Membuat kue atau baking adalah salah satu hobi saya dari kecil. Dan saya sudah sering mengajak Kana ikut serta sejak dia sudah menunjukkan minat untuk ikut membuat kue. Setiap kali saya dan Kana membuat kue, biasanya suami saya hanya menjadi penonton saja karena memang dia jarang sekali saya biarkan ikut serta.
Membuat kue bagi saya adalah termasuk suatu hal yang sakral, jadi langkah-langkahnya pun biasanya di kerjakan dengan khusyuk dan dengan ritme tertentu, serta harus sepenuh hati. Oleh karena itu, pada awalnya untuk bisa membiarkan Kana ikut serta sempat membuat saya gemas.
Seiring perkembangan Kana, sekarang dia mulai lebih sering meminta saya untuk membuat kue bersamanya. Biasanya kami membuat cupcake atau cookies kesukaannya. Namun belakangan, tiba-tiba suami saya meminta saya untuk membiarkannya membuat kue bersama Kana. Awalnya saya sempat pesimis tetapi akhirnya saya kabulkan.
Ketika libur Natal kemarin, suami saya meminta saya menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue. Dan karena saya takut tergoda untuk ambil alih semua prosesnya, maka saya hanya menyiapkan ala kadarnya. Bahan-bahan saya siapkan, tetapi harus di ukur sendiri dengan peralatan yang sudah saya siapkan. Resep juga hanya saya cetak, lalu saya tempel di papan dekat dapur.
Lalu apa yang terjadi?
Berantakan? Pasti. Heboh? Pasti. Saya gemas? Amat pasti. Tapi di balik itu semua, saya menemukan sesuatu hal lain. Melihat suami dan anak saya sibuk berduaan, membaca resep, menakar bahan-bahan, membuat adonan hingga mencetaknya di loyang itu seru sekali. Bahkan amat seru. Terigu tumpah di sana-sini, area membuat adonan yang berpindah-pindah, chocolate chips berjatuhan, dan adonan yang menempel di beberapa tempat itu tidak sebanding dengan kebahagiaan yang tampak di wajah keduanya. Apalagi kemudian melihat wajah bangga mereka ketika cookies buatan mereka matang. Priceless.
Jadi, siapa bilang membuat kue hanya bisa di kerjakan bersama Mama?