Saya suka sekali dengan perumpamaan yang ditulis Ayah Edy di halaman 199 yang merupakan jawaban dari pertanyaan bagaimana menemukan bakat atau kemampuan anak. Anak itu seperti sketsa lukisan. Samar-samar terlihat tetapi belum jelas dan masih berupa tarikan-tarikan garis dari sang Maestro, yakni Tuhan Yang Maha Agung. Seiring bertambahnya usia, tarikan – tarikan itu akan semakin jelas. Cuma sayangnya yang kerap terjadi, orangtua, guru atau sekolah mengintervensi dengan warna-warna yang mereka inginkan sehingga sketsa yang sesungguhnya menjadi kabur dan tidak nampak lagi aslinya. Tanpa mempelajari dan mendalami tarikan garis dari sang Maestro tadi, orangtua, guru dan sekolah asal saja memberi warna dan garis-garis lain. (hal 199)
Cuplikan di atas hanya satu dari 100 pertanyaan dan jawaban yang dimuat dalam buku ini perihal tumbuh kembang, tingkah polah, dan mengajarkan disiplin pada si kecil. Pertanyaan yang kerap kali terlontar antar sesama orang tua dan atau guru, termasuk saya. Pertanyaan atas kebingungan atau bahkan putus asa menghadapi ulah si kecil. Misalnya saat tantrum di mal atau tempat keramaian lain padahal pada saat yang sama kita sebagai orangtua tengah mengajarinya disiplin. Menyerah atau bersikukuh dengan risiko jadi bahan tontonan dan dicap sebagai orangtua yang tegaan.
Yang pasti saya mengalami kepanikan saat itu terjadi dan keputusan saya sudah bisa ditebak, menyerah pada kemauan si kecil. Padahal kunci pertama ketika itu terjadi adalah tidak panik, begitu saran Ayah Edy. Dan sebetulnya itu tidak perlu terjadi jika sebelumnya orang tua mengantisipasinya dengan menjelaskan pada si kecil kemana dan apa tujuan kita ke suatu tempat, ke mall untuk belanja bulanan, misalnya. Lalu tetapkan perjanjian, jika si kecil meminta sesuatu diluar tujuan utama dan tetapkan punishment jika si kecil melanggar.
Hal lain yang membuat saya bingung adalah menghadapi sifat si kecil yang egosentris, semau gue, suka membantah atau kalau dalam bahasa sunda ‘keukeuh’. Awalnya saya menganggap ini adalah sifat negatif si kecil ternyata itu adalah sifat alamiah positif, yang menunjukkan si anak memiliki jiwa pemimpin. Yang perlu saya (dan suami tentunya) sebagai orang tua adalah mengajarinya bersikap kooperatif. Apa jadinya kelak jika semua anak penurut dan manut? Coba anda pikirkan kalau anak kita menjadi penurut, apa pekerjaan di kantor yang diisi oleh seorang penurut? (hal 24) . Penjelasan yang sangat membuka wawasan.
Lalu soal sekolah. Walaupun tidak semua, sebagian orang tua beranggapan negatif terhadap menjamurnya sekolah-sekolah untuk anak usia dini dan bayi. Saya pun sempat ragu ketika memasukkan si kecil ke playgroup saat usianya 2 tahun. Bukan karena takut si kecil rewel atau merepotkan (karena misalnya mau pup gak bilang) tapi khawatir keputusan saya salah. Ternyata, alasan saya memasukkan si kecil ke playgroup sama dengan alasan utama didirikannya sekolah usia dini untuk balita dan batita pertama di Amerika pada tahun 1960-an. Yaitu, agar tidak terjadi ‘the lost generation’ karena para ibu bekerja tidak memiliki waktu penuh untuk mengasuh anak di rumah pada masa golden age anak. Jadi sama sekali bukan untuk menyiapkan anak super atau hebat.
Menjadi orangtua pintar atau smart parent memang tidak ada sekolahnya tapi dengan banyaknya majalah dan buku berthema parenting memungkinkan orangtua untuk bisa belajar dan terus meng-update pengetahuan soal tumbuh kembang si kecil. salah satunya buku ini. Saya tidak ada hubungannya dengan penulis atau penerbit buku ini kalau pun saya merekomendasikannya murni karena isinya cukup mewakili semua pertanyaan orangtua perihal tumbuh kembang anak. Perihal karakter, disiplin, interaksi sosial, sekolah, self esteem, pendidikan seks ,dan yang terkini gadget.