Selingkuh Teks di Era SocMed

Featured

retrojunkies・08 Feb 2013

detail-thumb

Seorang teman, sebut saja namanya Bunga, baru-baru ini menelepon dengan suara tercekat sisa tangisan. Saya yang kebingungan dengan sabar membujukinya dan mendengarkan ceritanya sampai selesai. Berikut cerita Bunga yang dengan susah payah akhirnya bisa diselesaikan selama tiga jam bertelepon dengan interval lima menit karena haus dan perlu minum:

Baru-baru ini Bunga menemukan bahwa suaminya menjalin hubungan mesra melalui teks dengan perempuan lain. Bunga tidak sengaja membaca pertukaran BBM di antara keduanya ketika sedang mengambilkan smartphone suaminya tersebut. Biasanya dia tidak pernah sok cek isi HP, email, Twitter, Facebook suami karena sudah saling percaya. Namun kali ini, tidak tahu digerakkan oleh kekuatan apa,  dia iseng mengetik password smartphone tersebut dan langsung terbuka window chat yang berisi percakapan antara suaminya dengan perempuan bernama “P”. Bunga awalnya sama sekali tidak menaruh rasa curiga, namun sambil terburu-buru hendak memberikan gadget tersebut kepada suami yang menunggu di ruangan sebelah, terbaca olehnya kata-kata “Honey”, “Aku baru sampai”, “Hujan di sini”, dan “Kangen”.

Seperti tersengat sesuatu yang berkekuatan sangat besar, Bunga tercenung, rasa dingin mulai menjalari sekujur tubuhnya dan dengan mata kabur, perlahan ia melanjutkan membaca teks tersebut. Baru setengah terbaca, suaminya sudah menghampiri dan mereka saling berpandangan. Lidah Bunga terasa kelu namun akhirnya sedetik kemudian ia berhasil mengeluarkan jeritan dan bertanya kepada suaminya: Ada apa ini? Ini siapa? Kenapa dia memanggilmu “Honey” Kenapa kamu harus tahu dia ada di mana? Kenapa harus kangen?

Mereka lalu terlibat aksi saling rebut gadget tersebut. Bunga penasaran sekali ingin melihat semuanya, sementara suaminya dengan mata yang memancarkan sinar ketakutan yang sangat, berusaha mempertahankan supaya alat tersebut tidak jatuh ke tangan istrinya dengan ancaman kehancuran rumah tangga tepat di hadapan mereka.

Malam itu mereka bertengkar hebat dan berakhir damai. Bunga pikir hanya sekedar hiburan sesaat dan mereka berdua sepakat untuk melupakannya saja karena, toh, hubungan antara mereka sebagai suami-istri juga terasa baik-baik saja selama ini. Bunga meminta semua password suaminya: email, Facebook, Twitter, semua.

*gambar dari sini

Namun keesokan paginya, Bunga berhasil merebut gadget tersebut dari tangan sang suami dan membaca pertukaran teks melalui SMS di antara sang suami dengan perempuan yang sama. Kali ini dalam episode berjanji untuk bertemu di sebuah tempat dalam rangkaian teks yang panjang berbelit, mulai dari si perempuan berada di toilet dan bersiap-siap, penentuan lokasi pertemuan, sampai soal penjemputannya. Semua dipenuhi kata-kata “Yang”, “Love” (!), dan “Peluk”.

Bunga juga berhasil menemukan jejak kemesraan mereka melalui teks lewat rangkaian DM Twitter dan timeline Twitter yang terjadi di antara mereka berdua. Sebagian sudah dihapus namun masih ada sisa yang terbaca oleh Google.

Dari rangkaian DM Twitter tersebut terbaca tren peningkatan hubungan mereka berdua, mulai dari sekedar sapa apa kabar, saling bertukar PIN BB, Skype, sampai akhirnya melanggar suatu titik yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dua orang yang sudah terikat janji perkawinan dengan pasangan masing-masing, walaupun hanya melalui teks.

Bunga dan suaminya terlibat pertengkaran yang hebat sekali lagi, kali ini Bunga menjadi sangat gesit dan kekuatannya seolah bertambah ratusan kali lipat, kemampuan otaknya dalam saat genting itu juga seakan bertambah hingga jauh dari ukuran normal. Bunga berhasil dalam waktu singkat mencari fitur di smartphone tersebut (biasanya dia tak peduli soal beginian) yang memungkinkannya mengirim email beberapa SMS dari perempuan itu ke gadget miliknya dan meng-copy beberapa DM Twitter yang isinya bisa membuat hati wanita di manapun berdarah, luka parah karena kekejaman cinta.

Namun, dalam keadaan superkacau seperti itu, Bunga berhasil menenangkan diri, berkepala dingin dan mulai melakukan tindakan-tindakan yang menurut dia diperlukan untuk dilakukan secepatnya:

  • Mengirim teks melalui email dan SMS kepada perempuan tersebut yang intinya melarang mereka berhubungan lagi:
  • “Saya sempat baca percakapan BBM di antara kamu dan suami saya. Saya kurang suka dengan apa yang saya baca, boleh minta tolong untuk tidak usah berhubungan lagi? Saya sebagai istrinya terganggu membaca BBM tersebut dan sudah meminta suami saya untuk menghapus semua nomer kamu dari BBM, Whatsapp dan blok Twitter sekalian.

    Saya juga kurang paham apa yang kalian inginkan dengan hal tersebut yang bisa mengganggu keutuhan 2 buah rumah tangga sekaligus,  tapi saya tidak perlu tahu lebih jauh dari pada lebih sakit hati lagi.”

  • Memberitahu suami perempuan tersebut dengan rangkaian teks melalui DM Twitter bahwa dia kurang suka membaca isi yang tercantum dalam pertukaran teks yang terjadi di antara suaminya dan istri lelaki itu.
  • Mengompilasi semua teks mesra dari SMS dan DM Twitter yang berhasil di-copy, lalu dikirimkannya kembali kepada perempuan tersebut melalui e-mail dengan kata pengantar: Terima kasih, ya, untuk semua ini, saya kirimkan kembali kepadamu untuk kenang-kenangan.
  • Mengadakan tindakan restorasi hubungan dengan sang suami, mereka memutuskan untuk pergi ke luar kota, quick getaway, mengadakan bulan madu dadakan, bercakap panjang lebar siang-malam untuk mengatasi semua ini.
  • Semua tindakan Bunga lakukan dengan hati-hati, japri dan tidak dengan mengganti statusnya di Twitter dengan kata-kata vulgar, kasar, tidak sopan yang menyatakan kebencian  atas peristiwa selingkuh teks tersebut (walaupun jika mengikuti kata hatinya ia ingin sekali meneriakkan kata “bitch” dan sumpah serapah lainnya). Statusnya terjaga hanya di batas galau saja, dan semua orang di Twitter memang galau, kan? :D

    Kejadian ini berlangsung relatif cepat, mulai dari terungkap sampai penyelesaiannya berlangsung sekitar seminggu saja. Namun terasa seperti ribuan tahun di dalam diri Bunga yang setengah mati rasa.

    Dia akhirnya, hari ini, merasa perlu untuk mengungkapkan semua kepada saya teman dekatnya, menumpahkan segala emosi yang ada.

    Kalau kisah Bunga berawal dari Twitter, Kembang mengalami sedikit gangguan atas hubungannya dengan sang suami melalui Facebook. Dalam beberapa bulan terakhir, Kembang mengamati bahwa ada seorang perempuan kawan lama suaminya yang selalu meninggalkan pesan-pesan cukup intim seperti ”Sudah makan belum?” dan lainnya di wall Facebook. Kembang memerhatikan bahwa suaminya juga membalas di jam-jam yang orang seharusnya sudah tidur, sekitar lewat tengah malam.

    Singkatnya, Kembang protes kepada suaminya, dan bahkan ia nekat posting pesan di wall perempuan tersebut untuk menyatakan ketidaksukaannya.

    Walaupun sama-sama terjadi di social media, berbeda dengan kisah Bunga yang berawal di timeline Twitter, berlanjut di DM lalu bertukar PIN BB, sehingga tidak langsung terdeteksi pasangan keduanya, kisah Kembang terjadi di wall Facebook, yang banyak tidak disadari oleh banyak pengguna Facebook bahwa wall tersebut layaknya public space, tanah lapang luas yang jika kita mem-posting sesuatu di wall tersebut bagaikan kita berteriak-teriak memakai pengeras suara seperti tukang jual obat. Semua orang “dengar”, semua orang tertarik. Kita memosisikan diri di pusat perhatian banyak orang karena yang “mendengarkan suara” kita di wall tersebut tidak hanya orang yang bersangkutan tapi juga segenap friends Facebook-nya. Jika ada orang yang berkomentar di “teriakan” kita tersebut, orang tersebut beserta para pihak terkait akan terus mendapatkan update dari komentar “teriakan” tersebut.

    Kisah Kembang berakhir dengan suaminya meng-unfriend dirinya di Facebook dan Kembang menjadi sangat frustrasi karenanya.

    Kisah Bunga dan Kembang bisa saja terjadi pada orang terdekat kita atau bahkan pada kita sendiri. Kedekatan yang terbangun melalui limpahan teks gradual di social media menimbulkan rasa suka yang (tadinya) semu menjadi riil, nyata, lalu membentuk sebuah hubungan yang mungkin pada jaman orang tua kita belum pernah terbayangkan dan kita, ya, kita lah yang harus pertama kali menghadapinya, dan memikirkan bagaimana pencegahannya kelak di kemudian hari, lalu memberi peringatan kepada anak-anak kita.

    Betapa godaan teks bisa sama berbahayanya (atau malah lebih?) dengan rayuan langsung melalui lisan telepon atau percakapan (tatap muka) langsung. Rangkaian teks yang bisa dibaca berulang-ulang menjadi lebih berbahaya karena bisa menanamkan memori kemesraan dengan jauh lebih dalam dan mengakar kuat dibanding sampaian lisan.

    Jika hanya diucapkan secara lisan, kita tidak mungkin akan mengulangnya dengan harfiah kecuali sengaja membawa alat perekam saat kejadian ucapan.

    Kesadaran dalam menjaga sopan santun dalam ber-social media juga termasuk di dalam menjaga hubungan baik penuh kemesraan dengan pasangan. Sejalan dengan nasihat Dr. Phil yang menyatakan bahwa ukuran selingkuh/tidaknya bisa dilihat dari apakah saat kita melakukannya dengan orang lain, berupa sebentuk obrolan atau tindak tanduk, jika pasangan kita ada di sebelah kita persis apakah dia akan marah/tidak, nyaman/tidak melihat/mendengarnya. Begitu pula dengan pertukaran teks, apakah sekiranya pasangan kita akan marah jika membacanya? Jika ya, artinya sudah melewati batas dan perlu dipikirkan baik-baik jauh ke depan. Apalagi teks di social media seperti timeline Twitter dan wall Facebook yang bisa dilihat followers dan friends kita.

    Walau sudah dijaga sedemikian rapi sekalipun, tumpahan teks mesra penuh ketidakmampuan dalam menahan diri melalui reply Twitter akan terbaca oleh followers yang follow kedua insan tersebut, atau kalau melalui wall Facebook, akan terbaca friends dari kedua belah pihak. Teks reply yang tertera di timeline Twitter walau segera dihapus akan bertengger sementara di timeline umum para followers kedua belah pihak, cukup untuk memuaskan nafsu kepo semua orang.

    Saya pernah melihat aksi berbalas reply antara dua orang yang sudah memiliki pasangan resmi yang cukup intens dan menimbulkan pertanyaan karena kadar kemesraannya lebih dari sekedar teman biasa. Ketika membacanya spontan yang terlintas dalam pikiran saya adalah menjeritkan, “Hey, get a room, guys!” It was so horny and sweaty *sigh* Ternyata selang kemudian, seorang memberi tahu bahwa mereka berdua memang terlibat perselingkuhan fisik, tidak hanya sebatas teks semata.

    Sifat teks yang sensitif akan memberi kesan lebih dalam bagi orang yang membacanya, dan dalam social media perlu diingat baik-baik, kesan tersebut akan tertangkap juga dalam diri orang lain yang tidak terlibat ketika membacanya. Sungguh ternyata sangat mudah membaca emosi orang dengan hanya melalui 140 karakter saja. Sadarilah.

    Dalam berhubungan melalui teks, sebaiknya kita semua menyadari bahwa layaknya hubungan lisan, juga ada tata cara dan sopan santunnya perlu dijaga seperti layaknya bertemu dalam hubungan langsung dan lisan. Bayangkan, pasangan resmi ada di sebelah ketika kita menuliskannya, apa kira-kira reaksinya jika kita menuliskan hal tersebut kepada lawan jenis: senang, marah, kesal? Itu saja dijadikan pegangan. Ketika sudah memiliki pasangan resmi, penulisan teks kepada lawan jenis di social media hendaknya dibuat dengan pemikiran matang dan jauh ke depan. Apa dampaknya teks (mesra) tersebut bagi pasangan kita dan anak-anak kita kelak dengan mencermati sistem sirkulasi pesan teks di social media yang sedemikian. Bayangkan saja kita ada di tengah public space seperti keramaian pasar, ngapain juga teriak-teriak serangkaian perkataan mesra ke lawan jenis? Begitulah yang terjadi jika kita posting reply atau status di timeline Twitter atau wall Facebook, “teriak-teriak” penuh kemesraan dan semua orang jadi tahu. Satu hal penting yang perlu diingat, semua yang sudah tertulis di internet tidak akan terhapus, masih ada selamanya nun jauh di ingatan sebuah server dan selalu dapat di”ambil” lagi di kemudian hari (termasuk deleted tweets).

    Lalu bagaimana dengan kisah Bunga dengan kiat-kiatnya dalam memperbaiki hubungan dengan suami secara kilat? Kepo enuf? Bersambung di tulisan lain, ya!