"Anak ibu tidak hiperaktif meski hal tersebut tidak dapat ditentukan dengan sekali pertemuan, tapi dia mengalami kebingungan karena saya lihat di rumah yang bapak ibu tempati terlalu banyak orang dewasa, sehingga dia bingung harus ikut perintah siapa."
Paparan ibu psikolog yang kami minta tolong untuk melakukan evaluasi kepada anak kami yang berumur 2,5 tahun saat itu cukup membuat kaget juga. Anak kami menurut kami terlalu aktif (mungkin karena dari kacamata saya yang waktu kecil adalah anak yang anteng dan pendiam) dan tidak mau menerima perintah, kami berpikir ada suatu masalah. Awalnya kami mengira ada suatu hambatan dari sisi perkembangan sosialnya, ternyata ada suatu masalah psikologis yang lain.
Kami saat itu sejak awal pernikahan, karena suami harus kerja di luar pulau dan dilanjutkan sekolah di luar negeri, hidup menumpang orangtua suami. Pilihan tersebut dengan alasan suami tidak tega meninggalkan saya dan balita hidup sendirian di Kota Metropolitan, dan kalaupun saya harus kembali ke rumah orang tua di Bogor, akan mengurangi quality time dengan anak kami dari sisi jarak tempuh dari kantor kami ke Bogor.
Namun, karena kami selama 2,5 tahun pertama adalah anak-anak pertama yang baru menikah di rumah tersebut, anak kami adalah cucu pertama di dua belah pihak, dan saudara kandung suami adalah laki-laki semua, menjadikan anak kami, Zia, pusat perhatian. Pada dasarnya mertua cukup menghormati batasan-batasan yang ayah dan ibu Zia telah tetapkan, maksudnya tidak ada kejadian misalnya Zia dilarang melakukan X lalu lari ke oom-oomnya atau kakek neneknya atau mbak pengasuhnya yang merupakan asisten mertua saya. Dan jika ada suatu perbedaan, saya sebagai ibu juga tidak terlalu mempermasalahkannya jika tidak terlalu esensial dan pada saat-saat tersebut saya sedang sibuk-sibuknya di kantor dan ayahnya belajar di luar negeri. Tapi tak dapat dipungkiri memang ada perbedaan pola asuh misalnya Zia kami larang makan butir cokelat karena alergi, sedangkan saudara suami bisa makan lahap di depannya. Banyaknya orang dewasa yang punya aturan masing-masing membuat Zia bingung.
Seiring bertambahnya umur saya merasa kewalahan menghadapi Zia, I hardly can't handle her alone, menurut saya anak kami nakal sekali dibanding saya yang bisa duduk anteng manis saat seumuran Zia. Benar-benar saya merasakan yang namanya terrible two. Sepulang suami dari sekolah, kami memutuskan bertemu psikolog. Selain uraian di atas, ternyata rasa tidak nyaman hidup menumpang pada orangtua yang kami berdua pendam, khususnya saya yang memang selalu hidup mandiri sebelum menikah, menjalar ke hubungan kami berdua, dan kami bertiga. Ternyata benar juga kalau dikatakan happy parents, happy kids. Emosi yang orang tua pendam ternyata "menular" ke anak kita.
Dengan hasil di atas, akhirnya dalam waktu sebulan kami langsung memutuskan untuk mempercepatkan persiapan kami membeli tempat tinggal dan hidup mandiri. Kalau dahulu masih memakai istilah "tar sok, tar sok", sekarang menjadi prioritas utama dalam waktu sebulan. Alhamdulillah, rumah impian sesuai anggaran, biarpun di pelosok nun jauh sana, dapat kami capai dalam waktu sebulan sejak bertemu psikolog.
Apakah keadaan ini karena hanya dipicu karena sang ibu sebagai roda rumah tangga hidup di rumah mertua harus berbagi wilayah kewenangan? Tidak juga.
Kasus yang hampir serupa harus kami alami, ketika dalam menunggu rumah kami selesai dibangun dan kelahiran anak kedua kami, kami memutuskan untuk menumpang (lagi) di rumah orangtua saya. Sama beratnya, karena meskipun di saat ini saya bisa langsung beradu argumen dengan orang tua secara terbuka jika ada perbedaan pola asuh (dibanding dengan mertua), namun ada juga kejadian ketika saya berusaha mendisiplinkan anak dengan mengajak bicara ketika Zia sedang menangis, ibu saya langsung berkata bahwa kalau mau memarahi anak jangan dilakukan di rumahnya sambil menangis. Hadeuh, sama-sama pusing, ya :). Sekarang jadinya suami saya yang salah tingkah.
Jadi kesimpulan yang saya ambil dari pengalaman ini adalah mau tinggal di rumah orangtua sendiri maupun menumpang di rumah mertua, adalah sebagai berikut:
Happy parents, happy kids. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, yuuuk.