banner-detik
MARRIAGE

Ikut Suami Merantau, Pilihan Tepat?

author

ameeel18 Dec 2012

Ikut Suami Merantau, Pilihan Tepat?

Tidak sampai seminggu berselang setelah suami mengabarkan dirinya akan dimutasi, surat resign atas nama saya mendarat di meja atasan :D

Ya, tidak ada sedikit pun keraguan di dalam hati untuk ikut suami merantau. Keputusan resign pun murni dari saya, tidak ada paksaan (atau bujukan) dari suami—meski setelahnya saya dihadiahi laptop mungil dengan warna favorit, sih, hahaha.

Saya sangat excited buat pindah. Excited, karena untuk pertama kalinya selama hampir 30 tahun hidup (akhirnya) keluar dari rumah ortu. Excited, karena bisa menjalani rumah tangga tanpa 'interupsi' pihak lain (baca: kakek, nenek, ART). Excited, karena bisa keluar dari keriweuhan ibukota.

Lucunya, di saat lagi semangat-semangatnya mau pindah, adaaa.... saja komentar bernada negatif mampir.

"Ih, ngapain ke Semarang?"

"Semarang, kan, panas!"

"Terus di Semarang mau jadi ibu rumah tangga doang?"

"Mending tetap di Jakarta, deh, segala ada."

Bla, bla, bla... Kurang lebih seperti itulah komentar yang singgah di telinga. Reaksi saya? Cuma nyengir. Ya abis, mau membela diri gimana? Kan, saya belum mengalami langsung. Jika nantinya ternyata tidak betah dan memutuskan balik ke ibukota, muka ini mau ditaro di mana :D

Suami pun berkali-kali menegaskan keseriusan saya. Suami memang khawatir jika keputusan saya sifatnya impulsif—terlebih jika mengingat track record keplin-planan saya selama ini. Apalagi jarak Jakarta-Semarang dekat, suami tidak ambil pusing jika saya tetap di Jakarta. Toh, dua minggu atau sebulan sekali bisa pulang. Tapi keputusan saya sudah bulat. Ke mana pun suami pergi, saya dan anak-anak ikut.

Jujur saja, resign dan pindah ke kota yang sama sekali asing tidak terasa berat. Hal paling menguras emosi justru saat mengabarkan ke orangtua saya, kakek-nenek Rakata-Ranaka, bahwa mereka akan terpisah ratusan kilometer dengan cucu-cucunya.

Berat, karena saya tahu Ayah-Mama ingin dikelilingi cucu di masa tuanya. Berat, karena saya satu-satunya anak yang available untuk tinggal di rumah mereka. Jangan tanya seperti apa sedihnya di hari-H kepindahan. Saat pamitan, saya masih bisa tersenyum. Tapi di taksi dalam perjalanan ke bandara, saya tidak kuasa menahan air mata. Di situ baru sadar-sesadar-sadarnya, bahwa merantau memisahkan saya dari orang-orang terdekat! Bukan hanya keluarga, tapi juga sahabat.

Lebih pedih lagi, persis lima hari setelah kepindahan ke Semarang, sahabat terdekat saya selama 12 tahun terakhir, Ade Anugrah, yang baru saja melahirkan anak pertamanya, meninggal dunia karena kanker. Dan, ya, saya tidak menghadiri pemakaman Ade :'(

Luar biasa hancurnya hati, karena sebenarnya saya punya dana untuk pulang. Nyali yang saya tidak punya. Berhubung ada presentasi penting, suami tidak bisa izin dari kantor, sehingga jika mau ke Jakarta demi pemakaman, saya mesti membawa Rakata-Ranaka. Sendirian. Sebagai SAHM newbie, saya dulu belum pede semalaman naik kereta api atau pesawat paling pagi sambil menenteng dua batita tanpa bantuan. Jangankan lintas provinsi dengan transportasi umum, wong ke minimarket depan kompleks saja jiper.

Peristiwa meninggalnya Ade sempat membuat saya berpikir. Tepatkah pilihan saya ikut suami merantau? Bagaimana jika ada hal buruk lain terjadi pada sahabat maupun keluarga, lalu saya tidak bisa hadir untuk mereka?

Belum lagi, pas Rakata-Ranaka sakit berbarengan dan mesti ke rumah sakit. Merantau membuat saya kehilangan fasilitas VVIP. Yang tadinya bisa agak leluasa, karena keluarga besar suami memiliki salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan, di Semarang terpaksa jadi pasien reguler. Yang tadinya bisa membuat dokter menunggu, sekarang mesti antre berjam-jam menunggu dokter yang belum datang. Yah, mungkin seperti post power syndrome :D

Namun seiring berlalunya waktu, kecemasan perlahan memudar. Makin ke sini, saya justru makin menikmati hidup di perantauan. Gimana tidak nikmat, jika belanja di tukang sayur yang dulu bisa Rp 30.000 - Rp 50.000, sekarang maksimal hanya Rp 15.000. Itupun bisa buat lauk dua hari. Irit!

Belum lagi, kondisi jalanan yang sangat bersahabat. Dulu dan sekarang, jarak rumah ke kantor suami itu sama, yakni 9 kilometer. Bedanya, di Jakarta butuh waktu (minimal) 90 menit untuk sampai, di sini (maksimal) 20 menit sudah duduk manis di meja kerja.

Bukan hanya suami yang senang tidak perlu berjibaku dengan macet, istrinya pun senang karena ditinggal di rumahnya tidak kelamaan. Berangkat ngantor jam 08.00, suami sudah sampai lagi di rumah sore-sore untuk menemani Rakata-Ranaka berenang atau main sepeda. Pagi sarapan bersama, sore main bersama, makan malam pun bersama. Hmmm, luxury yang jarang sekali kami dapatkan di ibukota :)

Ketiadaan saudara maupun sahabat juga memperkuat kami sebagai keluarga. Setiap ada waktu luang, otomatis dilewatkan bersama keluarga—lah, abis mau sama siapa lagi? Saat di perantauan, all we have is each other. Jika dulu quality time sebagai keluarga hanya dirasakan saat weekend, sekarang bisa dibilang hampir setiap hari.

Jadi, meski sekarang sumber pemasukan hanya mengandalkan gaji suami, saya justru merasa lebih kaya. Baik itu kaya secara batiniah, maupun kaya secara harfiah a.k.a banyak duit buat foya-foya :D

Yang suka lihat travel blog saya, pasti ngeh, frekuensi posting setelah pindah ke Semarang meningkat pesat. Yang dulu jalan-jalan hanya 2-3 bulan sekali, sekarang bisa 2-3 kali dalam sebulan. Padahal, gaji suami hanya mengalami kenaikan sedikit pas dimutasi. Dan saat ini saya sudah tidak bekerja. Otomatis, pemasukan kami berkurang. Tapi karena biaya hidup di sini lebih murah, tidak ada biaya 'memanjakan diri' akibat stres kena macet, tidak ada biaya 'penebus dosa' untuk anak karena ditinggal pas weekday, dan saya memilih tidak dibantu ART, jatuhnya, ya, impas saja.

Bahkan saat menulis artikel ini, suami baru saja mengabarkan jika dirinya mendapat promosi! Rejeki yang dulu sempat dianggap 'hilang' karena saya resign, nyatanya tetap balik dengan cara lain ke keluarga kami :)

Jadi jika sekarang ada yang bertanya, "Nyesel nggak lo pindah? Betah di sana?" Well, ikut suami adalah pilihan yang sangat-sangat-sangat tepat bagi saya. One of the best choices that i have made in my life :)

Anyway, adakah Mommies di sini yang juga ikut suaminya merantau? Mau, dooong, diceritain pengalamannya, apalagi yang pindahnya sampai beda pulau atau bahkan beda negara. Pasti seru!

 

Share Article

author

ameeel

http://ameeeeel.wordpress.com


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan