Sabtu 19 Mei lalu, saya mengikuti talkshow dengan judul yang cukup mengundang rasa penasaran, Kontroversi Seputar Imunisasi. Jauh sebelum topik ini semakin berkembang di dunia maya, kami pernah mewawancarai @drOei mengenai halal atau haramnya vaksin.
Diadakan di Titan Center, tak hanya ada talkshow tapi juga ada bazaar, ruang menyusui dan playground yang mengakomodasi kebutuhan para ibu yang ingin mengikuti seminar tapi anak-anaknya mau ikut. Narasumber yang diundang menjadi pembicara adalah dr. Piprim B. Yanuarso, dokter spesialis anak yang juga Sekretaris 1 PP IDAI, dr. Henny Zainal, founder HZ Lactation Center, dan Dr. Drh. Hasyim, DEA dari badan LPOM MUI.
Talkshow dimulai dengan presentasi dari dr. Henny Zainal yang berjudul Pemberdayan Diri Terhadap Vaksin (Informed Choice). Henny Zainal mengawali presentasi dengan menceritakan asal mula ia serius mengkaji tentang vaksin, yaitu sejak anaknya mengalami KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi).
Henny mengaku, bahwa ia tidak menolak vaksin, tapi ia mempertanyakan komposisi yang terkandung dalam sebuah vaksin. Menurutnya, tak ada vaksin yang 100% aman, misalnya DPT yang bisa mengakibatkan kerusakan syaraf. Ia juga memaparkan bahwa vaksin tidak bisa mengklaim keberhasilan memusnahkan suatu penyakit, misalnya campak, vaksin campak baru ditemukan tahun 1964, sementara itu jumlah kematian akibat campak sudah jauh menurun sebelum itu.
Henny Zainal juga mengutip pernyataan seorang pediatric cardiology dari India yang mengatakan bahwa vaksin bisa menghancurkan sistem imun. Yaitu, vaksin langsung ke sistem imun lini 2, tidak ke lini 1 sehingga 1,5 jam setelah vaksin jika ibu menyusui maka vaksin mati. Menurut dr Prof. Hegde di India, ada kemungkinan bahwa virus dan bakteri dalam vaksin bermutasi.
Selain mengungkapkan hal tersebut, Henny yang merupakan penggiat ASI juga percaya akan Imun Is Asi. Ia menunjukkan beberapa ayat-ayat kitab suci Al Quran yang isinya mengenai keunggulan ASI.
Setelah Henny Zainal, giliran dr. Piprim yang bicara dengan pesentasinya yang berjudul, “Benarkah Imunisasi Lumpuhkan Generasi?” Sistem imun tubuh terbagi menjadi dua, yatu umum dan khusus untuk penyakit tertentu. Sistem imun khusus ini dapat terbentuk jika kita terkena penyakit secara alami atau lewat imunisasi. Berawal tahun 1700-an, masyarakat Turki sudah biasa inokulasi nanah dari cacar sapi untuk mencegah cacar pada manusia (small pox). Kemudian Edward Jenner, ilmuwan Inggris yang mengembangkan tekhnik inokulasi tersebut dan membuat vaksin cacar.
Setelah imunisasi berkembang, penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, menurun. Nah, saat keberadaan penyakit ini menurun,masyarakat lengah, “buat apa dilakukan imunisasi?”
Tahun 1982, kampanye antivaksin mulai marak. Masyarakat mulai tak percaya vaksin, sehingga terjadi outbreak dan muncullah difteri, pertusis, dan lain-lain. Menurut dr. Piprim, anggapan remeh ini timbul karena masyarakat sudah tak lagi menemui penyakit-penyakit berat seperti pendahulunya.
Di Jawa Timur, 300-an orang meninggal karena kasus difteri, korban adalah orang-orang yang tidak diimunisasi atau diimunisasi tapi tidak lengkap. “Kalau imunisasi adalah konspirasi Yahudi, kenapa di Amerika memberlakukan imunisasi? Dan kenapa masih ada gerakan antivaksin disana?” ujar dr. Piprim di akhir presentasinya.
Presentasi terakhir adalah dari DR. Drh. Hashim, DEA dengan judul Bayi, Nutrisi dan Imunisasi. Ia mengawali presentasinya dengan mengatakan, "Saya tidak peduli apakah bapak atau ibu pro atau kontra imunisasi, yang penting adalah kita ingin generasi yang sehat. Kita harus mentaati apa yang Rasulullah SAW lakukan, namun ada celah untuk ijtihad."
Menurutnya, kolostrum dalam ASI memang mengandung antibodi, tapi bukan antigen yang mampu menstimulasi produksi antibodi. Harus dibantu dengan vaksin untuk penyakit tertentu. Kandungan bahan-bahan kimia dalam vaksin dosisnya minimal, contoh kandungan merkuri dalam vaksin, menurut FDA 0,4 microgram/ bw/ day, WHO 1,6 microgram/bw/week. Malah lebih tinggi yang ada dalam kerang.
Masalah vaksin yang haram, ia menjelaskan pembuatannya. Bakteri yang dibiakkan memang diambil dari orang yang sudah meninggal karena penyakit tersebut. Hal ini karena bakterinya memang hidup di jaringan manusia, jadi mau nggak mau media untuk membiakkannya juga harus sama. Bakteri yang dibiakkan ini akan menghasilkan jutaan ‘anak cucunya’. Nah, cucunya ini yang digunakan untuk membuat vaksin.
Sel vero dilepas dari mikrokarier menggunakan tripsin babi, tapi lalu dinetralisasi, diultrafiltrasi, sudah tidak mengandung tripsin. Peran tripsin di sini adalah untuk memercepat pembuatan vaksin. Jadi, kalau mempermasalahkan HULU-nya, memang semua vaksin haram. Tapi yang kita lihat justru HILIR-nya, jangan sampai masih tercampur dengan bahan yang haram.
Apalagi saat ini sudah dikembangkan media pembiakan yang berasal dari nabati sehingga bisa dipastikan kehalalannya. Sebagai pribadi, Dr. Drh. Hashim, DEA mengatakan bahwa semua vaksin adalah halal. “Hendaklah kita pandai di samping ahli ibadah. Vaksin adalah ikhtiar, agar kita bisa melindungi anak-anak kita dari bencana," tambahnya.
Durasi presentasi ketiga narasumber ini memang terbilang singkat dan terbatas. Tak heran jika Henny Zainal yang menurutnya sudah menyediakan 35 halaman presentasi, hanya berkesempatan menjelaskan tak lebih dari 10 halaman presentasinya. Tapi di sesi dua setelah break makan siang, peserta seminar diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber.
Salah satu yang menarik menurut saya adalah ketika salah satu peserta mengajukan pertanyaan pada dr. Piprim mengenai Thibbun Nabawi atau pengobatan nabi. Pengobatan ini berdasarkan ilmu pengetahuan asalkan berdasar pada dalil/hadis yang kuat serta sistem pengobatan yang masuk akal. Semua yang ada dalilnya, dr. Piprim mengaku mempercayainya, misal tahnik dan ASI yang mampu membunuh polio, hal ini jika ada kolostrum, karena kolostrum akan menetralkan bakteri yang ada dalam vaksin. Lebih jauh lagi, dr. Piprim menambahkan bahwa cara turun ilmu ada 2, secara langsung dari nabi, dan lewat manusia yang bersungguh-sungguh mencari ilmu. Karena tidak semua pengobatan diajarkan nabi, misalnya operasi jantung terbuka.
O, ya, saya juga sempat mengajukan pertanyaan kepada dr. Henny Zainal mengenai, sudah adakah riset atau penelitian mengenai vaksin yang ditolaknya? Jawaban beliau adalah “Saya bukan menolak imunisasi, tapi produknya. Cobalah membuat vaksin dari ASI karena ASI punya kemampuan anti anti antibodi (imunobiologi)."
Wah, kalau mau dikompilasi semua isi seminar, rasanya akan jadi artikel berseri 7 hari 7 malam, nih! Saya berusaha menuliskan apa yang didengar dan dapatkan selama seminar, ya, Mommies. Jika dianggap berpihak pada sisi mana pun, tidak apa-apa. Toh, kami di Mommies Daily juga orangtua, dan yang kami semua inginkan adalah yang terbaik untuk anak-anak. Semoga kita semua menjadi orangtua yang bijak dalam menghadapi setiap permasalahan, terutama jika itu berkaitan dengan anak-anak kita.