Dalam urusan anak, saya dan suami selalu berusaha menjadi partner yang setara. Prinsip saya, karena anak ini anak kami berdua, segala sesuatunya harus dipikirkan berdua, dong. Memang, sih, pada praktiknya, saya yang lebih banyak berurusan langsung atau lebih aktif berhadapan dengan tetek bengek urusan anak. Suami akan menerima laporan dari saya, dan kemudian memberi saran untuk membuat keputusan yang tepat. Termasuk juga untuk urusan pendidikan. Sejak Nadira masih bayi (bahkan masih di dalam perut! Hehehe..), saya sudah sering berdiskusi dengan suami soal pendidikannya kelak. Dari ajang tukar pikiran ini, kami sampai pada kesimpulan yang kemudian saya gunakan sebagai panduan untuk mencari sekolah untuk Nadira.
Kebetulan tahun ini Nadira sudah bisa masuk playgroup. Jadi deh saya sibuk mencari-cari playgroup yang sekiranya cocok. Beberapa syarat yang kami setujui, di antaranya adalah lokasi yang relatif dekat dengan rumah, biaya yang terjangkau oleh kantong kami, bahasa yang digunakan dan konsep agama yang diajarkan.
Lokasi penting karena kami menyadari lalu lintas Jakarta yang supermacet dan penuh “kejutan”. Kasihan Nadira jika ia harus menembus lalu lintas yang sangat tidak bersahabat untuk sampai ke sekolahnya.
Biaya juga menjadi elemen penting karena kami tidak mau memaksakan diri memasukkan Nadira ke sebuah sekolah yang (katanya) sangat bagus tapi menghabiskan lebih dari 70 persen anggaran rumah tangga kami. Daripada di tengah jalan kami ngos-ngosan bayar sekolah, lebih baik kami pilih yang realistis saja lah ya, yang sesuai dengan pemasukan keluarga kami
Untuk bahasa, kami sepakat untuk mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia ketimbang bahasa asing di jenjang pendidikan dini. Kami ingin Nadira lancar bercakap-cakap terlebih dahulu dalam bahasa ibunya, baru kemudian belajar bahasa asing di tahap pendidikan berikutnya.
Sementara untuk konsep agama, kami sebenarnya fleksibel. Apakah sekolah itu berbasis agama tertentu atau berbasis nasional/umum, tidak menjadi masalah untuk kami. Yang penting, sekolah tersebut tidak mengajarkan fanatisme satu agama tertentu tanpa toleransi terhadap agama lainnya. Nightmare banget deh kalau anak saya jadi membenci agama lain karena di sekolah diajarkan seperti itu.
Seperti juga ibu-ibu lainnya, tugas menelepon dan mencari data tentang sekolah-sekolah yang sekiranya cocok dengan kriteria kami di atas, merupakan tugas saya. Suami tinggal menerima laporan dari saya. Kemudian, setelah berdiskusi, saya, suami dan Nadira mengunjungi tiga playgroup yang telah kami pilih. Maklum, meski banyak sekolah yang kini memiliki situs di internet dan lengkap memberikan paparan via telepon, rasanya tidak afdol jika kami tidak mengunjunginya secara langsung.
Dengan berkunjung langsung, kami juga bisa sekilas melihat bagaimana fasilitas sekolah (banyak lho yang melebih-lebihkan fasilitas di situs padahal aslinya nggak ada), kondisi keamanan sekolah dan para staf pengajarnya. Begitu sampai di sekolah-sekolah itu, biasanya Nadira tidak bisa diam. Matanya langsung berbinar-binar melihat berbagai jenis mainan khas playgroup dan Taman Kanak-Kanak.
Di sinilah untungnya melibatkan suami saat berkunjung ke calon sekolah untuk Nadira. Salah satu bisa menemani Nadira bermain, sementara yang lainnya bisa mendapatkan berbagai keterangan dari pihak sekolah sekaligus mengajukan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan dari rumah. Setelah itu, kami kembali berdiskusi hingga memutuskan sekolah mana yang kami pilih untuk Nadira.
Mungkin, beberapa orang berpikir, tugas mencari sekolah adalah murni tugas ibu, bukan ayah. Bahkan di masa lalu, konsep berpikir seperti ini lumrah adanya. Namun dengan bergesernya konsep parenting yang berdasarkan penelitian para psikolog anak, porsi ayah dalam membesarkan anak semakin bertambah. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan ikut terlibat dalam memilih sekolah anak.
Dari kisah teman-teman saya, terdapat beberapa sekolah yang menggelar “Father’s Day” atau hari bersama ayah. Sehingga para ayah bisa berperan serta dalam kegiatan di sekolah anaknya, tanpa takut mereka hanya sendirian di antara para ibu. Lagi pula, jadi ayah yang perhatian terhadap anak itu bukannya nggak macho, lho. Itu justru menunjukkan betapa pedulinya ayah terhadap tumbuh kembang anaknya sendiri. Bahkan, menurut saya sih, ayah yang sayang dan perhatian sama anak itu keren banget. What do you think, Mommies?