Menikah Mei 2006, saya dikelilingi keluarga yang bertipe “disambit sandal pun hamil”. Saat semua saudara yang menikah seangkatan satu per satu mulai mengumumkan berita gembira kehamilan mereka, saya mulai deg-degan. Saya memang berharap langsung hamil setelah menikah, mungkin pasangan lain ada yang bisa santai walau sudah "kosong" setahun, saya mulai gerah. Maka mulailah perjalanan berkeliling dokter kandungan se-Jakarta beserta pemeriksaan dan pengobatan yang standar sampai “ajaib”.
Perburuan DSOG ini sebagian besar saya lakoni sendiri, lho. Beberapa bulan setelah menikah, suami mendapat pekerjaan di luar Jakarta, karena saya sedang menjalani bisnis online, jadi saya memilih tetap di Jakarta. Kunjungan DSOG yang awalnya penuh harap sampai pada tahap membosankan dan membuat patah semangat (juga mengikis saldo rekening tentunya). Saya menjalani berbagai pemeriksaan, mulai yang standar seperti cek darah, USG luar, dan sebagainya sampai lumayan heboh dan menyakitkan seperti HSG (pemeriksaan dengan memasukkan cairan kontras ke dalam rahim untuk melihat adanya penyumbatan) dan vaginal USG. Pengobatan maupun terapi mulai dari obat oral, suntikan, terapi hormonal, hingga fisioterapi. Pernah, lho, saya mendapatkan suntikan ke rahim yang tidak disuntikkan dari luar tapi langsung ke rahim. Caranya? Tentunya dari “bawah” sana, suntikkan dengan jarum yang panjangnya bikin jantung mencelos diarahkan langsung ke bagian rahim yang dituju. Tidak begitu sakit cuma bisa dibayangkan dong perasaan saat memandang jarum berukuran ekstra itu. Dan selain perburuan DSOG, road to pregnancy ini juga diwarnai dengan perburuan tiket tempat suami yang harganya lumayan banget.
Setiap melalui terapi atau program namun “tamu bulanan” keukeuh berkunjung, rasanya semangat sedikit demi sedikit terkikis. Beberapa kali saya berurai air mata saat melihat noda tanda datangnya “tamu” (yang menjadi bahan ledekan suami saya sekarang). Ditambah berita kehamilan dari kiri-kanan yang datang bertubi-tubi diiringi pertanyaan “Sudah isi belum?” Kondisi yang sepertinya paling berat buat wanita yang menantikan kehamilan yang tak kunjung datang adalah berita kehamilan orang lain, pertanyaan mengenai kehamilan, dan nasihat-nasihat untuk tidak tegang menanti kehamilan. Memang benar, sih, sarannya, tapi saat berada dalam “penantian”, saran itu malah membuat kita semakin kesal dan tegang.
Setelah bertemu dengan DSOG senior akhir 2007, baru perjalanan menuju kehamilan saya menemui titik terang. Karena beliau benar-benar ahli infertilitas, barulah masalah-masalah saya diketahui. Ternyata tidak banyak juga, hanya merepotkan. Ada infeksi ringan di rahim yang setelah pengobatan dan fisioterapi singkat dapat diatasi. Saya juga divonis mempunyai sindrom ACA (Anticardiolipin) yang lebih dikenal dengan sindrom darah kental. Ini kemungkinan yang menghambat kehamilan karena pengentalan darah ini yang menghambat segala asupan ke rahim, yang akhirnya menghambat pembentukan/pertumbuhan janin. Yang kedua ini yang agak repot karena terapinya lama dan harus berhubungan dengan haematolog (yang berarti menambah daftar dokter yang dikunjungi). Kunjungan bulanan haematolog ini berarti cek darah rutin dan terapi pengobatan oral sampai kondisi darah saya mencapai tingkat yang memungkinkan dan aman untuk mengandung.
Setelah masalah-masalah ini terbilang diatasi namun saya tak kunjung hamil, DSOG dan saya mulai melirik alternatif inseminasi. Mulailah terapi untuk mempersiapkan saya dan suami (kalau suami hanya periksa kondisi sperma saja) yang terdiri dari obat-obatan yang harus diminum pada saat tertentu dalam siklus haid dan suntikan untuk mematangkan sel telur. Lagi-lagi memang Tuhan belum mengijinkan saya hamil saat itu sehingga beberapa kali jadwal ovulasi, pemeriksaan sel-sel telur saya belum memenuhi syarat untuk melakukan inseminasi. Setelah beberapa jadwal ovulasi yang gagal, demi menyelamatkan akal sehat, saya dan suami memutuskan istirahat dulu dari segala terapi dan program kehamilan.
Pertengahan 2008, suami mendapatkan pekerjaan lebih jauh lagi, di luar Indonesia. Otomatis semakin jarang pertemuan kami. Saya tidak bisa berkunjung ke sana karena alasan keamanan tempat tersebut, suami hanya bisa cuti paling cepat dua bulan sekali yang tentu tidak dilakoni demikian kalau tidak mau besar pasak daripada tiang. Setelah suami berangkat, teman memberi info tentang DSOG spesialis infertilitas yang sedang naik daun. Praktiknya pun di rumah sakit yang dekat dari rumah. Iseng-iseng saya konsul ke beliau. Saat itu sudah beberapa bulan saya vakum kunjungan-kunjungan DSOG. Tiba-tiba muncul lagi ide untuk kembali mengusahakan inseminasi. Kebetulan saat itu sudah dekat rencana cuti suami. Jadilah dalam waktu singkat kami merencanakan inseminasi.
Persiapan kali ini sangat ringkas. Tanpa beragam obat hormonal atau suntikan pematang sel telur. DSOG hanya memberi satu macam obat dalam periode haid kemudian menunggu waktu saatnya memeriksa kondisi sel telur yang terbentuk. Herannya, dengan persiapan yang lebih ringkas dan kondisi kami yang lebih pasrah, malah sel-sel telur saya dinyatakan siap untuk inseminasi. Malah DSOG menyarankan untuk mencoba alami dulu, namun karena saya dan suami penasaran kami tetap stick to the plan. September 2008 saya menjalani inseminasi dan bulan berikutnya saya dinyatakan positif hamil. Kejutan tidak berakhir di sini. Pada kunjungan kontrol ke sekian (setelah dinyatakan hamil, saya harus kontrol seminggu sekali di awal-awal karena kehamilan saya hasil inseminasi yang harus diawasi), DSOG menemukan kantung janin kedua. Horeee ... I’m having twins.
Tidak seperti proses menuju hamilnya, kehamilan saya hampir tidak ada masalah yang berarti. Tidak ada keluhan mual berlebihan, mabuk, dan lain-lain yang dikhawatirkan melanda kehamilan kembar. Yang mebuat deg-degan cuma kegiatan menyuntikkan obat pengencer darah di bagian perut yang dilakukan sendiri karena jadwalnya yang hampir setiap hari. Semakin besar kehamilan, kegiatan suntik menyuntik ini semakin menantang karena bagian perut areal suntikan yang semakin menegang. Salah posisi tusuk, yang walau tidak berbahaya buat janin-janinnya, meninggalkan bekas lebam sehingga perut saya seperti bekas korban KDRT. Selebihnya, masa kehamilan dilalui mirip dengan bumil-bumil lain: mencari info-info tentang kehamilan, kelahiran, bayi, ASI, dan menanti saatnya berbelanja perlengkapan bayi dong. Boleh dibilang masa kehamilan menjadi masa istirahat dari pergulatan menuju kehamilan sebelum beralih ke pergulatan merawat anak kembar. Akhir Mei 2009, akhirnya datanglah si kembar, Samuel Ludo Lim dan Mikael Luca Lim melalui proses sectio. Dengan kelahiran mereka, munculah berbagai tantangan dalam menjalankan rencana pengasuhan yang sempat dibuat selama masa kehamilan.
Saat ini si kembar berusia tiga tahun. Sehat dan aktif banget, bergantian ngerjain mamanya. I am blessed. Untuk teman-teman yang masih berjuang, semangat terus, ya :)