Di kantor, saya adalah go to person soal obat. Punya ibu yang berprofesi dokter memang membuat saya akrab dengan obat (yang bukan terlarang tentu, hehe). Nggak cuma nama obat untuk sakit umum seperti flu atau diare tapi juga jantung plus diabetes (karena sering bantu kakek-nenek belikan ke apotek). Dari kecil pun kenyang rasanya tiap kali muncul gejala sakit si mama langsung memberondong saya dengan ajakan minum obat. Tapi bagusnya saya jadi bisa memilah kapan sakit harus dibombardir obat dan tidak. Begitu hamil dan tambah tahu soal RUM (Rational Uses of Medicine), saya pun lebih mengerem diri soal obat.
Agak sulit awalnya menerapkan RUM ke diri sendiri ... maklumlah terbiasa tenggak obat tiap kali badan terasa kurang sehat. Sembilan bulan hamil adalah boot camp paling dahsyat, nggak bisa sembarang minum obat, kan? Lama kelamaan saya jadi terbiasa, deh. Tantangan berikutnya adalah ketika Igo sakit. Bisa ditebak si mama juga “aktif” menawarkan (baca: memerintahkan saya memberikan) segala macam obat sesuai gejala yang ia lihat. Kalau begini biasanya saya dengarkan dulu masukan beliau dan pelan-pelan memberitahu beliau kalau satu atau dua kali bersin bukan berarti kita harus kasih obat pereda gejala flu. Memang, sih, ada beberapa situasi di mana argumen kami memanas. Kalau sudah nggak sabar, biasanya saya cuekin omongan beliau. Hehe. Si mama juga hobi banget menyuruh kami bawa Igo konsul ke dokter tiap kali Igo terdengar batuk. Ini masih bisa diakali karena kami bisa bilang dokternya nggak praktik dan setelah konsul via SMS, dokternya hanya menyarankan Igo untuk istirahat dan banyak minum.
Awal baca-baca soal RUM saya bergidik mengingat pengalaman saya dengan obat. Tapi ketika bacanya sampai ke beberapa komentar ekstrem dan juga contoh kasus anak sakit yang telat mendapat penanganan, saya bersyukur. Bersyukur kenal dengan obat. Sampai batas tertentu obat aman, kok. Kita sendiri yang harus pandai mencari tahu batas aman tersebut. Mencari tahu ini artinya belajar dengan bijak, belajar supaya tidak kena trik pemasaran pabrik obat tapi juga tetap "rasional". Sejauh ini bisa dikatakan cukup berhasil mencoba menerapkan RUM di rumah. Saya tidak lagi mudah menelan obat tiap kali sakit, begitu juga untuk Igo ... tiap kali ada gejala sakit, saya coba perhatikan dengan seksama. Ini juga mengasah insting kita, lho. Kapan anak bisa "didiamkan" saat sakit dan kapan waktunya dibawa ke dokter. Sekali lagi, penerapan RUM bukan berarti antiobat, ya, tapi bijaksana dalam mengonsumsi obat. Lalu bagaimana dengan si mama? Ya, perlahan beliau bisa menerima prinsip saya ini, kami tidak sering lagi berargumen soal obat :)
Pengalaman Mommies gimana?
foto diambil dari sini