banner-detik
HEALTH & NUTRITION

Drama Itu Berjudul: Tongue Tie

author

sazqueen31 Aug 2012

Drama Itu Berjudul: Tongue Tie

Sebelum melahirkan, saya sempat membaca beberapa artikel soal tongue tie. Membacanya hanya sekilas saja, entah mengapa. Hingga akhirnya tanggal 17 Oktober 2011, saya melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Galuh Nabitha Sasikirana Mardani, atau akrab disapa Menik. Bahagia? PASTINYA! Kebahagiaan ini diikuti dengan rasa percaya diri yang tinggi soal menyusui. Dan inilah awal episode drama berjudul "Tounge Tie".

Saat Masih Sulit Menyusui

Sepanjang pengetahuan saya, menyusui adalah hal yang biasa, hal alami yang setiap ibu akan alami. Keinginan saya untuk bisa menyusui bagaimana? SANGAT BESAR! Tapi seperti kata orang bijak "Don't put your expectation too high", ternyata keinginan yang sangat besar ini berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Tadinya saya pikir, menyusui itu sekadar buka bra kemudian menyilahkan si anak untuk menghisap airnya, as easy as snapping fingers, dan toh ada yang namanya naluri. Tapi ternyata ada banyak yang harus diperhatikan, dari mulai proses pelekat mulut bayi dengan payudara, fakta kalau menyusui itu bukan di puting tapi di aerola, sampai posisi bayi agar hidungnya tidak tertutup ketika menyusui.

Bagaimana dengan nursing instinct? Mine is zero! Saya sangat kesulitan mencari posisi yang pas untuk menyusui, pegal pinggang-punggung-leher semua datang. Belum lagi tambahan fakta menyakitkan lainnya: puting rata. Menik sulit sekali menyusu, payudara saya bengkak dan mulai lecet. Karena sulit melakukan pelekatan dengan benar, Menik kurang ASI, akhirnya suhu badan meningkat dan mulai kuning. Saya diharuskan memerah agar Menik mendapatkan cukup ASI setiap 2 jam sekali. Ditengah-tengah kegiatan memompa, suster datang dan bilang sebaiknya saya mulai mencari donor ASI agar persediaan ASIP untuk Menik tetap ada.  Apa yang kemudian saya rasakan? Frustrasi, cemas apakah saya bisa memberikan ASI untuk anak saya atau tidak. Hingga akhirnya terbersit di pikiran, "Aduuh, lebih susah (me)nyusui daripada melahirkan kemariinnn!!"

Ketika diperbolehkan pulang, saya masih dalam keadaan setengah percaya diri, bisa menyusui. Dan yang menyedihkan, kepercayaan diri itu terus merosot sedikit demi sedikit, Menik terlihat frustasi karena tidak pernah latch on dengan sempurna (kepalanya geleng-geleng kanan kiri kayak lagi marah-marah), berdecap-decap dan juga berdurasi lama (bisa sampai 2 jam lamanya tiap menyusui). Padahal menyusui normal itu, menempel dengan baik, tidak berdecap, dan hanya memakan waktu 10-20 menit. GOSH! Puting berdarah pun menambah rasa frustrasi tadi, sehingga akhirnya saya lebih memilih untuk memerah dengan tangan dan memberikan ASI menggunakan feeder cup. Beberapa teman yang juga sedang menyusui biasanya memberikan jawaban, "Ya, Ki, gue juga gitu, kok! sabar, ya, kalau puting udah adaptasi, hilang sakitnya!" Jawaban yang cukup menenangkan, namun jujur, saat itu, saya takut ketika Menik menangis minta susu. Rasanya seperti mau menyusui anak harimau. Hii! Sensitif? Sudah pasti, di saat banyak cerita bertebaran soal indah dan mudahnya menyusui, saya harus gigit bibir bawah menahan rasa sakit tiap menyusui.

Beruntung saya selalu didukung suami, Rino memberikan semangat kemudian menyarankan saya untuk kembali ke klinik laktasi di rumah sakit tempat saya melahirkan. Setelah konsul, ditemukanlah indikasi tongue tie pada Menik. Tongue tie adalah kondisi tali selaput bawah lidah pendek. Sehingga susah untuk bisa melakukan pelekatan dan juga berpotensi cadel (faktor genetis juga menentukan, di kasus saya, Rino-lah yang cadel).

Ciri-ciri utama tongue tie adalah susah latch on dengan baik, lidah pendek (kalau melet tidak melewati gusi bawah), dan ketika menangis lidah seperti membentuk heart shaped. Tongue tie ini ada 3 tipe:

  • Tipe pertama yang bisa bikin puting ibunya berdarah-darah, ibunya demam tinggi, bahkan sampai pingsan saking sakitnya.
  • Tipe kedua yang bikin puting ibu lecet berlebihan dan bisa bengkak juga payudaranya, namun tidak sampai pingsan seperti tipe 1.
  • Tipe 3 yang paling ringan, tali selaput bawah lidahnya tidak terlalu pendek sehingga bisa diatasi dengan belajar melakukan perlekatan dengan sabar.
  • Menik termasuk tongue tipe 2, dan setelah diobservasi, akhirnya diputuskan untuk melakukan frenotomi, atau pemotongan tali selaputnya. Ngeri, ya? Tenang, tindakan ini  dilakukan di ruang dokter anaknya saja. Walaupun judulnya dipotong, praktiknya adalah menggunakan gunting kecil, hanya sekitar 15 detik, kemudian Menik langsung ditempel ke payudara saya. Surpriseee! Menik bisa nyusu dengan baik dan pendarahannya langsung berhenti karena kena ASI. Setelah insisi, frekuensi menyusu Menik meningkat drastis, namun saya bisa menikmatinya. Durasi menyusu juga hanya sekitar 15-20 menit, kemudian biasanya Menik langsung melepas sendiri dan tertidur. Beda dengan sebelumnya yang harus saya paksa lepas karena sudah terlalu lama dan saya sangat kesakitan.

    Akhir dari drama yang berlangsung kurang lebih 3 bulan. Berat badan Menik naik dengan baik sesuai dengan kurva yang ada di growth chart. Drama tongue tie ini jadi pelajaran pertama dalam hal menyusui yang ternyata tidaklah mudah. Diperlukan banyak pengetahuan supaya tidak merasa terintimidasi oleh keadaaan sekitar perihal menyusui ini. Dan pastinya diperlukan banyak dukungan agar proses menyusui berjalan lancar. Jika waktu itu saya tidak mendapatkan dukungan dan pengetahuan, mungkin saya sudah menyerah dan beralih ke susu formula.

    Mari menyusui dengan keras kepala.

    *Gambar dari sini.

    Share Article

    author

    sazqueen

    a mother of one who study Anthropology by choice! Hello motherhood.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan