Sudah baca artikel sebelumnya mengenai anak saya yang diduga tertular TB dari pengasuhnya kan? Di sini saya akan menceritakan aneka tes dan observasi yang saya lakukan sebelum kepastian penyakit apa yang diderita Zahra.
Pertama tes mantoux.
Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk diukur. Yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan centimeter.
Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm. Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor risiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Terus kalau tes mantoux-nya positif, udah pasti sakit TB? Nggak juga ... untuk mendeteksi TB pada anak ternyata nggak semudah itu. Harus diperkuat lagi dengan foto rontgen.
Pada orang dewasa, kuman TBC membangun sarangnya pada paru-paru bagian atas, sehingga pada gambar rontgen-nya akan terlihat adanya infiltrat pada daerah tersebut. Sedangkan pada anak-anak, kuman TB membangun sarang di kelenjar getah bening yang lokasinya berdekatan dengan jantung. Jika hanya difoto dari depan akan sulit melihat adanya infiltrat, karena tertutup oleh bayangan jantung. Oleh karena itu, untuk memperkuat diagnosis, foto rontgen juga harus dilakukan dari arah samping.
Dengan begitu, gambaran paru-paru tidak ’diganggu’ oleh bayangan jantung. Tetapi, lagi-lagi keberadaan infiltrat bukan mutlak menunjukkan anak mengidap TBC. Anak yang sedang batuk dengan dahak yang banyak, meski tidak mengidap TB bila difoto rontgen dadanya, bisa memberikan gambaran infiltrat. Oleh karenanya, foto rontgen harus dilakukan pada saat anak dalam kondisi terbaik. Paling baik memang setelah anak sembuh dari batuknya. Bila tidak memungkinkan, pilih waktu ketika batuknya minimal. Sekali lagi, foto rontgen saja tidak dapat digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis TBC.
Terus juga dengan tes darah.
Biasanya, parameter yang diuji pada pemeriksaan darah adalah LED (laju endap darah) dan kadar limfosit. Tetapi keduanya ini nilai diagnostiknya bahkan lebih rendah daripada foto rontgen, sehingga hanya dapat digunakan sebagai data pendukung. Nilai LED dan limfosit yang tinggi (di atas kadar normal) hanya menunjukkan terjadinya infeksi di dalam tubuh. Akan tetapi, semua jenis infeksi juga dapat meningkatkan nilai LED dan limfosit dalam darah.
Rumit, ya? Bahkan diagnosa TB pada anak yang paling logis, menurut kelompok kerja TBC anak (IDAI, DEPKES & WHO 2004), adalah dengan sistem skoring. Orangtua bisa melakukan sendiri, kok, dalam menghitung skornya, ada 8 parameter sebagai berikut :
Anak dikatakan positif TB bila skor dari ke-8 parameter di atas adalah MINIMAL 6 POIN.
(sumber : dari sini)
Dengan berbekal ilmu kedokteran Google saya sudah rada tenang, sih, setelah lebih tahu tentang penyakit ini. Setelah tes mantoux ini dokter menyuruh balik lagi setelah 3 hari.
Selama 3 hari itu saya berulang kali cek tangannya Zahra saat dia tidur, kalau dalam kondisi bangun, mah, dia bisa marah-marah. Saya foto juga perkembangannya, setelahnya saya ukur pakai penggaris tiap hari *posesif abis*
Hasilnya … benjolannya 11 mm. Yang mana untuk balita di bawah 15 mm itu masih normal karena masih terpengaruh vaksin BCG. Akan TETAPI ... kalau cuma BCG aja kata PB akan hilang bekasnya dalam 2 minggu, setidaknya mengecil sampe 1-2 mm saja. Tapi Zahra dilihat 2 minggu kok malah menghitam. Saya sudah pasrah saja.
Dan diagnosanya Zahra TB Infected, atau disebut juga TB laten. Apa bedanya sama TB aktif?
Sesungguhnya, yang dimaksud dengan TB laten adalah orang yang terinfeksi bakteri TB tetapi tidak menjadi sakit TB (mengidap TB aktif). Dengan kata lain TB laten adalah infeksi TB. Dikatakan laten karena kuman TB tidak aktif tetapi juga tidak mati, melainkan tidur lama (dorman). TB pada kondisi ini tidak menular.
Karenanya, apabila anak positif terinfeksi TB, walaupun tidak berkembang menjadi sakit TB, tetap perlu diberi pengobatan pencegahan (profilaksis). Jumlah bakteri TB dalam infeksi TB lebih sedikit dari TB aktif, sehingga penanganannya pun lebih mudah, cukup dengan satu jenis obat saja, yaitu INH (isoniazid).
Sedangkan kalau TB aktif :
Kombinasi obat anti TBC (OAT) untuk anak adalah Isoniasid (INH), Rifampisin, dan Pirazinamid. Ketiga obat tersebut diberikan selama 2 bulan pertama, lalu setelah itu, yaitu mulai bukan ketiga sampai keenam (4 bulan berikutnya) hanya diberikan kombinasi INH dan Rifampisin.
Saya harus benar-benar memastikan kalau memang TB aktif dan dikasih obat OAT. Kenapa?
Ketiga obat anti TBC tersebut sebenarnya bersifat racun bagi hati, apalagi karena harus dikonsumsi dalam jangka panjang. Oleh karena, setelah selesai masa pengobatan, biasanya dokter memeriksa fungsi kerja hati (SGOT/SGPT). Isoniazid atau INH juga dapat menimbulkan reaksi negatif berupa kesemutan, nyeri otot, bahkan gangguan kesadaran. Untuk mengurangi efek tersebut, diberikan suplemen vitamin B6 (piridoxin) selama masa pengobatan.
Syukurlah Zahra hanya TB Infected dan pengobatannya hanya INH saja. Hanya saja obat ini harus rutin diminum setiap hari selama 3 bulan lamanya. Harga obatnya pun cukup murah. Tiga bulan pengobatanpun berlalu, dan Zahra sekarang sudah tidak perlu mengonsumsi INH lagi. Sungguh pengalaman ini menjadi pelajaran berharga untuk saya, terutama untuk cek kesehatan pengasuh.