Saya tidak suka masak. Catat, ya, tidak suka, bukan tidak bisa, hi hi hi. Menurut saya, kalau bisa beli, ngapain repot-repot bikin sendiri *ngeles*
Sejak masa pacaran, saya sudah ‘mendoktrin’ hal ini ke Darwin, pacar yang kemudian menjadi suami. Saya tekankan, jangan harap setelah menikah nanti mendapati istri yang rajin membuatkan sarapan. Dan (ini yang lebih penting), tidak usah buang tenaga berharap saya akan berubah. Cooking is not my thing :D
Syukurlah, suami tidak mempermasalahkan. Apalagi, suami suka masak. Saya tidak pernah lupa, setiap kami camping di masa pacaran dulu, setiap bangun tidur, pasti sepiring pasta hangat dan segelas kopi susu sudah tersaji di luar tenda untuk saya.
Setelah menikah pun, jika punya waktu luang di weekend, suami turun ke dapur. Dari yang sederhana macam roti bakar, pancake, dan spaghetti, hingga yang lebih ribet macam ifumie dan kung pao chicken ‘lahir’ dari tangannya. Saya suka makan, suami senang eksperimen dengan talenan dan panci. Klop, ya :D
Saat Rakata lahir, saya mendapati kenyataan: bayi harus dikasih makan setelah usianya 6 bulan. Jeng-jeeeng! Mau tidak mau, harus mulai turun ke dapur. Apalagi, di rumah ortu tidak ada ART yang bisa dimintain tolong.
Sadar keengganan saya, suami menawarkan untuk ambil alih. Berhubung suami malas cari info mengenai ‘aturan’ MPASI, kami berbagi tugas. Job desc saya: membaca apa saja yang boleh dan ‘haram’ diberikan (plus browsing aneka resep), lalu meneruskan pada suami. Job desc suami: meramu MPASI sesuai info yang saya berikan. Akhirnya, MPASI pertama Rakata, suamilah yang membuat dan menyuapi. Begitu pas Ranaka, karena sudah ada ART, saya kami lumayan terbebas dari tugas bikin MPASI. Paling hanya sesekali saja.
Apa itu berarti saya tidak pernah masak? Ya tidak juga. Sebagai ibu yang baik (uhuk …), saya juga membuatkan MPASI, dong. Tapi, ujung-ujungnya pasti suami tidak sabar. Soalnya, saya itu kalau memasak mesti persis seketeplek-ketepleknya dengan resep. Jadinya terlalu hati-hati (alias kelamaan, ha ha ha). Efeknya, kami sering telat berangkat ngantor.
Nah, suami saya itu orangnya ringkas dan tidak takut memodifikasi resep. Jika di resep harusnya wortel tapi ternyata wortelnya habis, suami bisa, tuh, dengan pede langsung mengganti wortel ke brokoli atau sayur lain. Sementara saya, jika menyadari wortel habis, pasti langsung bolak-balik buku resep mencari resep mana yang semua bahannya ada di kulkas :D
Yang bikin elus-elus dada, meski sering melenceng dari resep asli, Rakata-Ranaka sepertinya lebih suka dengan masakan racikan suami -__-
Tapi tidak masalah. Gara-gara tersanjung melihat Rakata-Ranaka makannya lahap, plus hujan pujian dari saya, suami jadi terpacu untuk masak lagi, lagi, dan lagi. Strategi berhasil. Saya pun lega karena tidak usah sering-sering ke dapur, hi hi hi.
Hari gini, yakin 100 persen, deh, dapur sudah bukan lagi monopoli istri. Banyak bapak-bapak yang juga suka masak untuk keluarga tercintanya. Mommies sendiri, sering dimasakin apa oleh suami? :)