Sorry, we couldn't find any article matching ''
Antara Saya, Suami, Dan ASI
Beberapa hari lalu saya ada acara buka puasa bersama dengan teman-teman di kantor lama. Pembicaraan yang dulu hanya seputar pekerjaan, naksir-naksiran atau semacam itu pun bergeser. Sudah ada yang punya anak, sedang hamil atau bahkan hamil anak kedua. Sampailah kami ke sebuah topik yang nggak mungkin dihindari, ASI.
Teman-teman baik yang perempuan atau laki-laki, berlomba menceritakan pengalaman mereka dengan ASI. Terbangun malam hari, anak maunya tidur digendong, suami yang setengah mengantuk sambil menyendawakan bayi, dan lain sebagainya.
Di antara teman-teman ini, saya termasuk angkatan pertama yang punya anak dan yang pertama melek ASI. Saat sibuk preparation syuting, saya minta waktu 15 menit untuk memerah ASI. Saat menunggu di ruang editing, saya meminjam ruangan audio untuk memerah ASI. Saat meeting dengan klien di restoran, mal atau kafe, saya permisi ke toilet untuk memerah ASI.
Ok, back to topic.
Rata-rata yang diceritakan teman adalah bagaimana mereka dan pasangan mereka dalam pemberian ASI. Saya pun nyeletuk, “Kalian tahu suami gue kan?” Semuanya tertawa dan bilang, “Ah, ya, salut banget sama elo, deh, survive sendiri!"
Seperti yang pernah saya ceritakan, suami saya memang cenderung cuek. Manfaat ASI? Memerah ASI harus berapa kali? Bagaimana pemberian ASI yang tepat? Dst, dsb. Rasanya suami saya hanya tahu, bayi, ya, dikasihnya ASI.
Makanya, waktu dr. Oetami Roesli bilang bahwa hanya ada 26% perempuan yang berhasil menyusui tanpa didukung suami, saya mungkin adalah salah satunya. Saya memerah ASI tengah malam untuk kejar setoran, ditemani televisi. Ketika ASIP saya kejar tayang, saya ke klinik laktasi sendiri. Ketika breastpump milik rumah sakit nggak bisa dipinjam, saya ngomel sama suster sambil menahan rasa nyeri pascaoperasi.
Apa saya kesal sama suami? Apa saya marah sama suami?
Ya, siapa, sih, yang nggak mau suaminya seperti papah-papah muda di @ID_AyahASI yang mau duduk manis di kelas laktasi, ikut seminar ASI, riset mengenai ASI, memijat punggung istri saat menyusui, dan lain sebagainya.
Tapi, masa gara-gara suami cuek, saya jadi nggak ngasih anak saya ASI? Ih, rugi amat!
Akhirnya, ini yang saya lakukan:
Alhamdulillah, saya bisa menyusui Langit hingga usia 2 tahun tanpa halangan yang berarti.
Lalu, apakah benar-benar suami saya tutup mata terhadap pemberian ASI?
*Baru berani gendong Langit pas usianya 4 hari :D
Hummm, dia pernah muterin Jakarta untuk mencari teh India yang konon bisa memperbanyak ASI, dia selalu membawakan makanan karena istrinya ini kelaparan terus, dia sering menjemput ASIP di kantor karena saya pelupa dan sering meninggalkan ASIP di kulkas kantor, dia yang pertama kali bersikeras melatih Langit untuk minum ASIP kalau saya mau terus ASI eksklusif ketika kembali bekerja, dan dia menjalankan tugasnya dengan baik saat pascamelahirkan banyak yang komentar ASI saya belum keluar. Atau ternyata di belakang saya, dia bangga cerita sama teman-teman atau keluarganya bahwa saya menyusui Langit full 2 tahun. Sudah bisa dibilang Breastfeeding Father, belum tuh, berarti? :D
Well, whatever, I'm still proud of him :)
*thumbnail dari sini
Share Article
COMMENTS