Pernah mendapat pertanyaan serupa? Saya, mah, sering :D
Gara-gara suka ikutan nonton Junior Masterchef, saat usianya menjelang dua tahun dulu, Rakata mulai sok-sokan meniru aktivitas memasak. Misalnya memasukkan lego ke dalam wadah sambil diaduk-aduk pakai tongkat drum atau pensil, sambil bilang, “Ibu mau dibikinin apa?”
Di kesempatan lain, Rakata seolah memutar sesuatu di sofa. Setelah ikut nimbrung main, baru, deh, saya ngeh bahwa Rakata lagi berimajinasi memutar kenop kompor :D
Tapi yang paling sering itu, dia menjadikan majalah dan koran sebagai nampan, lalu di atasnya disusun berbagai benda seolah-olah makanan. Dengan berhati-hati, dia menyajikan ke kami dan bilang, “Silakan ….” Kalau yang terakhir ini, mungkin ditiru dari pramusaji, ya, karena keseringan diajak jajan ke resto, hahaha.
Ya sudah, melihat kesukaannya ini, saya pun membelikan Rakata seperangkat mainan masak-masakan. Suami sempat ragu, “Memang tidak apa-apa, ya?” tanyanya.
Hmm … mainan masak-masakan, dari dulu memang identik untuk anak perempuan. Sama halnya seperti boneka. Lain halnya dengan mobil-mobilan dan robot-robotan yang identik dengan anak laki-laki. Dosen saya pernah ada yang bilang (FYI, saya kuliah di jurusan psikologi), bahwa pengategorian ini secara tidak langsung ‘menjebak’ anak dalam stereotip peran jenis kelamin tradisional. Anak laki-laki itu urusan yang ‘keras’, anak perempuan yang ‘lembut’.
Walah, hari gini, sih, kayaknya peran jenis kelamin tradisional ini sudah tidak terlalu relevan, ya? Sering saya lihat sopir TransJakarta dan kenek Kopaja perempuan, sebaliknya desainer dan makeup artist andal justru laki-laki. Memang, sih, tidak seperti perempuan yang mengundang kekaguman jika terjun ke profesi yang ‘laki-laki banget’, masih banyak suara miring jika laki-laki terjun di ‘profesi perempuan’. Tapi, itu bukan alasan kita untuk menghakimi seseorang, kan?
Lagipula, membelikan mainan masak-masakan untuk anak laki-laki menurut saya merupakan salah satu langkah menanamkan nilai egalitarian pada anak. Cieh, canggih, ya, bahasanya? :D
Intinya, sih, mengajarkan anak mengenai kesetaraan. Salah satunya, ya, bahwa masak-masakan bukan hanya urusan perempuan. Memangnya kenapa kalau anak laki-laki suka masak? Bagus, dong, jadi setelah besar nanti tidak merepotkan istri, hahaha.
Setelah mendengar penjelasan saya, suami sepakat. Bahkan. suami jadi orang pertama yang membela jika ada yang mempertanyakan kesukaan Rakata main masak-masakan. Btw, ‘mainan perempuan’ yang kami belikan tidak sebatas kompor-piring saja, lho. Suatu sore di Blok M Square, tanpa ragu suami juga membelikan Rakata mainan rumah boneka :D
Tidak sedikit pun terlintas ketakutan di hati, jika saya membelikan mainan seperti ini untuk Rakata lantas dia bakal jadi keperempuan-perempuanan. Wong pas kecil saya paling suka manjat pohon dan main perang-perangan, setelah besar gini tetap jadi wanita manis dan feminin *minta diulek high heels*