beda cuma 3 tahun, karena waktu itu rambut putih Abah jumlahnya masih enggak terlalu banyak. Atau kalau rambut putihnya sudah benar-benar habis, kami harus memijat Abah selama 30 menit, kalau bisa memijat selama 1 jam, kami dapat 2 komik. Jadi polanya begitu terus, bahkan sampai saya mau kuliah. Kalau saya tidak lulus ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, saya harus nganggur dulu satu tahun untuk ikut ujian lagi, kalau tidak lulus lagi baru saya dibiayai untuk masuk Perguruan Tinggi Swasta. Buat saya yang waktu itu pengen banget langsung kuliah, saya jadi berusaha mati-matian belajar, untunglah saya bisa lulus ujian dan kuliah tahun itu juga.
Keharusan “berusaha” untuk mendapatkan “reward” ini secara tidak sengaja juga saya terapkan ke Zahra. Karena saya ingin Zahra mempunyai kesanggupan untuk berjuang. Dia harus tahu apa yang dia inginkan, dan untuk mendapatkan itu dia harus sanggup melakukan sesuatu, bahkan hal-hal yang mungkin gak mengenakkan buat dia. Menurut Psikolog anak Pak Toge Aprilianto, kesiapan untuk kesanggupan berjuang ini dimulai dari usia 4 - 5 tahun, saat anak juga sudah memiliki kesanggupan untuk kecewa.
Di umurnya yang hampir 4 tahun ini, dia sudah bisa diajak bicara, dikasih tau dan bahkan bisa negosiasi. Saya jadi teringat teman pernah menuliskan konsep “berdagang” pada Anak ala Pak Toge di blog-nya. Saya jadi berpikir apa yang diterapkan Abah kepada saya itu ternyata konsep “berdagang”. Lalu kalau saya mau menerapkannya kepada Zahra, bagaimana membedakannya dengan “suap”?
Berdagang : Sebut apa yang dia inginkan, baru kemudian sebut syarat yang harus dilakukan.
Contoh Berdagang : " Zahra boleh minum Susu, tapi makan nasi dulu ya”
Suap : Sebut apa yang kita syaratkan, kemudian sebutkan apa yang akan dia dapatkan.
Contoh Suap : "Kalo Zahra udah makan siang, nanti Mama kasih Susu”
Loh, sama saja, kan? Kesannya sepele dan enggak ada bedanya, ya. Tapi secara psikologis, artinya beda banget, lho, ternyata. Kalo kita terbiasa terbalik melakukan Suap, maka dia akan selalu bertanya gini : Kalo aku udah makan siang, aku akan dapat apa? Nah lho..!
Karena terbiasa 'di-dagangin', efeknya sekarang tiap mau sesuatu Zahra selalu nanya dulu sama saya. Misalnya kemarin dia mau permen Lollypop, walaupun sudah makan, tapi dia tetep nanya.
Zahra : Mama, boleh pelmen (permen, red) ga?
Mama : Boleh
Zahra : Tapi?
Mama : Tapi apa?
Zahra : Tapi apa duwu? (dulu, red)
Mama : Gak ada tapi, kan Zahra udah makan
Zahra : Ooooh gitu
Hahaha.. anak umur hampir 4 tahun kadang suka melontarkan kata-kata yang suka bikin kita geli, ya. Mudah-mudahan selama ini saya sudah melakukan “berdagang” yang benar, bukan “suap”.
Saya setuju sekali sebagai orangtua kita bertanggung jawab untuk memastikan kita bisa berfungsi sebagai fasilitas belajar anak dengan baik. Dengan menanamkan kebiasaan berusaha, dapat membangun daya juang anak, anak pun terbiasa bahwa yang dia peroleh adalah “hasil usaha”. Seperti yang dilakukan Abah kepada saya, sehingga saya merasa memiliki kesanggupan (mampu dan mau) menghadapi kesulitan dan menuntaskan apa yang sudah dimulai. Semoga saya mampu juga meneruskannya kepada Zahra.
*thumbnail dari sini
Share Article
COMMENTS