Sorry, we couldn't find any article matching ''
My Fears of Being a Working Mom
Sebagai ibu bekerja, tentu saja saya harus pandai-pandai mengatur agar urusan keluarga tetap berjalan dengan baik meski saya sibuk di kantor. Saya pun butuh beberapa pendukung agar semuanya bisa berjalan dengan harmonis.
Nah karena itulah, saya jadi dependant alias tergantung sekali dengan faktor-faktor pendukung itu. Jika hilang satu, dunia langsung terasa runtuh. Dan karena tidak bisa meng-handle urusan keluarga secara langsung selama 24 jam, saya pun punya banyak sekali mimpi buruk. Apa saja? Berikut saya sharing, ya:
Saya yakin, this is the worst nightmare for us, working moms, right ladies? Apalagi, mencari ART yang andal saat ini lebih susah daripada mencari jodoh. Nggak usah bilangan tahun. Saya pernah, lho, dapat ART yang bekerja hanya selama 3 hari. Belum lagi masalah etos kerja, cocok atau tidak dengan enak, dan sebagainya.
Bagi saya, sih, urusan pekerjaan rumah masih bisa cincaylah. Asalkan ada mesin cuci, alat pel dan segala perabot dapur terkini, semua masih bisa saya pegang sendiri. Kebetulan juga suami tipe pria yang nggak masalah jika diminta membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Yang bikin kepala pusing tujuh keliling adalah urusan anak.
Memang, saya cukup beruntung karena mertua dan orang tua saya tinggal di kota yang sama, tidak terlalu jauh pula. Namun saya tetap merasa kurang enak jika menitipkan Nadira yang lagi aktif-aktifnya, kepada mereka tanpa ada ART untuk mendampingi.
Alhasil, saat ART pulang, dunia terasa gelap. Sungguh, deh, ini bukan lebay. Kalau nggak percaya, tanyakan saja pada semua ibu-ibu bekerja. Ya kan?
Yak, lagi-lagi berhubungan dengan ART. Untuk yang pertama, saat anak tidak mau dengan si Mbak, saya yakin pasti jadi beban pikiran Mommies semua. Gimana mau kerja dengan tenang kalau saat berangkat saja, anak sudah menangis meraung-raung dan menolak digendong Mbaknya? Lalu di kantor pasti terbayang “anak gue mau makan/tidur/mandi nggak ya sama Mbaknya? Kalau anak gue nangis terus, dicubit nggak, ya, sama Mbaknya?”.
Been there done that! Saya dulu juga sempat punya pengasuh yang kurang disukai oleh Nadira. Untunglah karena rumah saya dekat dengan rumah mertua, jadi mertua saya bisa membantu mengawasi pengasuhan si Mbak dan Nadira. Tapi kasihan juga, sih, mertua saya jadi lebih capek karena Nadira lebih mau dengan beliau daripada si Mbak. Akhirnya saya cuma memakai jasanya selama beberapa bulan saja.
Sekarang gimana untuk si Mbak yang lebih pandai mengambil hati anak dibanding kita, ibunya? Waduuhh … This is another nightmare. Secara ideal, kan, ART atau pengasuh anak hanyalah perpanjangan tangan ibu saat ia tidak ada di rumah karena harus bekerja. Jadi begitu ibu di rumah, harusnya anak langsung lengket dengan ibunya, betul?
Nah kenyataannya nggak selalu begitu. Banyak anak yang justru mengidolakan pengasuh atau Mbaknya dan tidak mau diurus oleh ibunya sendiri. Sebabnya macam-macam. Bisa karena si Mbak memang welas asih dan pandai mengambil hati anak, atau ibunya yang amat cuek atau hobi marah-marah saat bersama anak sehingga anak pun merasa malas berdekatan dengan sang ibu.
Kalau saya, meski saya bekerja dan sering tugas ke luar kota, Alhamdulillah Nadira tetap memilih ibunya ini. Menurut saya, nggak ada resep atau kiat apa-apa untuk hal yang satu ini. Yang penting sepulang kerja, saya sempatkan main atau ngobrol dengan Nadira dan tidur juga saya keloni. Saat libur tiba, saya mendedikasikan sebagian besar waktu saya untuk dia. Intinya, jangan terlalu menyerahkan urusan anak 100% ke pengasuh. Ingat, pengasuh itu fungsinya membantu saat kita bekerja. Begitu kita sampai rumah atau sedang libur, anak adalah tanggung jawab kita sendiri.
Deadline menumpuk, lalu di saat yang sama anak demam tinggi. Atau saat tengah tugas ke luar kota/negeri, dapat kabar anak masuk rumah sakit karena terjatuh. Dijamin, deh, pikiran pasti langsung amburadul karena hati panik dan tidak tenang. Padahal, di saat yang sama, kita harus tetap fokus pada pekerjaan.
Saya pernah mengalami hal ini beberapa kali, salah satunya terjadi beberapa pekan lalu saat Nadira jatuh dari ayunan di taman depan rumah. ART saya menelepon, mengabari hal itu. Yang bikin panik, kepala Nadira luka dan berdarah cukup banyak.
Wah, asli, deh, dengkul saya langsung lemas dan hati terasa nelangsa. Apalagi deadline di kantor belum selesai, lalu saya lihat jalanan sudah mulai macet dan hujan turun. Mau naik ojek, susah. Mau naik taksi atau bus, macetnya luar biasa. Sampai-sampai saya menangis karena panik dan kesal.
Peristiwa serupa juga terjadi saat saya bertugas ke Korea dua tahun lalu. Nadira sakit dan demam. Walah hati rasanya mencelos dan kerja pun jadi nggak tenang.
Selain perasaan panik, dalam kondisi seperti itu, biasanya saya juga marah pada diri sendiri. Kenapa sih saya nggak ada di samping Nadira saat itu? Kenapa sih saya nggak resign aja dari kantor supaya bisa menghindari hal-hal kayak begitu? Kenapa dan sejuta “what if” berseliweran di kepala. Saya yakin, perasaan dilematis seperti ini menjadi santapan sehari-hari buat semua ibu bekerja, karena saya juga mengalaminya.
Sebagai rookie parent, saya berusaha menimba ilmu pola asuh anak lewat berbagai seminar dan forum. Saya juga berusaha menambah ilmu soal gizi, kesehatan anak dan sebagainya. Intinya, sih, semua demi anak. All out!
Masalahnya, berhubung sehari-hari saya bekerja, saya harus menitipkan Nadira pada pengasuhnya dan mertua saya. Sesekali, mama dan papa saya juga ikut datang dan membantu mengawasi. Di satu sisi saya lega karena Nadira berada di tangan yang bisa dipercaya. Namun di sisi lain, ada beberapa pola dan gaya pengasuhan berseberangan.
Misalnya, soal RUM. Saya berusaha tidak panik dan tidak mudah memberi obat atau cepat-cepat membawa Nadira ke dokter tiap ia demam/batuk/pilek. Sementara mertua dan papa saya selalu menekan saya untuk membawa Nadira ke dokter atau memberinya obat saat tubuhnya agak demam sedikit, kira-kira 37 derajat Celcius.
Biasanya untuk menenangkan mertua, papa dan juga diri sendiri (panik itu menular, lho!), saya berkonsultasi dengan dokter anak langganan via telepon. Nanti semua ucapan sang dokter saya beritahu pada mereka dan biasanya sih mempan. Ya, mau gimana pun, saya kan bukan dokter ya. Jadi meskipun saya hafal ilmu RUM dasar, mertua dan papa saya mana mau percaya? Hehehe .…
Contoh lainnya adalah pola asuh dengan pengasuh anak. Sekitar Lebaran lalu, Nadira mengalami separation anxiety luar biasa. Ia selalu ketakutan dengan sosok hantu. Selidik punya selidik, ternyata pengasuhnya yang sedang mudik (dan sekarang tak kembali itu) kerap menakut-nakutinya dengan ucapan, “Kalau Mbak Dira nggak mau mandi/makan/bobo, nanti ada hantu, lho.” Alhasil Nadira pun jadi penakut dan paranoid.
Saya kesal sekali karena sekalipun saya tak pernah menakut-nakuti atau mengancam Nadira menggunakan kata/sosok hantu. Eh, sekarang ada orang lain yang meracuni pikirannya. Saat ini, pada pengasuh barunya, saya selalu mengingatkan supaya ia tidak menakut-nakuti Nadira. Saya kan tidak mau anak saya tumbuh jadi anak penakut.
Anyway, saya yakin masih banyak mimpi buruk lain yang ditakutkan oleh para working moms di luar sana. Care to share, Mommies? :)
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS