Saya sering membaca banyak istri yang merindukan suaminya yang tugas keluar kota, luar negeri, atau malah long distance relationship. Sekedar rindu makan bersama, jalan-jalan atau malah, berantem. Terbayang nggak, bagaimana mereka yang ditinggal pasangannya untuk selama-lamanya?
Dua member forum setia kami, Marcie dan Pia, baru saja ditinggalkan oleh kekasih hati mereka untuk selama-lamanya. Marcie ditinggal suami sejak 1 September 2011, sementara Pia, tanggal 12 Februari 2012. Dua perempuan hebat ini sekarang menjadi orangtua tunggal bagi anak-anak mereka. Pia dengan 3 buah hati (Hanif, Azhar, dan Kasih) sementara Marcie dengan 2 jagoannya (Greg dan Timothy).
Awalnya saya agak sungkan menanyakan hal ini untuk kepentingan artikel. Tapi setelah bertukar pikiran, ternyata baik Pia dan Marcie bersedia. Membaca jawaban-jawaban mereka, saya tak kuasa membendung air mata *memang kebetulan agak cengeng*. Membayangkan bangun pagi dan harus sadar bahwa suami yang selama ini menjadi pendamping hidup sudah tidak ada. Mungkin seperti mimpi kali, ya?
Sesaat setelah mendapat kabar suami nggak ada, apa yang dilakukan?
Pia: Sebelum meninggal, Uda sebenarnya sudah pakai ventilator karena sesak napas akut, jadi saya merasa kondisinya sudah aman. Sekitar pukul 2.30 siang, kebetulan saya masuk ke ICU, dan melihat Uda dikelilingi suster dan dokter jaga yang sibuk kasih resusitasi jantung karena ternyata ventilatornya nggak berfungsi (maaf kalau istilah kedokterannya nggak pas). Saya langsung hubungi ibu dan tante-tante saya yang kebetulan menemani saya siang itu. Setelah beberapa belas menit (rasanya, sih, lamaaa banget) saya minta dokter untuk berhenti resusitasi, karena saya kasihan banget liat suami saya. Saat dokter masih resusitasi, pas banget anak-anak datang, jadi mereka juga melihat proses kepergian Uda. Jadi pas Uda nggak ada, saya berusaha sebisa mungkin menghibur anak-anak.
*Foto ini setelah Sholat Ied terakhir kami bersama-sama
*Foto sekeluarga terakhir kali di Tanah Lot beberapa hari sebelum kejadian :(
Marcie: Almarhum suami saya meninggal ketika menyelam di Perairan Nusa Penida, Bali. Saya terima kabar melalui handphone ketika mau makan siang dengan anak-anak di dekat hotel di Nusa dua. Ketika saya tahu penelpon adalah instruktur diving-nya, perasaan sudah tidak enak. Instrukturnya mengatakan bahwa saya dipanggil suami untuk datang ke RS. Saya masih berharap itu hanyalah terluka, walau perasaan memang galau dan sangat resah. Kebetulan hari itu suami sewa mobil beserta supir jadi langsung saja meluncur ke RS bersama 2 anak (nasi sampai harus dibungkus karena tak sempat makan). Perjalanan ke RS memakan waktu 1 jam, jaraknya cukup jauh. Bayangkan ... selama perjalanan saya sibuk berdoa dalam hati bahwa ini hanyalah kecelakaan, hati tetaplah tidak tenang, rasanya doa pun hanya bisa mengulang-ulang dan komat-kamit seirama detak jantung yang semakin kencang. Lalu saya pikir kenapa nggak telepon ke HP suami saja, telepon masuk tapi tidak ada yang mengangkat, perasaan saya semakin nggak karuan dan masih menghibur diri mungkin sedang dirawat atau terburuknya, tidak sadarkan diri. Anak-anak santai saja di mobil dan tidak ada firasat jelek, saya pun tidak mengatakan perasaaan saya saat itu, walau tangan dan kaki sudah dingiiiiin padahal udara panas.
Sesampainya di RS Dharma Husada, langsung disambut instrukturnya dan diajak ke UGD. Saya cuma ribut, "Mana, Pak? Ada apa, Pak?" Instruktur tenang saja dan bilang, “Tenang, Bu. Ada di dalam, tunggu dokter, ya, Bu. Dokter mau jelaskan ke Ibu." Saya masih pikir mungkin mau minta persetujuan operasi atau apalah, walau ada sedikit pikiran yang terjelek ke arah itu tapi tepiskan kuat-kuat. Duduk menunggu dokter keluar di ruangan itu pun rasanya lama sekali padahal nggak sampai 30 menit. Dokter keluar dan menjelaskan bahwa suami tidak sadarkan diri ketika muncul di permukaan dan walaupun diberikan CPR di atas boat sampai ke pantai, tetap tidak sadarkan diri. Mereka (pihak operator diving) bilang bahwa sudah menelepon ambulan dan paramedis sesaat setelah tahu bahwa almarhum pingsan (sejak di boat) karena perjalanan dari lokasi diving sampai dengan pantai itu kalau tidak salah kurang lebih 45 menit (tidak akan sempat menolong seseorang yang koma di tengah laut). Jadi ketika paramedis datang, nyawa suami pun sudah tidak tertolong dan mungkin saja juga sudah begitu sejak di boat, walau mereka klaim nadi sudah tidak ada setelah sampai di pantai. Lalu saya tanya penyebab kematiannya. Dokter bilang mereka tidak bisa tahu pasti tapi paru-paru beliau kemasukan banyak air T_T
Saya hanya bisa menelungkupkan kepala, menangis di meja dokter. Ucapan pertama saya adalah "Kenapa kamu bandel, Pan?" (Pan adalah panggilan saya pada suami). Instruktur dan manager menghibur saya sambil menepuk pundak saya. Lalu saya tanya keberadaan suami saya, mereka pun menggandeng dan merangkul pundak saya. Takut pingsan kali, ya. Saya masih kuat berdiri dan jalan, hanya saja sedih, marah, kesal. Ternyata dia dibaringkan tak jauh dari tempat kami duduk, hanya tertutup tirai. Wajahnya sudah menghitam, yang terlihat jelas sekali adalah lebam di dada dan lengannya. Mungkin akibat saat badannya diangkat dari laut ke boat. Sulit sekali menjelaskan perasaan saya kala itu ... antara tidak percaya tapi kenyataan di depan mata mengatakan sebaliknya. Masih teringat omongan suami malam sebelumnya, "Besok kita dinner bareng, ya?" T__T
Setelahnya saya keluar dari RS untuk menjemput anak-anak yang ditinggal di mobil sewaan dengan sopir tak dikenal (baru ngeh kok saya berani meninggalkan mereka tanpa supervisi, untung sopirnya baik). Saya bawa mereka untuk melihat jasad ayahnya. Mereka tidak menangis atau histeris ... hanya bengong dan kebingungan. Bahkan, Greg, si bungsu, masih bertanya kapan kami akan pergi ke Motion Skatepark.
Orang pertama yang saya hubungi adalah kakak laki-laki saya. Lalu saya BBM adik ipar untuk mengabari saudara lainnya, saya tidak kuat menyampaikan berita itu ke mertua melalui telepon. Saya juga memberitahukan atasan suami yang saat itu sedang liburan. Tak lama setelah itu, telepon dan BBM datang bertubi-tubi. Syukurlah di sana ada anak sepupu yang memang tinggal di Bali, mereka datang membantu saya. Jenazah kemudian dimandikan dan harus melalui proses visum di RS Sanglah. Saya pun sibuk mengurus administrasi dan atur kepulangan jenazah ke Jakarta. Syukurlah ada jasa pihak ketiga yang bisa membantu mengurus. Sulit sekali mendapat tiket pulang untuk hari itu juga, saya nggak mau stay sehari lagi di sana dengan keadaan begini. Baju untuk almarhum pun disiapkan dari Bali. Saya minta anak sepupu untuk belikan seperangkat jas dan dasi. Untuk sepatu sempat bingung tapi kebetulan ada Mbak Niluh (yang saya kenal dari forum Female Daily) dari Niluh Djelantik datang, beliau menugaskan anak buahnya untuk mencarikan sepatu dan kaus kaki. Terima kasih banyak, ya, Mbak :)
Setelah urusan cargo dan keperluan jenazah beres, saya pulang ke hotel membereskan barang untuk kembali hari itu juga. Barang di hotel masih berantakan, sudah tidak ada waktu untuk packing rapi karena sudah sore dan masih belum booking seat untuk kembali ke Jakarta jadi harus go show saja ke airport. Toiletries saya tinggal saja semua. Sempat bingung karena gembok koper pakai kombinasi yang hanya diketahui oleh suami :( akhirnya koper tidak digembok, hanya di-wrap plastik di bandara.
Saya langsung ke aiport diantar saudara saya dan di sana sudah menunggu kakak laki saya yang baru terbang dari Jakarta. Syukurlah tiket bisa dimajukan dan dapat seat walau tidak bareng dengan cargo jenazah, flight saya malam itu pukul 10 sampai Jakarta. Bawa dua anak sambil memanggul ransel suami berisi peralatan elektronik ditambah isi lainnya yang superberat membuat saya terheran-heran, kok, saya super woman sekali hari itu. Pulang dari airport sempat makan bentar di rumah mama dan langsung ke rumah duka.
Langkah paling pertama yang dilakukan setelah pulih dari kesedihan apa?
Pia: Pulih dari kesedihan, sih, belum, ya, tapi berusaha nggak memikirkan sedihnya. Langkah pertama langsung membereskan segala dokumen kematian; surat Pemberitahuan Kematian dari RT, surat dari RS, Surat dari San Diego Hills tempat Uda dimakamkan, surat waris, buat mengurus segala keperluan asuransi, Jamsostek dan perbankan. Berhubung saat itu saya juga jadi paranoid level 100, saya coba analisa keuangan saya, dan berusaha cari proteksi yang terbaik kalau-kalau umur saya juga nggak panjang. Untung kemudian saya ketemu perencana keuangan yang baik banget, yang membantu merapikan urusan finansial saya.
Marcie: Sepertinya saya tidak punya banyak waktu untuk banyak tenggelam dalam kesedihan, urusan banyak sekali. Di rumah duka selama hampir seminggu, tamu-tamu yang datang pun nggak semua sempat saya temani, hanya bisa duduk istirahat di samping Mama setiap selesai sesi doa yang sehari bisa 3 kali. Walaupun banyak saudara yang membantu tapi tetap pikiran ini nggak bisa
tenang karena harus bayar ini-itu dan yang paling bikin stres adalah urus dokumen untuk kremasi. FYI suami saya adalah WN Malaysia, sehingga semua urusan harus ke kedutaan besar, harus hadir sendiri tidak bisa diurus pihak jasa. Dan puncak dari segalanya adalah ketika di krematorium pada hari H kremasi, pihak krematorium tidak mengijinkan untuk kremasi karena katanya orangtua dari almarhum tidak ada (keluarga besar mereka sudah pulang dan tidak menunggu sampai hari kremasi, mungkin beda budaya, beda kebiasaan) begitu juga dengan surat polisi yang memang tidak mereka urus/laporkan pada waktu kejadian. Ditambah hukum di Indonesia yang mana semua dokumen kematian/kelahiran harus dikeluarkan di tempat kejadian berada. Semuanya serba kacau, ternyata baru disadari bahwa dalam surat pernyataan kematian dari RS nama almarhum salah tulis sehingga harus dibuat ulang. Hal itu juga makin membuat pihak krematorium takut untuk kremasi, karena mereka bisa dituntut oleh pihak kedutaan atau negara bila ternyata kematian disebabkan oleh pidana, karena kalau sudah kremasi tidak bisa diotopsi lagi. Akhirnya setelah bersikukuh cukup lama dengan jaminan dari saya bahwa ini murni meninggal karena menyelam dan bukan dibunuh, mereka mengizinkan juga.
Bagaimana menerangkan pada anak-anak?
Pia: Alhamdullilah anak-anak sudah cukup mengerti tentang kepergian ayah mereka. Yang sulit di bulan-bulan pertama buat saya melihat gimana rindunya anak-anak sama ayah mereka. Jadi saya juga belajar bagaimana biar anak-anak (terutama anak laki-laki saya, Hanif dan Aca) bisa bicara terbuka tentang kesedihan mereka.
Marcie: Anak-anak melihat langsung jadi tidak banyak bertanya dan mereka juga tahu bahwa daddy-nya meninggal ketika diving, salut kepada mereka dan syukurlah mereka tidak sedih dan down sehingga saya juga tidak begitu sibuk menenangkan mereka.
Setelah kepergian suami, ada perubahan nggak dari segi finansial?
Pia: Perubahan, sih, ada, tapi nggak bikin saya panik banget, karena saya yakin urusan rezeki, sejauh kita berusaha, pasti akan ada.
Marcie: Jelas ada, tapi syukurlah ada bantuan dari pihak perusahaan suami dan kebetulan saya juga bekerja.
Apa yang membuat kalian bisa kuat?
Pia: Dukungan luar biasa tentunya dari ibu saya. Beliau juga baru ditinggal suami (ayah saya) 1 Januari 2012 yang lalu, dan beliau juga selalu perhatian sama anak-anak saya, jadi saya pun merasa aman, deh. Berikutnya adalah keluarga dekat, sahabat dan semua keluarga Fashionese Daily yang selalu kasih dukungan dan hiburan. Kekuatan saya yang paling utama adalah dari anak-anak saya, bisa melihat mereka senang, ketawa dan tumbuh seperti harapan saya dan suami.
Marcie: Jawaban saya cuma satu, kedua anak saya. Mereka yang membuat saya tegar dan harus bisa move on walau dengan air mata dan hati yang tersayat. Dan saya pun tidak pernah sembunyikan kesedihan di depan anak-anak, bahkan yang besar bisa nasihati saya dan bilang, “Ya sudahlah, Mom, mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi ....“ Syukurlah mereka jarang bahkan boleh dibilang hanya sesekali mengucapkan kerinduannya pada daddy-nya, walau di hati mereka pasti kehilangan, tapi setidaknya ini mempermudah saya.
Ada nggak hal yang sering membuat kalian berdua teringat almarhum suami? Di saat seperti apa?
Pia: Sampai sekarang, sih, saya malah berusaha nggak memikirkan suami saya. Soalnya, sedetik saja terpikir, saya bisa nangis kapan saja, di manas aja. Sudah terbukti, lagi belanja di pasar becek, naik taksi, antre di bioskop, jalan pagi, dll. Terbayang, kan, nulis ini ... banjir bandang :D
Setiap Pia foto untuk FOTD (Face of the Day), alm. suami nggak pernah ketinggalan pose colongan :')
Foto terakhir berdua dengan alm. suami :')
Marcie: Banyak sekali, ya, terutama ketika saya dan anak-anak sakit. Saya sekarang takut banget kalau sakit karena tidak ada yang bisa urus atau antar ke RS. Anak-anak juga jadi perhatian kalau saya sakit. Kalau untuk kehadiran kadang kami merasakan seperti beliau sedang business travelling, tetapi di hari weekend dan liburan itu sangat berasa. Lalu seperti ketika di luar melihat keluarga-keluarga kecil yang lengkap itu bisa bikin saya mau nangis, melihat foto-foto anak ketika kecil juga nangis, melihat wajah anak ketika tidur juga menangis. Kalau kenangan tentang beliau, sih, kuat sekali, ya. Saya baru berani kembali tidur di rumah setelah hampir sebulan (sementara di rumah mama) setiap lihat barang-barangnya pun sedih. Bulan pertama saya simpan semua barang sehari-hari suami seperti minyak angin, inhaler, lap kaca mata, kacamata, semua kumasukkan ke lacinya. Sikat giginya saya buang, tetapi aneh, beberapa hari kemudian anak saya mimpi dan bilang bahwa daddy-nya bilang gini, “Ah, sikat gigi Daddy nggak ada, Daddy mau pergi diving lagi, ah ....”, jadi saya taruh lagi 1 set sikat gigi, odol, listerine dan sikat lidahnya di toilet (sampai dengan hari ini :)) Tetapi semua baju masih tergantung dan terlipat rapi di lemarinya sampai saat ini (hihihi walau ada bagian lemarinya yang sudah saya jajah).
Kalau lagi ingat almarhum suami, apa yang dilakukan?
Pia: Biasanya kalau sudah selesai nangis, baca Al Fatihah, Yasiin, peluk anak-anak, lihat-lihat foto kita pas masih bersama.
Marcie: Hmmm nggak lakukan apa-apa, ya, nangis saja sepuasnya. Setelah itu dibawa tidur, besoknya sudah biasa lagi. Saya cukup cepat untuk bangkit dari kesedihan karena setiap saya sedih dan sakit, saya semakin takut kalau kenapa-kenapa, bagaimana dengan anak-anak nanti? Jadinya sekarang saya tidak mau berlarut dalam kesedihan walau kadang, ya, kalau lagi
ingat atau cerita masih nangis. Semakin saya sedih rasanya semakin sengsara, jadi kejadian ini sudah saya terima dengan ikhlas dan percaya bahwa ini sudah takdir. Walau kadang masih ada rasa tidak percaya dia sudah tidak ada lagi ....
Bagaimana kehidupan setelah suami tidak ada, apakah ada yang berubah?
Pia: Berhubung Ibu saya juga sendirian, setelah 100 harian Uda, saya dan anak-anak pindah ke rumah beliau dan rumah kami disewakan. Itu perubahan yang lumayan besar, ya, buat saya, karena saya terbiasa punya ruang sendiri dengan aturan yang saya bikin sendiri. Terus saya juga jadi jarang masak. How could anyone compete with Mom's cooking? :D Di tahun pertama ini, saya juga jadi lebih memanjakan anak-anak; kalau mereka minta sesuatu atau ingin pergi ke suatu tempat, saya kabulkan (selama masih masuk akal, ya). O, ya, selain rutin ke San Diego Hills, saya juga jadi lebih rajin berkunjung ke rumah mertua, karena beliau juga pasti merasakan kesedihan luar biasa kehilangan anaknya yang paling rame, jadi insya Allah, kehadiran saya dan anak-anak membuat beliau juga kuat.
Marcie: Hmmm ... yang berubah saya jadi lebih dekat dengan anak-anak, mereka semua tidur satu kamar dengan saya sekarang :) anak-anak tetap nakal dan ceria tapi mereka sangat kuat dan tidak seperti yang saya khawatirkan akan down. Ya walau di saat tertentu mereka bisa merindukan daddy-nya. Untuk yang lain-lain, ya, rasanya semua berjalan dan mengalir saja.
Liburan keluarga yang sudah direncanakan sejak tahun lalu, akhirnya Pia tetap berangkat berempat :')
Ada hikmah nggak yang bisa dipetik dari kejadian ini?
Pia: Waktu Uda masih ada, salah satu topik yg sering jadi bahan diskusi adalah soal finansial. Saat dia nggak ada, ternyata banyak banget kejadian yang menunjukkan ke saya, bahwa uang bukan sesuatu yang harus dipikirkan sampe jungkir balik karena Allah sudah atur porsi kita. Itu dulu, yang lain mungkin bakal ketahuan pada saatnya.
Marcie: Hikmahnya, saya jadi lebih kuat, lebih tegar, lebih mandiri, lebih positive thinking (dulu saya orang yang sangat pesimis), lebih percaya diri (ternyata saya bisa menyelesaikan semua urusan selesai juga dengan baik, yang di sini maupun di Malaysia). Ketika musibah terjadi, rasa ketakutan akan kelangsungan hidup dan urusan dokumen serta segala urusan yang begitu banyak harus diurus membuat saya stres. Tapi syukurlah segalanya bisa diselesaikan satu demi satu dengan baik, dan segala urusan baru selesai diurus bulan Januari kemarin.
Fiuuuh *lap air mata*
Kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup seperti pasangan, orangtua, saudara atau anak, pasti akan membuat lubang hitam yang besar di hati dan dunia kita, ya. Tapi membaca kisah Marcie dan Pia membuat saya sadar bahwa, hidup harus terus berlanjut. Life goes on. Mengutip kalimat Marcie dalam emailnya:
"You dont know how strong you are, until being strong is the only choice you have".
Terima kasih Pia dan Marcie atas sharing-nya. Semoga kebahagiaan akan selalu menyertai hidup kalian keluarga, ya *peluuuk*