Sejak anak saya Vaya duduk di bangku Kindergarten, akhirnya dia punya sahabat dekat juga di kelas. Sebenarnya waktu duduk di Kiddy dulu, dia punya beberapa teman bermain favorit, yang kalau saya lihat nih, model teman favoritnya adalah mereka yang enerjik dan aktif. Mainnya selalu kejar-kejaran atau lari-larian, dan Vaya happy sekali dengan mereka. Klop, lah, ceritanya. Nah, ketika teman-teman favoritnya itu melanjutkan sekolah di tempat lain, Vaya pun mau tak mau harus mencari teman favorit baru saat dia naik ke Kindergarten A. Di Kindergarten ini pulalah, dia baru mengerti artinya main bersama dengan benar, bukan hanya lari kejar-kejaran saja seperti masa-masanya Kiddy dulu.
Sebenarnya kalau dilihat lagi, anak saya itu masih sangat kelihatan anak-anaknya dibanding kebanyakan teman sekolahnya. Ketika di mobil jemputan, teman-temannya tak mau kalah memamerkan mobilnya ayah siapa yang paling bagus, dia diam saja tak mengerti sama sekali tentang merek. Dia hanya bilang, "Mobil Ayah keren, kecil, warna hijau. Kalau mobil Mami cantik, karena mami, kan, perempuan". Ketika teman-temannya sudah banyak yang berpikir lebih tricky mengenai sesuatu hal, dia tidak begitu peduli dan masih memikirkan hal yang sangat anak-anak. Contohnya saat kemarin dia berbisik pada saya (o, ya, sekarang dia sedang hobi bisik-bisik), katanya dia dan sahabatnya Val ingin cukur rambut Jev karena Jev nakal. “Tapi kata Val, Vaya harus main ke rumahnya dulu, Mi.” Saya tersenyum saja. Anak saya memang beberapa kali mengatakan pada saya kalau sahabatnya Val memintanya main ke rumah Val. Tapi saya memang belum sempat saja memenuhi keinginannya itu.
Anak saya bukan anak yang bossy, saya malah melihat dia tipe anak yang sangat toleran dengan teman-teman dekatnya. Untuk mengetahui apa saja sih yang dia dapat dari pergaulan dengan teman, saya selalu mengajaknya ngobrol tentang perasaannya terhadap teman-temannya itu.
Nah, minggu lalu saat dia masuk sekolah setelah libur dua minggu, seperti biasa malamnya saya selalu bertanya padanya. Bagaimana kabar sekolahnya, belajar apa, main apa dengan sahabat-sahabatnya.
Saya bertanya padanya: “Vaya, sekarang temannya di sekolah siapa saja? Ada teman baru gak?”
Tiba-tiba Vaya terdiam sebentar. Lalu dia bilang begini,”Mami, sekarang Tasya gak main lagi sama Vaya.”
“Loh, kenapa?” Saya terperanjat karena setahu saya Vaya berteman dekat dengan tiga orang di kelasnya, yaitu Val, Gissele, dan Tasya.
“Soalnya, soalnya.... Val gak suka kalau Tasya main sama Vaya. Val maunya Vaya main sama Val ajaaaa....”
“O, ya? Terus?”
“Iya, Val marahin Tasya karena dekat-dekat Vaya...”
Saya diam sebentar, memikirkan apa yang harus saya katakan padanya. Sahabatnya menjadi posesif. Ini hal yang biasa terjadi, sih, sama lah saat saya masih kecil sampai sudah bekerja pun, selalu ada sahabat yang posesif ingin menguasai teman baiknya untuk dirinya sendiri. Tapi tentu saja saya tidak ingin anak saya pada akhirnya hanya berteman dengan satu orang saja, kan? Bagaimana kalau nantinya dia menjadi sangat eksklusif dan justru jadi sangat tergantung pada satu-satunya sahabatnya. So far, ini memang Vay lebih dekat dengan Val dibanding dua sahabatnya yang lain, tapi saya pikir alangkah lebih baik bila anak-anak punya banyak teman.
Saya mencubit lembut dagunya dan kemudian berkata, “Vay, tahu gak... Mami juga sama lho kayak Vaya, Mami punya banyaaakk sekali teman.”
“Kayak Tante Lina dan Om Uam?”
“Iya betul. Sama Tante Utie juga,”
“Tante Utie itu yang mana Mi?”
“Itu, mamanya Raffi, yang kemarin kita ketemuan. Mami jarang ketemu Tante Utie karena si Tante kan tinggal di Palembang. Dulu waktu Vaya belum ada, Mami kalau jalan-jalan selalu sama Tante Utie.” Vay manggut-manggut.
“Punya banyak teman itu fun lho Vay. Jadi kita tidak kesepian,” saya tersenyum karena terkenang masa-masa lajang dulu bersama para sahabat. “Kalau banyak teman, pasti tiap hari ketawa, happy-happy. Coba kalau sendirian atau berdua saja, pasti banyakan berantemnya. Seperti kalau Vay di rumah sama Mbak, ya kan?” Vay nyengir, mungkin terbayang betapa jutek dan bosannya dia setiap hari berdua di rumah dengan mbak. Sering ketawa, tapi sering juga bertengkar.
“Cuma memang kadangkala, Nak, ada, sih, teman yang sedang ingin berdua saja sama kita. Mungkin ingin curhat.”
“Curhat itu apa, Mi?”
“Curhat itu ya cerita-cerita kayak gini Vay, berdua aja, gak pengen orang lain tahu.”
“Mami sama teman Mami juga gitu?”
“Iyaa....” Saya mengangguk. “Tapi gak setiap harilah. Hari ini sama tante ini, besok sama tante itu, besok lagi ramai-ramai. Kasihan dong kalau hanya temenan sama satu orang, yang lain sedih nanti.”
“Oh, gitu. Tapi nanti kalau Val marah, gimana dong?”
"Vaya coba ajak Val gabung dengan Tasya dan teman-teman lain. Ajak main ramai-ramai.... mudah-mudahan Val nanti mau."
Saya tahu, tak mudah memberitahukan pada anak seusia Vay tentang makna persahabatan, karena bagaimanapun dia harus melewati itu semua seperti halnya kita dulu saat masih kecil. Bertengkar, berbaikan, rebutan teman. Bahkan mungkin juga harus melewati yang namanya nge-bully di-bully teman. Tapi di satu sisi saya senang juga mengetahui bahwa anak saya menjadi rebutan sahabat-sahabatnya di kelas. Semoga itu tidak juga menjadikannya teman yang besar kepala :)